close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Garuda Indonesia menggunakan bioavtur campuran 2,4% minyak inti sawit untuk menerbangkan pesawat jet komersial bernomor B737-800 PK-GFX. Dokumentasi Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
icon caption
Garuda Indonesia menggunakan bioavtur campuran 2,4% minyak inti sawit untuk menerbangkan pesawat jet komersial bernomor B737-800 PK-GFX. Dokumentasi Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Bisnis
Rabu, 01 November 2023 08:23

Untung dan buntung avtur ‘hijau’ untuk penerbangan komersial

Pemakaian bioavtur menandai awal mula industri aviasi berkelanjutan namun memiliki harga lebih mahal.
swipe

PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dan PT Garuda Indonesia (Persero) baru saja melaksanakan penerbagan komersial perdana menggunakan bahan bakar ramah lingkungan Bioavtur J2.4 atau Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF), pada Jumat (27/10). Boeing 737-800 NG adalah pesawat pertama milik Garuda yang terbang dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng ke Bandara Adi Sumarmo, Solo, kemudian kembali lagi menggunakan avtur hijau. 

Perjalanan dengan Pertamina SAF ini telah diinisiasi sejak 2010 melalui Research & Technology Innovation Pertamina, dengan melakukan riset pengembangan produk dan katalis. Pada 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi Bioavtur J2.4 ini di Refinery Unit IV Cilacap. 

"Penerbangan khusus ini akan menjadi tonggak sejarah di industri aviasi yang berkelanjutan. Masyarakat juga akan merasakan pengalaman baru, merasakan pemanfaatan energi terbarukan dan berkontribusi secara langsung pada penurunan emisi," kata Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina Alfian Nasution, di Bandara Soekarno Hatta, Jumat (27/10). 

Setelah melalui serangkaian uji coba, bioavtur yang berbahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) atau minyak inti sawit ini telah siap dipasarkan oleh PPN. Tidak hanya memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional, Bioavtur J2.4 juga punya nilai tambah lain, yakni ramah lingkungan.
 
Kehadirannya seakan menjadi jawaban atas komitmen Pertamina dalam menyediakan bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan dan dapat dipergunakan untuk penerbangan komersial. Di sisi lain, penggunaan Bioavtur J2.4 untuk maskapainya juga menunjukkan keseriusan Garuda untuk mendukung pengembangan dan produksi SAF sebagai bahan bakar sektor aviasi yang lebih ramah lingkungan. 

"Melalui penggunaan Bioavtur ini kami optimistis visi mewujudkan ekosistem aviasi Indonesia yang berbasis green sustainability dapat terealisasi secara berkesinambungan, selaras dengan berbagai langkah lain yang dilaksanakan pemerintah," kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra. 

Bioavtur J2.4 memang siap digunakan untuk penerbangan komersial. Sebab, setelah diujicobakan pada pesawat jet yang terbang pada ketinggian di atas 20.000-30.000 kaki, di mana suhu sudah 20-30 derajat di bawah 0, tidak terjadi pembekuan. Saat disimpan pun Pertamina SAF pun tidak mengalami pengendapan.

Irfan menyebutkan penerbangan ini turut menandai keberhasilan Garuda Indonesia bersama para stakeholders lainnya, yakni Pertamina Group, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM RI, Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan RI, Tim Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB), BPDPKS dan APROBI.

“Yang secara solid berhasil menciptakan tonggak sejarah baru di industri penerbangan komersial Indonesia, setelah sebelumnya bioavtur ini berhasil melewati serangkaian tahap uji Engine Test dengan hasil respons yang baik dan terkendali pada mesin pesawat komersial,” jelas Irfan.

Dalam penerbangan bertajuk #FromNatureToFuture ini, Garuda Indonesia juga menghadirkan inisiatif penggunaan sejumlah produk ramah lingkungan, seperti blanket belt, snack paper wrap, dan wooden cutleries, serta pengoperasian baggage towing truck yang merupakan layanan electrical vehicle dari Gapura Angkasa.

“Dalam rangka mendukung capaian target Indonesia menuju Net Zero Emission di tahun 2060 nanti, Garuda Indonesia secara berkesinambungan akan terus menghadirkan rangkaian inisiatif yang tidak hanya berfokus pada penggunaan energi baru terbarukan namun juga pada upaya-upaya efisiensi energi, di antaranya melalui pemanfaatan teknologi digital dan pemutakhiran proses perawatan pesawat yang tentunya tetap memastikan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan seluruh pengguna jasa Garuda Indonesia,” tutup Irfan.

Stok belum cukup

Namun, pengamat penerbangan Alvin Lie menilai, untuk dikomersialisasikan, stok Bioavtur J2.4 masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh maskapai di Indonesia. Ini kemudian menimbulkan masalah lain, berupa harga yang lebih mahal ketimbang avtur konvensional. 

Perlu diketahui, saat ini Pertamina Patra Niaga hanya baru memiliki pasokan Pertamina SAF sebanyak 45 KL (Kilo Liter). "Tantangannya adalah harganya lebih mahal dari avtur biasa. Sehingga nanti harus dikembangkan agar biaya bisa lebih murah dan kita juga melihat pengembangan di negara-negara lain," katanya, kepada Alinea.id, Senin (30/10). 

Meski begitu, Alvin menyarankan agar pengembangan Bioavtur untuk keperluan komersial dilakukan secepat mungkin. Karena saat ini di berbagai negara juga tengah berlomba-lomba mengujicobakan pesawat listrik, yang cara kerja pengisian bahan bakarnya mirip dengan motor dan mobil listrik. 

"Ini tinggal mana dulu yang makin menjanjikan, mana dulu yang makin cepat berkembang,"tambah Alvin. 

Sementara itu, menurut Alvin, persoalan harga Bioavtur J2.4 sangat perlu dipertimbangkan. Karena nantinya harga lah yang akan menentukan apakah maskapai-maskapai di Indonesia akan beralih dari avtur konvensional ke bioavtur atau tidak. 

Harga bioavtur yang mahal juga dikhawatirkan akan mempengaruhi biaya operasional maskapai. Biasanya, agar biaya operasional maskapai tidak terlampau tinggi, akan dikompensasikan melalui kenaikan harga tiket pesawat.

"Saya lihat Garuda ini berani mencoba, karena Garuda itu BUMN dan punya kewajiban untuk public service. Sehingga Garuda berani menjadi pelopor. Walaupun secara ekonomi, sebetulnya belum menguntungkan. Tapi ini lebih ke komitmen pemerintah untuk menuju net zero emission," kata dia. 
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan