close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kenaikan cukai rokok membuat pemerintah dilematis. Di satu sisi bisa meningkatkan pendapatan negara, tetapi di sisi lain dianggap mematikan industri rokok kecil dan menengah. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Kenaikan cukai rokok membuat pemerintah dilematis. Di satu sisi bisa meningkatkan pendapatan negara, tetapi di sisi lain dianggap mematikan industri rokok kecil dan menengah. Alinea.id/Oky Diaz.
Bisnis
Jumat, 14 Juni 2019 20:25

Untung-rugi di balik pembatalan kenaikan cukai rokok

Pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok. Hal ini menimbulkan pro-kontra.
swipe

Tampaknya, cukai rokok masih menjadi andalan pemerintah untuk mengatrol kas negara. Pada awal 2018, pendapatan tersebar berasal dari cukai rokok, mencapai Rp159,7 triliun.

Awal 2019, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah memberikan target penerimaan cukai mencapai Rp165,5 triliun. Sebesar Rp158,8 triliun di antaranya merupakan setoran dari cukai hasil tembakau atau cukai rokok.

Namun, penerimaan dari cukai rokok bakal tak tercapai lantaran tahun ini tak ada kebijakan kenaikan cukai rokok. Keputusan tak menaikkan cukai rokok bertentangan dengan tujuan pemerintah untuk mengontrol produksi dan konsumsi rokok.

Kebijakan pemerintah untuk mengontrol produksi dan konsumsi rokok itu tertera di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017. Beleid tersebut mengatur kenaikan cukai pada 2018 hingga 2021, serta penyederhanaan cukai dari puluhan menjadi di bawah satu digit. Ketetapan pembatalan kenaikan cukai itu sendiri diatur dalam PMK Nomor 156/2018.

Penetapan besaran cukai berubah-ubah. Di dalam PMK Nomor 146/2017 disebutkan, pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 10,04%. Hal ini berlaku mulai 1 Januari 2018. Sedangkan pada 2016, cukai rokok naik 10,54%.

Persoalan cukai rokok sangat pelik. Sebab, ada beragam kepentingan di lingkaran industri “mengisap asap” ini.

Usut punya usut, keputusan pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok tak bisa dilepaskan dari lobi para ulama lewat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pada 11 Oktober 2018, Bahtsul Masail—sebuah forum untuk mendiskusikan beragam masalah aktual yang belum jelas dasar hukum atau pijakan dalil agamanya—membahas rencana kenaikan cukai rokok.

Di dalam diskusi itu diundang perwakilan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Keuangan, dan Ditjen Bea dan Cukai. Bahtsul Masail merekomendasikan, kenaikan tarif cukai rokok tak perlu.

Alasannya, peraturan kenaikan tarif cukai dan simplifikasi itu belum memenuhi asas kemaslahatan, terutama bagi petani tembakau dan industri rokok skala kecil dan menengah.

Hasil Bahtsul Masail itu kemudian dikirim ke Kementerian Keuangan. Tak lama kemudian, PBNU diundang ke Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres). Akan tetapi, PBNU membantah jika hal ini dianggap melakukan lobi politik menjelang pemilihan presiden.

Petugas memperlihatkan barang bukti rokok tanpa pita cukai yang diamankan di kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Kediri, Jawa Timur, Rabu (13/2). /Antara Foto.

Dalih persaingan usaha

Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU Sarmidi Husna membeberkan rekomendasi yang dikirim ke Kemenkeu.

“Di antaranya, terkait keberadaan sekitar 6,1 juta petani tembakau yang akan terkena dampak jika cukai dinaikkan. Sebagian besar dari jumlah tersebut merupakan warga Nahdlatul Ulama,” kata Sarmidi saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (14/6).

Lalu, terkait munculnya indikasi persaingan tak sehat dalam industri rokok dari kenaikan cukai rokok. Kata Sarmidi, sewaktu Bahtsul Masail, indikasi itu disampaikan perwakilan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang menyatakan perusahaan besar melobi negara untuk menaikkan cukai.

Ia menuturkan, kenaikan cukai rokok sebagai bentuk persaingan usaha untuk mematikan produksi industri rokok dalam negeri. Menurut Sarmidi, ada dua industri rokok, yakni rokok putih dan keretek. Persaingan antara dua industri melalui cukai rokok, kata Sarmidi, akan menguntungkan industri rokok putih.

"Jika cukai naik, yang kena dampak itu rokok keretek. Itu kebanyakan perusahaan dalam negeri dan petani dalam negeri. Itu kan bagian dari persaingan usaha," kata Sarmidi.

Oleh karenanya, Sarmidi mengatakan, perlu proteksi agar kebijakan tak mengancam industri rokok keretek, yang skala pabriknya rata-rata di bawah industri rokok putih.

"Rekomendasi kita waktu itu juga minta PMK 146/2017 ditunda pelaksanaannya dan dikaji ulang," kata dia.

Industri rokok keretek terancam?

Suryadi A. Radjab di dalam bukunya Dampak Pengendalian Tembakau terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (2013) menulis, cukai rokok menyebabkan industri rokok keretek skala kecil dan menengah gulung tikar.

Suryadi mencatat, terjadi penurunan jumlah industri rokok dari 4.793 pada 2007 menjadi 3.961 pada 2008. Jumlah ini terus menyusut di tahun-tahun selanjutnya. Pada 2009, industri rokok 3.255 menciut menjadi 1.994 pada 2010. Pada 2011 tersisa 1.664 perusahaan.

Akibatnya, puluhan juta orang menganggur dan yang bertahan dihantui kehilangan pekerjaannya.

Industri rokok putih dianggap mengancam rokok keretek bila cukai naik. /Pixabay.com.

“Kehancuran ini menimbulkan efek berantai, mulai dari hilir akan segera menuju ke hulu yang menyemai benih-benih tembakau dan yang bekerja di ladang-ladang cengkeh,” tulis Suryadi.

Petani tembakau di Jawa Tengah pun menyambut baik pembatalan kenaikan cukai rokok. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Wisnu Brata mengatakan, produksi rokok akan meningkat bila cukai rokok tak naik.

“Artinya, hasil panen petani tembakau akan cepat diserap oleh industri,” ujar Wisnu saat dihubungi, Kamis (13/6).

Wisnu berharap, pemerintah jeli membuat kebijakan yang tepat dalam hal cukai rokok. Untuk menjaga keberlangsungan petani tembakau, ia malah mengusulkan pemerintah konsisten tak menaikkan cukai rokok.

Setali tiga uang, Ketua Komunitas Keretek Aditia Purnomo menilai, langkah pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok sudah tepat. Adit mengatakan, ada dampak yang signifikan bagi industri rokok, jika pemerintah benar-benar menaikan cukai rokok.

Ia memberikan contoh. Pada 2015, saat cukai rokok naik tanpa memperhitungkan kemampuan industri, banyak pabrik industri kelas menengah yang terpaksa gulung tikar.

"Ketika tahun 2015 tarif cukai naik 10%, ada puluhan pabrik di Kudus yang tutup. Ya ketika tarif naik tinggi, mereka tidak bisa beli pita cukai, tidak produksi, lalu gulung tikar," kata Adit saat dihubungi, Kamis (13/6).

Tampaknya, cukai rokok masih menjadi andalan pemerintah untuk mengatrol kas negara. Pada awal 2018, pendapatan tersebar berasal dari cukai rokok, mencapai Rp159,7 triliun.

Awal 2019, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah memberikan target penerimaan cukai mencapai Rp165,5 triliun. Sebesar Rp158,8 triliun di antaranya merupakan setoran dari cukai hasil tembakau atau cukai rokok.

Namun, penerimaan dari cukai rokok bakal tak tercapai lantaran tahun ini tak ada kebijakan kenaikan cukai rokok. Keputusan tak menaikkan cukai rokok bertentangan dengan tujuan pemerintah untuk mengontrol produksi dan konsumsi rokok.

Kebijakan pemerintah untuk mengontrol produksi dan konsumsi rokok itu tertera di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017. Beleid tersebut mengatur kenaikan cukai pada 2018 hingga 2021, serta penyederhanaan cukai dari puluhan menjadi di bawah satu digit. Ketetapan pembatalan kenaikan cukai itu sendiri diatur dalam PMK Nomor 156/2018.

Penetapan besaran cukai berubah-ubah. Di dalam PMK Nomor 146/2017 disebutkan, pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 10,04%. Hal ini berlaku mulai 1 Januari 2018. Sedangkan pada 2016, cukai rokok naik 10,54%.

Persoalan cukai rokok sangat pelik. Sebab, ada beragam kepentingan di lingkaran industri “mengisap asap” ini.

Usut punya usut, keputusan pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok tak bisa dilepaskan dari lobi para ulama lewat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pada 11 Oktober 2018, Bahtsul Masail—sebuah forum untuk mendiskusikan beragam masalah aktual yang belum jelas dasar hukum atau pijakan dalil agamanya—membahas rencana kenaikan cukai rokok.

Di dalam diskusi itu diundang perwakilan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Keuangan, dan Ditjen Bea dan Cukai. Bahtsul Masail merekomendasikan, kenaikan tarif cukai rokok tak perlu.

Alasannya, peraturan kenaikan tarif cukai dan simplifikasi itu belum memenuhi asas kemaslahatan, terutama bagi petani tembakau dan industri rokok skala kecil dan menengah.

Hasil Bahtsul Masail itu kemudian dikirim ke Kementerian Keuangan. Tak lama kemudian, PBNU diundang ke Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres). Akan tetapi, PBNU membantah jika hal ini dianggap melakukan lobi politik menjelang pemilihan presiden.

Petugas memperlihatkan barang bukti rokok tanpa pita cukai yang diamankan di kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Kediri, Jawa Timur, Rabu (13/2). /Antara Foto.

Dalih persaingan usaha

Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU Sarmidi Husna membeberkan rekomendasi yang dikirim ke Kemenkeu.

“Di antaranya, terkait keberadaan sekitar 6,1 juta petani tembakau yang akan terkena dampak jika cukai dinaikkan. Sebagian besar dari jumlah tersebut merupakan warga Nahdlatul Ulama,” kata Sarmidi saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (14/6).

Lalu, terkait munculnya indikasi persaingan tak sehat dalam industri rokok dari kenaikan cukai rokok. Kata Sarmidi, sewaktu Bahtsul Masail, indikasi itu disampaikan perwakilan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang menyatakan perusahaan besar melobi negara untuk menaikkan cukai.

Ia menuturkan, kenaikan cukai rokok sebagai bentuk persaingan usaha untuk mematikan produksi industri rokok dalam negeri. Menurut Sarmidi, ada dua industri rokok, yakni rokok putih dan keretek. Persaingan antara dua industri melalui cukai rokok, kata Sarmidi, akan menguntungkan industri rokok putih.

"Jika cukai naik, yang kena dampak itu rokok keretek. Itu kebanyakan perusahaan dalam negeri dan petani dalam negeri. Itu kan bagian dari persaingan usaha," kata Sarmidi.

Oleh karenanya, Sarmidi mengatakan, perlu proteksi agar kebijakan tak mengancam industri rokok keretek, yang skala pabriknya rata-rata di bawah industri rokok putih.

"Rekomendasi kita waktu itu juga minta PMK 146/2017 ditunda pelaksanaannya dan dikaji ulang," kata dia.

Industri rokok keretek terancam?

Suryadi A. Radjab di dalam bukunya Dampak Pengendalian Tembakau terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (2013) menulis, cukai rokok menyebabkan industri rokok keretek skala kecil dan menengah gulung tikar.

Suryadi mencatat, terjadi penurunan jumlah industri rokok dari 4.793 pada 2007 menjadi 3.961 pada 2008. Jumlah ini terus menyusut di tahun-tahun selanjutnya. Pada 2009, industri rokok 3.255 menciut menjadi 1.994 pada 2010. Pada 2011 tersisa 1.664 perusahaan.

Akibatnya, puluhan juta orang menganggur dan yang bertahan dihantui kehilangan pekerjaannya.

Industri rokok putih dianggap mengancam rokok keretek bila cukai naik. /Pixabay.com.

“Kehancuran ini menimbulkan efek berantai, mulai dari hilir akan segera menuju ke hulu yang menyemai benih-benih tembakau dan yang bekerja di ladang-ladang cengkeh,” tulis Suryadi.

Petani tembakau di Jawa Tengah pun menyambut baik pembatalan kenaikan cukai rokok. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Wisnu Brata mengatakan, produksi rokok akan meningkat bila cukai rokok tak naik.

“Artinya, hasil panen petani tembakau akan cepat diserap oleh industri,” ujar Wisnu saat dihubungi, Kamis (13/6).

Wisnu berharap, pemerintah jeli membuat kebijakan yang tepat dalam hal cukai rokok. Untuk menjaga keberlangsungan petani tembakau, ia malah mengusulkan pemerintah konsisten tak menaikkan cukai rokok.

Setali tiga uang, Ketua Komunitas Keretek Aditia Purnomo menilai, langkah pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok sudah tepat. Adit mengatakan, ada dampak yang signifikan bagi industri rokok, jika pemerintah benar-benar menaikan cukai rokok.

Ia memberikan contoh. Pada 2015, saat cukai rokok naik tanpa memperhitungkan kemampuan industri, banyak pabrik industri kelas menengah yang terpaksa gulung tikar.

"Ketika tahun 2015 tarif cukai naik 10%, ada puluhan pabrik di Kudus yang tutup. Ya ketika tarif naik tinggi, mereka tidak bisa beli pita cukai, tidak produksi, lalu gulung tikar," kata Adit saat dihubungi, Kamis (13/6).

Solusi di luar cukai rokok

Menurut Aditia Purnomo, alasan kelesuan industri menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam membatalkan kenaikan cukai rokok. Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah harus realistis. Jika akan menaikkan cukai, harus pula disesuaikan dengan kondisi industri dan kemampuan konsumen.

“Keduanya menjadi penopang utama industri rokok,” tutur Adit.

Pandangan terkait kenaikan cukai rokok di internal pemerintah juga belum padu. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merupakan salah satu kementerian yang menentang kenaikan cukai tersebut.

Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mendukung langkah Kemenkeu yang membatalkan kenaikan cukai rokok tahun ini. Ia menilai, pembatalan itu merupakan langkah proteksi pemerintah menjaga industri rokok.

Petani memeriksa tanaman tembakau yang diserang hama ulat di Desa Dasok, Pamekasan, Jawa Timur, Jumat (14/6). /Antara Foto.

Abdul mengatakan, jika cukai naik, maka semua sektor akan terkena imbasnya. Terutama petani tembakau dan rantai distribusi lain yang terkait dengan industri rokok.

"Kalau cukai naik, harga akan naik. Dampaknya daya beli juga turun," kata Abdul saat dihubungi, Kamis (13/6).

Abdul menjelaskan, sebenarnya ada peluang lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga pendapatan negara, ketimbang menaikkan cukai rokok. Caranya, dengan menggenjot produksi rokok. Abdul melihat, tiga tahun belakangan produksi rokok menurun.

Lebih lanjut, menurutnya, cukai yang stabil sangat membantu serapan tembakau petani dan industri juga akan meningkat. Dengan langkah demikian, maka komponen yang berkaitan dengan industri rokok juga akan mendapat dampak yang positif.

“Bisa saja naik (pendapatan negara). Asal produksinya lebih besar dari tahun kemarin,” ujarnya.

Seandainya cukai rokok naik, Abdul menyarankan kenaikan itu mempertimbangkan pula daya beli dan dampak negatif terhadap para petani. Pihak Kemenperin, kata dia, tidak menutup pintu jika ada kenaikan, asal masih dalam batas yang wajar.

"Kita tidak 100% menolak kenaikan, tapi kalau pun naik angkanya tidak melampaui angka inflasi," ucapnya.

Ancaman kesehatan masyarakat

Sebetulnya, posisi pemerintah pun sangat dilematis. Di satu sisi, kenaikan cukai rokok akan meningkatkan pendapatan negara. Namun, di sisi lain, rokok harus dikendalikan karena berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 melaporkan, penyakit katastropik, seperti kanker, strok, ginjal, dan diabetes melitus—yang salah satunya disebabkan karena konsumsi dan paparan asap rokok, meningkat ketimbang Riskesdas 2013. Sementara itu, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang rendah dan kepatuhan membayar yang juga rendah membuat BPJS Kesehatan mengalami defisit.

Menanggapi hal ini, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, penyakit yang paling banyak ditanggung BPJS Kesehatan adalah jantung. Penyakit ini banyak disebabkan karena rokok.

Oleh karena itu, Timboel mendorong agar cukai rokok juga menanggung akibat yang disebabkan dari rokok. Menurutnya, selama ini pemerintah juga masih setengah hati mengalokasikan seluruh cukai rokok melalui pajak untuk menanggung pelayanan kesehatan.

Pemerintah berdalih mengalokasikan cukai rokok melalui pajak ke pos anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun, sayangnya tidak spesifik untuk JKN. Padahal, secara normatif, cukai rokok memang diperuntukkan bagi korban dari rokok melalui JKN.

"Seharusnya 75% dari 50% pajak rokok yang diterima mesti dialokasi ke JKN. Tapi selama ini sangat umum, misalnya hitungan operasional juga masuk, bukan semata-mata untuk JKN saja, tapi item lain dalam kesehatan juga dimasukkan," kata Timboel ketika dihubungi, Jumat (14/6).

Dihubungi terpisah, Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari sepakat cukai rokok naik secara berkala. Menurut dia, tujuannya agar fungsi pengendalian rokok bisa berjalan efektif. Ia menyayangkan prevalensi anak-anak yang merokok di usia 10 hingga 18 tahun, yang mengalami peningkatan mencapai 9,1% dari total populasi penduduk Indonesia.

"Persentase 9,1% itu nyaris 8 juta anak merokok. Artinya, sama dengan Gelora Bung Karno yang diisi penuh anak-anak yang merokok," ujar Lisda saat dihubungi, Jumat (14/6).

Sementara itu, survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) menyebut, tren anak merokok meningkat signifikan, dari 7,2% pada 2013 menjadi 8,8% pada 2016.

Masalah bahaya kesehatan dan tren perokok anak ini, sebenarnya juga mendapat perhatian Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pada 10 Juni 2019, Kementerian Kesehatan melayangkan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), meminta pemblokiran iklan rokok di internet.

Menurut Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, dalam rilis yang diterima Alinea.id, Jumat (14/6) menyebutkan, tren perokok remaja dan anak meningkat seiring masifnya iklan rokok yang ada di berbagai media, termasuk internet. Nila menilai, tak ada proteksi yang maksimal untuk menertibkan iklan rokok di internet.

"Kementerian Kesehatan meyakini bahwa Kemkominfo memiliki kesepahaman yang sama dengan Kementerian Kesehatan dalam hal mendukung pembangunan kesehatan masyarakat," kata Nila.

Sementara itu, Lisda percaya, cukai rokok bisa membatasi akses anak terhadap rokok. Sebab, cukai akan membuat harga rokok menjadi mahal, dan anak-anak tak sanggup membelinya.

"Kita semua sepakat tidak ingin anak kita merokok, tak terkecuali warga NU. Jika sepakat, maka seharusnya mendukung cukai rokok naik," tutur Lisda.

Fungsi cukai rokok, kata Lisda, bukan sebagai sumber penerimaan negara. Melainkan pengendalian konsumsi, terutama untuk melindungi anak-anak dari bahaya rokok. Di sisi lain, Lisda pun mengingatkan dampak rokok bukan saja pada kesehatan anak, tetapi juga pada tumbuh kembangnya.

"Kalau diterapkan cukai sebesar 57%, maka perkiraan harganya nyaris Rp40.000. Tapi, sekarang belum sampai 57%, masih sekitar 40 %," tutur Lisda.

Lisda menyesalkan pembatalan kenaikan cukai rokok. Menurutnya, hal itu tak sejalan dengan rencana pengendalian tembakau yang sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).

"Rancangan pembangunan jangka menengah 2019 ini ditargetkan menurunkan perokok anak di Indonesia hingga 5,4 %. Jadi, apabila pemerintah tidak menaikkan cukai, maka menciptakan generasi masa depan yang sehat akan gagal total," ujar Lisda.

img
Fultri Sri Ratu Handayani
Reporter
img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Armidis
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan