close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kementerian Perhubungan mengumumkan tarif baru ojek online pada 25 Maret 2019, dan akan mulai berlaku pada 1 Mei 2019. Alinea.id
icon caption
Kementerian Perhubungan mengumumkan tarif baru ojek online pada 25 Maret 2019, dan akan mulai berlaku pada 1 Mei 2019. Alinea.id
Bisnis
Kamis, 28 Maret 2019 20:33

Untung-rugi tarif baru ojek online

Kementerian Perhubungan membagi tiga zona dalam tarif baru ojek online yang akan berlaku pada 1 Mei 2019 mendatang.
swipe

Kementerian Perhubungan menentukan besaran tarif ojek online. Tarif ini dibagi menjadi tiga zona. Zona I meliputi Sumatera, Jawa selain Jabodetabek, dan Bali. Zona II meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Zona III meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Tarif batas bawah di zona I sebesar Rp1.850 per kilometer dan tarif batas atas Rp2.300. Sedangkan biaya jasa minimal—biaya yang dibayar penumpang dengan jarak maksimal 4 kilometer—sebesar Rp7.000 hingga Rp10.000.

Tarif batas bawah di zona II sebesar Rp2.000 dan tarif batas atas sebesar Rp2.300 per kilometer. Sedangkan biaya jasa minimal sebesar Rp8.000 hingga Rp10.000. Sementara dalam zona III, tarif batas bawah sebesar Rp2.100 dan batas atas Rp2.600 per kilometer. Sedangkan biaya jasa minimal Rp7.000 hingga Rp10.000.

Kementerian Perhubungan mengumumkan tarif itu pada 25 Maret 2019, dan akan mulai berlaku pada 1 Mei 2019.

Penumpang mengeluh

Sehari-hari, Angga Permana seorang karyawan di perusahaan e-commerce menggunakan jasa ojek online untuk pergi ke kantornya. Ia mengaku keberatan dengan ketentuan biaya jasa minimal yang ditetapkan Kementerian Perhubungan.

Angga mengatakan, tarif baru itu akan membuatnya harus merogoh kocek lebih dalam. Belum lagi, pelayanan ojek online menurutnya kerap mengecewakan. Terutama pengemudi yang sering beralasan tak punya uang kembalian tunai.

“Misalnya tarifnya Rp17.000, kita kasih Rp20.000. Tapi pengemudi selalu bilang kalau enggak ada kembalian,” tuturnya saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Kamis (28/3).

Angga menilai, tindakan pengemudi itu terkesan sebagai taktik pengemudi yang ingin meraup untung lebih. “Awalnya sih mikirnya wajar dan diikhlasin aja. Tapi lama-lama kok kayaknya jadi malah nganggap kalau ini taktik para driver,” ujarnya.

Sedangkan Dina, salah seorang karyawan yang bekerja di daerah Slipi, Jakarta Barat, biasa memesan layanan ojek online untuk mengantar perjalanan orang tuanya. Ia mengatakanm kenaikan tarif itu sangat tinggi. Ia pun hitung-hitungan.

“Biasanya tarif termurah Rp6.000-Rp8.000. Bayar pakai Gopay jadi Rp 4.000-6.000. Minggu ini, harganya menjadi Rp10.000, bayar pakai Gopay Rp8.000. Jadi mahal,” kata dia saat ditemui, Kamis (28/3).

Sementara itu, Paula Angelina, seorang mahasiswi Universitas Mercu Buana Jakarta menanggapi ketentuan biaya jasa minimal dengan jarak tempuh maksimal 4 kilometer. Ia menilai, tarif itu terlalu mahal.

“Kita perlu mengeluarkan lebih banyak uang ya untuk perjalanan kita. Kalau dihitung-hitung enggak jauh beda sama ojek pangkalan,” ucap Paula saat berbincang, Kamis (28/3).

Pengemudi senang

Pengemudi ojek online (ojol) menunggu penumpang di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/3). /Antara Foto.

Lain penumpang lain pula pengemudi ojek online. Kebijakan ketentuan tarif dari Kementerian Perhubungan itu, justru memberikan angin segar bagi perbaikan pemasukan mereka.

Irwanto, salah seorang pengemudi ojek online yang biasa beroperasi di sekitar wilayah Jakarta Utara menyambut baik perubahan tarif dari pemerintah. Ia menilai, ada usaha pemerintah menampung aspirasi pengemudi ojek online selama ini.

“Kebijakan itu merupakan jalan tengah yang cukup ideal dalam memenuhi kepentingan tiga pihak, yakni perusahaan aplikator (perusahaan penyedia jasa transportasi online), pengemudi ojek online, dan pelanggan,” ujar Irwanto saat dihubungi, Kamis (28/3).

Irwanto menyebut, untuk tarif biaya jasa minimal, ada kenaikan Rp800 dari sebelumnya. Sementara untuk tarif batas bawah, ia mengatakan, ketentuan yang diambil pemerintah cukup menampung keinginan yang selama beberapa bulan belakangan diidamkan para pengemudi ojek online.

“Tarif itu kami kekeuh Rp2.400 per kilometer. Tapi pemerintah menetapkan menjadi Rp2.000 sampai Rp2.500. Itu jalan tengah, supaya perusahaan penyedia jasa transportasi online dan kepentingan kami bisa sama-sama berjalan,” kata Irwanto.

Sedangkan dari ketentuan jarak tempuh perjalanan sebagai penentu biaya jasa minimal, para pengemudi ojek online mengajukan permintaan sejauh 3 kilometer. Di sisi lain, pihak perusahaan penyedia jasa transportasi online meminta 5 kilometer.

Nah, pemerintah memutuskan, ambil di tengah-tengahnya, jadi ditentukan 4 kilometer,” ujar Irwanto, yang menjadi Ketua Komisi Keselamatan dan Keamanan Driver dan Penumpang.

Lebih lanjut, Irwanto mengatakan, dirinya tergabung dalam Tim 10, yang terdiri dari 10 orang perwakilan anggota komisi-komisi yang dijalankan oleh gabungan para pengemudi ojek online. Anggotanya terdiri dari para pengemudi ojek online.

“Saya sering diundang untuk membahas soal tarif ojek online oleh pemerintah,” tuturnya.

Beberapa kali, Tim 10 diundang pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk membicarakan aspirasi para pengemudi.

Irwanto menyebutkan, salah satu manfaat penetapan tarif baru ini adalah untuk mencegah perang tarif. Selama ini, kata dia, perbedaan tarif yang dikenakan bagi penumpang ojek online berbeda antara Gojek dan Grab.

“Perang tarif membuat orang enggak memperhatikan keselamatan. Dengan tarif layak, keselamatan bisa dijamin. Misalnya narik dari pagi, jam 3 sore sudah bisa dapat pemasukan paling enggak Rp200.000. Jadi, pengemudi enggak perlu terburu-buru,” tutur Irwanto.

Kementerian Perhubungan menentukan besaran tarif ojek online. Tarif ini dibagi menjadi tiga zona. Zona I meliputi Sumatera, Jawa selain Jabodetabek, dan Bali. Zona II meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Zona III meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Tarif batas bawah di zona I sebesar Rp1.850 per kilometer dan tarif batas atas Rp2.300. Sedangkan biaya jasa minimal—biaya yang dibayar penumpang dengan jarak maksimal 4 kilometer—sebesar Rp7.000 hingga Rp10.000.

Tarif batas bawah di zona II sebesar Rp2.000 dan tarif batas atas sebesar Rp2.300 per kilometer. Sedangkan biaya jasa minimal sebesar Rp8.000 hingga Rp10.000. Sementara dalam zona III, tarif batas bawah sebesar Rp2.100 dan batas atas Rp2.600 per kilometer. Sedangkan biaya jasa minimal Rp7.000 hingga Rp10.000.

Kementerian Perhubungan mengumumkan tarif itu pada 25 Maret 2019, dan akan mulai berlaku pada 1 Mei 2019.

Penumpang mengeluh

Sehari-hari, Angga Permana seorang karyawan di perusahaan e-commerce menggunakan jasa ojek online untuk pergi ke kantornya. Ia mengaku keberatan dengan ketentuan biaya jasa minimal yang ditetapkan Kementerian Perhubungan.

Angga mengatakan, tarif baru itu akan membuatnya harus merogoh kocek lebih dalam. Belum lagi, pelayanan ojek online menurutnya kerap mengecewakan. Terutama pengemudi yang sering beralasan tak punya uang kembalian tunai.

“Misalnya tarifnya Rp17.000, kita kasih Rp20.000. Tapi pengemudi selalu bilang kalau enggak ada kembalian,” tuturnya saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Kamis (28/3).

Angga menilai, tindakan pengemudi itu terkesan sebagai taktik pengemudi yang ingin meraup untung lebih. “Awalnya sih mikirnya wajar dan diikhlasin aja. Tapi lama-lama kok kayaknya jadi malah nganggap kalau ini taktik para driver,” ujarnya.

Sedangkan Dina, salah seorang karyawan yang bekerja di daerah Slipi, Jakarta Barat, biasa memesan layanan ojek online untuk mengantar perjalanan orang tuanya. Ia mengatakanm kenaikan tarif itu sangat tinggi. Ia pun hitung-hitungan.

“Biasanya tarif termurah Rp6.000-Rp8.000. Bayar pakai Gopay jadi Rp 4.000-6.000. Minggu ini, harganya menjadi Rp10.000, bayar pakai Gopay Rp8.000. Jadi mahal,” kata dia saat ditemui, Kamis (28/3).

Sementara itu, Paula Angelina, seorang mahasiswi Universitas Mercu Buana Jakarta menanggapi ketentuan biaya jasa minimal dengan jarak tempuh maksimal 4 kilometer. Ia menilai, tarif itu terlalu mahal.

“Kita perlu mengeluarkan lebih banyak uang ya untuk perjalanan kita. Kalau dihitung-hitung enggak jauh beda sama ojek pangkalan,” ucap Paula saat berbincang, Kamis (28/3).

Pengemudi senang

Pengemudi ojek online (ojol) menunggu penumpang di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/3). /Antara Foto.

Lain penumpang lain pula pengemudi ojek online. Kebijakan ketentuan tarif dari Kementerian Perhubungan itu, justru memberikan angin segar bagi perbaikan pemasukan mereka.

Irwanto, salah seorang pengemudi ojek online yang biasa beroperasi di sekitar wilayah Jakarta Utara menyambut baik perubahan tarif dari pemerintah. Ia menilai, ada usaha pemerintah menampung aspirasi pengemudi ojek online selama ini.

“Kebijakan itu merupakan jalan tengah yang cukup ideal dalam memenuhi kepentingan tiga pihak, yakni perusahaan aplikator (perusahaan penyedia jasa transportasi online), pengemudi ojek online, dan pelanggan,” ujar Irwanto saat dihubungi, Kamis (28/3).

Irwanto menyebut, untuk tarif biaya jasa minimal, ada kenaikan Rp800 dari sebelumnya. Sementara untuk tarif batas bawah, ia mengatakan, ketentuan yang diambil pemerintah cukup menampung keinginan yang selama beberapa bulan belakangan diidamkan para pengemudi ojek online.

“Tarif itu kami kekeuh Rp2.400 per kilometer. Tapi pemerintah menetapkan menjadi Rp2.000 sampai Rp2.500. Itu jalan tengah, supaya perusahaan penyedia jasa transportasi online dan kepentingan kami bisa sama-sama berjalan,” kata Irwanto.

Sedangkan dari ketentuan jarak tempuh perjalanan sebagai penentu biaya jasa minimal, para pengemudi ojek online mengajukan permintaan sejauh 3 kilometer. Di sisi lain, pihak perusahaan penyedia jasa transportasi online meminta 5 kilometer.

Nah, pemerintah memutuskan, ambil di tengah-tengahnya, jadi ditentukan 4 kilometer,” ujar Irwanto, yang menjadi Ketua Komisi Keselamatan dan Keamanan Driver dan Penumpang.

Lebih lanjut, Irwanto mengatakan, dirinya tergabung dalam Tim 10, yang terdiri dari 10 orang perwakilan anggota komisi-komisi yang dijalankan oleh gabungan para pengemudi ojek online. Anggotanya terdiri dari para pengemudi ojek online.

“Saya sering diundang untuk membahas soal tarif ojek online oleh pemerintah,” tuturnya.

Beberapa kali, Tim 10 diundang pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk membicarakan aspirasi para pengemudi.

Irwanto menyebutkan, salah satu manfaat penetapan tarif baru ini adalah untuk mencegah perang tarif. Selama ini, kata dia, perbedaan tarif yang dikenakan bagi penumpang ojek online berbeda antara Gojek dan Grab.

“Perang tarif membuat orang enggak memperhatikan keselamatan. Dengan tarif layak, keselamatan bisa dijamin. Misalnya narik dari pagi, jam 3 sore sudah bisa dapat pemasukan paling enggak Rp200.000. Jadi, pengemudi enggak perlu terburu-buru,” tutur Irwanto.

Buah simalakama

Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno memandang, usaha pemerintah yang menetapkan tarif baru sebagai tindakan diskresi. Menurut dia, kebijakan itu diambil pemerintah semata-mata untuk menampung kebutuhan pengguna dan kepentingan pengemudi ojek online.

“Namun, ini kebijakan temporer. Sementara saja. Makanya perlu sosialisasi mulai 1 April nanti,” kata Djoko saat dihubungi, Kamis (28/3).

Akademisi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang ini melanjutkan, kebijakan besaran tarif baru itu pasti akan menimbulkan pro dan kontra, selama masa uji coba.

“Ini buah simalakama, kalau tidak dinaikkan tarifnya, para mitra Gojek dan Grab ‘teriak’. Tapi setelah ditetapkan tarif naik, penumpangnya akan jadi berkurang,” tuturnya.

Selain itu, ia membaca aspirasi para pengemudi ojek online yang menginginkan tarif lebih tinggi dipengaruhi kejayaan usaha ojek online pada 2015 hingga 2016. Saat itu, setidaknya pengemudi ojek online bisa mengantongi pendapatan Rp8 juta hingga Rp12 juta.

Meski begitu, menurut Djoko, lambat laun muncul berbagai ketentuan layanan dan besaran tarif yang “dimainkan” pihak perusahaan penyedia transportasi online.

"Di masa awal pertumbuhan ojek online, cara-cara aplikator banyak dijalankan untuk menarik simpati. Sekarang sesudah usahanya bertumbuh, banyak jebakan-jebakan dibuat,” kata dia.

Sejumlah pengemudi ojek daring menunggu penumpang di depan Stasiun Sudirman, Jakarta, Senin (25/3). /Antara Foto.

Oleh karena itu, ia mengingatkan, kenaikan tarif yang ditetapkan pemerintah sangat kecil kemungkinannya untuk dapat memberi keuntungan besar bagi pengemudi. Penetapan tarif ini, kata dia, tidak bisa mengembalikan kejayaan pengemudi ojek online, seperti tiga tahun lalu.

“Sebaiknya (pengemudi ojek online) ini jangan jadi profesi, tapi sambilan saja,” katanya.

Lebih jauh lagi, Djoko menuturkan, usaha yang lebih penting dilakukan pemerintah adalah memperbaiki dan meningkatkan pelayanan transportasi umum. Terutama di luar Jabodetabek.

Sebab, keberadaan ojek online, menurut dia, sesungguhnya tak tergolong transportasi umum. Namun, ojek online sudah terlanjur digemari warga kota dan menjadi pilihan termudah mendukung mobilitas.

Meski kenaikan tarif ini, diprediksi Djoko bisa menurunkan jumlah pengguna ojek online, tetapi Djoko menilai bisnis perusahaan berbasis aplikasi ini akan bertumpu pada layanan lain, di luar transportasi manusia. Misalnya, jasa antar barang dan pemesanan makanan.

Ojek online tarifnya akan naik pada Mei 2019.

“Bisa juga menjadi sponsor untuk even-even, seperti Asian Games lalu. Di situ perusahaan bisa berbagi keuntungan dengan mitra (pengemudi ojek online),” tuturnya.

Demi mengantisipasi respons negatif sepanjang masa uji coba dan sosialisasi transportasi online ini, Djoko mengusulkan agar pemerintah bersama lembaga terkait lebih menguatkan koordinasi.

“Kemenhub, Kominfo, perlu buat peraturan. Sebab, bisa saja dari pengemudi ojek online menolak atau memutuskan sepihak bila ada ketentuan yang tidak mereka setujui,” ujarnya.

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan