close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Area Tambang Grassberg milik PT Freeport Indonesia/Antara Foto
icon caption
Area Tambang Grassberg milik PT Freeport Indonesia/Antara Foto
Bisnis
Senin, 31 Desember 2018 17:05

Unjuk gigi kuasai energi di negara sendiri

Tahun 2018, khususnya di sektor energi beberapa tambang-tambang besar beralih penguasaan.
swipe

Tahun 2018 menjadi momen yang bersejarah bagi Indonesia. Di sektor energi, banyak tambang-tambang beralih penguasaan. Dari semula dikuasai asing, perlahan tapi pasti pihak dalam negeri baik pemerintah maupun swasta mulai unjuk gigi dengan mengambil alih sejumlah tambang.

Pada pembukaan awal tahun, keberanian industri dalam negeri mengurusi sumber daya alamnya sendiri dibuka oleh penguasaan Negara terkait Blok Mahakam. Blok Mahakam yang semula dikuasai oleh Total E&P sejak 50 tahun yang lalu akhirnya kini diambil alih oleh Pertamina.

Begitu juga dengan Blok Rokan. Pada 2021, pengelolaan ladang minyak paling subur di Indonesia itu diambil alih oleh pemerintah melalui Pertamina dari tangan Chevron Pacific Indonesia, yang sebelumnya telah bercokol di blok tersebut lebih dari 90 tahun.

Selanjutnya, yang paling menjadi sorotan publik sepanjang tahun ini adalah pengambilalihan mayoritas saham PT Freeport Indonesia di penghujung tahun 2018. Lewat PT Inalum, pemerintah Indonesia secara resmi menguasai 51,2% saham di pertambangan emas terbesar di dunia itu setelah merogoh kocek US$3,85 miliar.

“Saham PT Freeport sudah beralih ke PT Inalum sebesar 51,2%. Ini merupakan momen yang bersejarah. Kepemilikan mayoritas saham itu akan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” demikian kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika mengumumkan peralihan saham mayoritas PT Freeport Indonesia ke PT Inalum di Istana Merdeka, Jumat (21/12).

Momen-momen bersejarah tersebut tentu saja tidak lepas dari pengamatan Alinea.id. Sepanjang tahun 2018, Alinea.id telah merangkum beberapa momen bersejarah. Berikut ini adalah catatannya.

1. Blok Mahakam

Pada 1 Januari 2018, Pertamina resmi mengambil alih Blok Mahakam yang sebelumnya dikelola Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation sejak 50 tahun lalu. Pengelolaan Blok Mahakam oleh Pertamina dilakukan lewat PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), anak perusahaan PT Pertamina Hulu Indonesia.

Dalam mengambil alih Blok Mahakam, Pertamina telah menyelesaikan masa transisi. Selama masa tersebut, Pertamina mengaku sudah mengebor 14 sumur. Investasi selama masa transisi PT Pertamina sudah menggelontorkan uang sekitar US$150 juta.

Blok Mahakam selama di bawah kelola Total E&P, realisasi produksi gasnya pada 2016 mencapai rata-rata 1.640 MMSCFD. Juga minyak dan kondensat 64.000 barel per hari. 

Sebagai penguasa baru Blok Mahakam, pada 2018 Pertamina menargetkan rencana pengeboran sedikitnya 65 sumur. Untuk memuluskan rencana tersebut, perseroan juga telah menyiapkan dana investasi sekitar US$700 juta yang berasal dari kas internal.

2. Blok Rokan

Setelah lebih dari 90 tahun dikelola Chevron Pacific Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan pengelolaan Blok Rokan akan diserahkan kepada PT Pertamina (Persero) pada 2021. 

Pemberian 100% soal pengelolaan Blok Rokan ini diambil berdasarkan keputusan Kementerian ESDM yang diumumkan pada Selasa, 31 Juli 2018. Dengan keputusan tersebut, maka Pertamina resmi menjadi operator di Blok Rokan mulai 8 Agustus 2021.

Blok Rokan diketahui sebagai ladang minyak tersubur di Indonesia. Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sampai April 2018 tercatat produksi minyak di Blok Rokan mencapai 210.280,60 BOPD, dan produksi gasnya sebesar 24,26 MMSCFD.

Untuk mendapatkan Blok Rokan tentunya tak gratis. Pertamina mesti membayar bonus tanda tangan untuk Blok Rokan sebesar US$783 juta atau Rp11,3 triliun.

3. Tambang Kestrel

Pada Rabu, 1 Agustus 2018, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) bersama EMR Capital Ltd mengakuisisi kepemilikan Rio Tinto atas Kestrel Coal Mine (Kestrel) yang meliputi 80% saham. Penyelesaian transaksi ini merupakan kelanjutan dari penandatanganan kesepakatan antara Adaro dan EMR pada 27 Maret 2018.

Setelah transaksi ini dirampungkan, kepemilikan atas Kestrel meliputi Kestrel Coal Resources Pty Ltd (80%) dan Mitsui Coal Australia (20%). Kestrel Coal Resources Pty Ltd merupakan perusahaan patungan yang dibentuk Adaro Energy dengan kepemilikan sebesar 48% dan EMR 52%.

Kestrel merupakan aset batubara metalurgi berkualitas yang memiliki basis sumber daya dengan usia yang panjang, infrastruktur yang solid dan tenaga kerja yang berkeahlian tinggi. Tambang ini terletak 40 kilometer di utara kota Emerald yang berada di area batu bara Bowen Basin di tengah negara bagian Queensland.

Pada tahun 2017, dua Kestrel memproduksi 4,25 Mt batubara metalurgi berkualitas tinggi dan memiliki cadangan yang dapat dijual (marketable reserves) sebesar 146 Mt dan sumber daya sebesar 241 Mt.

4. Blok Sanga-sanga

PT Pertamina melalui anak usahanya Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) resmi menjadi operator baru Blok Sanga Sanga setelah pemerintah menyerahkan hak kelolanya. Serah terima dilakukan di Lapangan Badak, Kalimantan Timur, pada Selasa, 7 Agustus 2018. 

Blok Sanga-sanga diketahui sebelumnya dikelola oleh Kontaktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Virginia Indonesia Co. (VICO), perusahan minyak asal Amerika Serikat. Penyerahan pengelolaan Blok Sanga-sanga dilaksanakan setelah kontrak operator VICO berdasarkan Production Sharing Contract (PSC) WK Sanga-Sanga berakhir pada 7 Agustus 2018.

Adapun wilayah kerja Sanga-sanga memiliki tujuh lapangan, yaitu Badak, Beras, Lampake, Nilam, Mutiara, Pamaguan dan Semberah. Berdasarkan data hingga akhir Juli 2018, produksi minyak dan kondensat WK Sanga-sanga mencapai 10.753 BOPD dan Gas 80.7 MMSCFD.

5. Blok South East Sumatera

Terhitung mulai 6 September 2018, PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE), resmi mengambil alih kelola 100% wilayah kerja (WK) Southeast Sumatra (SES) dari operator lama China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) SES Ltd. Selanjutnya, WK SES dioperasikan oleh PHE Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES).

WK SES merupakan salah satu penghasil minyak dan gas bumi terbesar di Indonesia. Hingga Agustus 2018, tercatat produksi minyak dan gas bumi di WK SES mencapai 31.120 barel per hari (bph) dan 137,5 juta standard kaki kubik per hari (mmscfd).

Hasil produksi gas lapangan SES digunakan untuk pembangkit listrik milik PLN di Cilegon. Sedangkan produksi minyak dari WK SES sebelum alih kelola diekspor seluruhnya. 

6. Blok East Kalimantan dan Attaka

Pada Oktober 2018, Pertamina resmi mengambil alih Blok East Kalimantan dan Attaka dari Chevron Indonesia Company. Selaku anak perusahaan, PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur ditunjuk sebagai pengelola sekaligus operator kedua blok tersebut untuk periode kontrak 25 Oktober 2018 sampai 24 Oktober 2038.

Meski dikelola 100% oleh Pertamina, sebanyak 10% dari keuntungannya akan diberikan kepada Pemda setempat. Demi menguasai kedua blok ini, Pertamina harus menggelontorkan dana sebagai bonus tanda tangan sebesar US$1 juta. Sementara itu, total nilai investasinya mencapai US$79,3 juta.

Blok East Kalimantan dan Attaka diketahui memiliki 15 lapangan, yaitu Attaka, Melangin, Kerindingan, Serang, Sapi, Santan, Sepinggan, Sedandang, Seguni, Sejadi, Yakin, Mahoni, Bangkirai, Seturian, dan Pantai.

Berdasarkan data pada akhir September 2018, produksi minyak dan kondensat di Blok East Kalimantan dan Attaka sebesar 13.220 bph dan gas sebesar 69,44 MMscfd. Adapun perkiraan kumulatif produksinya sebesar 1 Billion Barel Oil (BBO) dan 3 Trillion Cubic Feet (TCF).

Dengan kondisi tersebut, estimasi produksi Blok East Kalimantan dan Attaka rata-rata per hari pada 2018 sebesar 73,3 juta kaki kubik per hari (MMscfd). Sementara untuk gas sebesar 13.291 barel per hari (bph).

7. Blok East Natuna

Setelah kepergian Exxonmobil dan PTT EP, Blok East Natuna saat ini dikelola oleh PT Pertamina (Persero). Meski menguasainya, PT Pertamina (Persero) belum akan menjadikan Blok East Natuna sebagai prioritas pengembangan dalam waktu dekat. Pasalnya, kompleksitas masalah teknis blok dengan kondisi harga minyak dunia menjadi faktor yang mempengaruhi.

Menurut Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, blok minyak dan gas yang ditemukan sejak 1973 ini ditargetkan berproduksi pada 2027. Berdasarkan buku neraca gas bumi 2018-2027, blok ini memiliki cadangan cukup besar. Cadangan gasnya mencapai 46 tcf, atau lebih besar dari Lapangan Abadi, Blok Masela yang 10,7 tcf. 

Namun sayangnya, cadangan Blok East Natuna itu belum menghitung kandungan karbondioksida (CO2) yang juga tinggi, yakni bisa mencapai 72%.

8. Tambang Emas Martabe

PT Danusa Tambang Nusantara, perusahaan gabungan PT United Tractors Tbk. dan PT Pamapersada Nusantara yang didirikan pada 2015 lalu dikabarkan membeli tambang emas Martabe senilai US$1,21 miliar atau setara Rp16,94 triliun (kurs Rp14.000 per dollar AS).

Danusa membeli tambang yang berlokasi di Sumatra Utara dari konsorsium EMR Capital, perusahaan asal Australia. EMR diketahui memiliki saham sebesar 61,4%, Farallon Capital 20,6%, Martua Sitorus 11%, serta Robert dan Michael Hartono 7%.

Sebelumnya, konsorsium tersebut membeli tambang itu dari PT Agincourt Resources pada 2015 senilai US$775 juta atau sekitar Rp10 triliun. CEO & Managing Director EMR, Jason Chang mengatakan, sejak diakuisisi konsorsium, cadangan emas di Martebe naik dua kali lipat dan biaya produksi juga terus turun.

9. Divestasi Freeport

Pemerintah Indonesia melalui PT Inalum akhirnya resmi menguasai PT Freeport Indonesia pada Jumat, (21/12). Untuk mengambil alih 51% saham Freeport, pemerintah Indonesia harus merogoh kocek U$3,85 miliar.

Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengatakan butuh sekitar dua tahun untuk merampungkan negosiasi antara pemerintah, PT Inalum, Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto, hingga akhirnya saham mayoritas PT Freeport Indonesia berpindah tangan. 

Dengan demikian, dibayarkannya mayoritas saham PT Freeport mengubah status kegiatan tambang dari semula Kontrak Karya (KK), kini menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK). 

Dari penguasaan 51,2% saham PT Freeport, rinciannya yakni 41,23% untuk PT Inalum dan 10% untuk Pemerintah Daerah Papua. Saham Pemda Papua nantinya akan dikelola oleh PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPPM) yang 60% sahamnya dimiliki oleh PT Inalum, sedangkan sisanya 40% dimiliki BUMD Papua.

Lebih lanjut, agar BUMD Papua turut berkontribusi, PT Inalum akan memberikan pinjaman sebesar US$819 juta. Sebagai jaminannya, saham 40% BUMD Papua di IPPM. Adapun cicilan pinjaman itu nantinya dibayarkan melalui dividen PTFI yang akan didapatkan oleh BUMD tersebut. 

img
Tito Dirhantoro
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan