Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) resmi menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2020 sebesar 8,51%.
Menaker Hanif Dhakiri mengatakan kenaikan tersebut sudah sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Dia mengatakan, kenaikan upah minimum setiap tahunnya merupakan sebuah kepastian.
"Bahwa kenaikan upah minimum setiap tahun merupakan suatu yang pasti. Secara kenaikannya disesuaikan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional," katanya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (18/10).
Dia melanjutkan, aturan tersebut harus diikuti dan diterima oleh semua pihak, baik pengusaha maupun buruh. Untuk perusahaan yang tidak mengindahkan aturan tersebut, katanya, dapat dipidana.
"Pembayaran upah minimum kan wajib. Kalau enggak bayar upah minimum itu bisa dipidana. Sanksinya banyak, ada sifatnya administratif, pemberhentian usaha, dan macam-macam," ujarnya.
Namun dia mengatakan, jika ada perusahan yang keberatan dan tidak dapat menyanggupi pembayaran senilai yang sudah ditetapkan tersebut, perusahaan dapat menempuh mekanisme permintaan penangguhan bayar.
"Kalau so far sih jalan, kalau enggak bisa kan perusahaan bisa mengajukan penangguhan upah. Itu mekanisme yang tersedia," ucapnya.
Hanif menuturkan, kenaikan UMP tersebut tidak akan menurunkan daya saing Indonesia dalam perebutan investasi. Sebab, sebelumnya sejumlah investor mengeluh bahwa ongkos produksi di Indonesia terlalu tinggi karena upah buruh yang mahal.
Seharusnya, lanjut Hanif, kebijakan tersebut sudah diantisipasi oleh pengusaha dari jauh-jauh hari, dengan melihat perkiraan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator kenaikan upah yang dikalkulasi pemerintah.
"Itu juga cara pemerintah untuk membantu dunia usaha, sementara bagi pekerjanya sendiri ada kepastian mengenai kenaikan upah setiap tahun. Jadi sebenarnya ini adalah situasi yang win-win (solution)," jelasnya.
Namun yang menjadi tantangan ke depan menurutnya adalah meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan mendukung pertumbuhan sektor industri ke depan.
"Tentu ini masih menjadi tantangan ke depan harus terus memperbaiki skill dari tenaga kerja kita ini. Karena memang dari angkatan kerja yang ada, baik yang pekerja maupun yang menganggur, masih didominasi oleh mereka yang pendidikannya SD dan SMP," terang Hanif.
Sementara itu, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mempertanyakan kenaikan UMP tersebut. Menurutnya dengan inflasi yang hanya sebesar 3,39% kenaikan upah tidak terlalu mendesak.
Lebih lagi, ujarnya, kenaikan upah tersebut dinilai akan menurunkan daya saing Indonesia. Selain itu, dengan upah yang semakin tinggi dia mengkhawatirkan sektor industri akan tergerus dan pada tingkatan lanjut akan menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Jangan memaksakan diri, jadi kan inflasi rendah kenapa harus memaksakan diri ya. Di sisi lain kan kalau kita lihat tingkat pengeluaran masyarakat turun apa dengan menaikkan UMP bisa naik justru malah makin turun karena orang banyak PHK," jelasnya.
Di lain sisi, dia mengatakan pemerintah juga harus mulai memikirkan sektor kerja informal, dibandingkan sektor pekerja formal yang jumlahnya hanya 30% dari angkatan kerja. Pasalnya, dengan perkembangan teknologi digital, banyak angkatan kerja muda yang bekerja di sektor ini dan belum masuk dalam regulasi pemerintah.
"Saya sih melihat kita sekarang harus mulai memikirkan ada era baru dari tenaga kerja, enggak hanya formal ternyata sektor kerja informal juga meningkat dan penghasilannya besar. Anak muda ini akan menjadi tenaga outsourcing dan ini harus diatur, jangan seolah kita hanya fokus ke 30%," tuturnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, inflasi nasional 2019 mencapai 3,39% dan pertumbuhan ekonomi nasional (PDB) sebesar 5,12%.