close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.
Bisnis
Minggu, 17 April 2022 14:23

Pendekatan yurisdiksi: Upaya cegah karhutla dan lestarikan lahan hijau

Pendekatan yurisdiksi membuat daerah memiliki rencana spesifik untuk menjaga lingkungan. Baru lima kabupaten yang menerapkan program ini.
swipe

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hebat melanda Riau pada 2015 silam. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, saat itu seluas 4.189,5 hektare lahan di Siak telah dilalap oleh api. 

Untungnya, di tahun-tahun berikutnya luasan lahan dan hutan yang terbakar terus mengalami penurunan, hingga pada 2018 hanya menjadi 157 hektare lahan atau turun sekitar 160%. Meski turun tipis, angka kebakaran hutan kembali mengalami penyusutan. Sepanjang tahun lalu api hanya menghanguskan sekitar 106 hektare lahan dan hutan di Siak. 

“Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015 itu menyebabkan Siak mengalami kerugian sebesar Rp16,1 triliun,” ungkap Wakil Bupati Siak Husni Merza, dalam sambutannya, ketika membuka Forum Aksi Kolektif Yurisdiksi (JCAF) ke-7, Kamis (7/4).

Diketahui, Kabupaten Siak, Riau adalah salah satu daerah yang memiliki lahan gambut terbesar di Indonesia. Berdasarkan catatan Badan Informasi Geospasial (BIG), luas lahan gambut di kabupaten di barat Provinsi Riau ini mencapai 57,44% dari total luas wilayahnya, yakni 8.556,09 km2. Dengan tingkat ketebalan gambut antara 3-15 meter. 

Dengan kondisi ini, Siak memiliki risiko tinggi mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Belum lagi sifat tanah gambut yang seperti spons, menyerap dan menahan air secara maksimal di musim penghujan namun sangat kering kala kemarau. 

Meskipun angka kebakaran hutan terus menunjukkan tren penurunan, Husni tetap tak ingin gegabah. Apalagi, menurut pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekan Baru, Riau, masih ada dua titik panas (hotspot) karhutla aktif di Siak. Selain itu, pada Januari lalu, si jago merah sudah sempat melahap 6,39 lahan gambut di Siak, kemudian bertambah menjadi 10,5 hektare hingga 1 April.

Ilustrasi lahan gambut. Pixabay.com.

Sementara itu, Husni mengaku, bukan hal mudah untuk dapat menekan angka kebakaran hutan di wilayah yang didominasi oleh lahan gambut. Komitmen untuk mengurangi kebakaran hutan dilakukan Siak sejak 22 Juli 2016 dengan menerapkan kebijakan Siak Hijau. Kemudian diresmikan melalui Peraturan Bupati Nomor 22 Tahun 2018 tentang Siak Kabupaten Hijau. 

Siak Hijau sendiri merupakan program pemerintah daerah (Pemda) Siak untuk mendorong prinsip-prinsip kelestarian dan berkelanjutan dalam pembangunan, pemanfaatan sumber daya alam (SDA), dan peningkatan ekonomi masyarakat. 

“Belajar bahwa terjadinya kebakaran hutan yang dampaknya luar biasa, bukan hanya ke Siak, tapi juga ke negara tetangga,” jelas Husni, kepada Alinea.id, Jumat (8/4).

Berangkat dari situ, Siak menggandeng berbagai stakeholder, mulai dari akademisi, organisasi nir-laba pemerhati lingkungan, hingga swasta untuk menyusun sebuah yurisdiksi yang berpedoman pada pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs). Kebijakan Siak Hijau menjadi implementasi dari pendekatan yurisdiksi (PY) alias jurisdictional approach (JA). 

Langkah ini tidak bisa hanya dilakukan melalui aksi-aksi di lapangan, melainkan harus disertai dengan perubahan sistemik. Mulai dari kebijakan hingga kemampuan untuk memonitor pendekatan yurisdiksi yang diterapkan.

Pasalnya, penerapan JA saat ini merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh daerah-daerah di seluruh Indonesia, mengingat kondisi iklim yang kian memprihatinkan. “Di satu sisi perekonomian masyarakat harus kita pikirkan, di sisi lain, kita juga sudah tidak bisa mengganti kondisi alam yang sudah terjadi,” tegas Husni.

Ilustrasi Alinea.id/M.T Fadillah

Pada awalnya Siak Hijau dilakukan secara berkelompok. Kelompok pertama terdiri dari pemerintah dan 22 NGO (Non-Governmental Organization) serta CSO yang diberi nama Sedawuh Siak atau Saudara Siak. Kemudian, ada pula kelompok pemerintah dengan pengusaha yang bernama Koalisi Private Sector untuk Siak Hijau. 

Lima tahun berselang, pada tahun lalu, pemerintah daerah Siak meng-upgrade kebijakan Siak Hijau untuk dijadikan program yang lebih tinggi lagi, dengan menerbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2022 tentang Siak Hijau. 

“Sekarang, kami sedang siapkan peraturan turunan dari Perda dan akan ada roadmap lagi, karena ada masukan baru dari komunitas dan private sektor,” jelas Husni. 

Di sisi lain, untuk mengajak daerah-daerah dalam lingkup lebih kecil, seperti kecamatan, desa, serta RT dan RW, Pemerintah Kabupaten Siak juga menawarkan skema insentif fiskal berbasis ekologi yang disebut Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE). Kebijakan ini merupakan tindaklanjut dari Peraturan Bupati Siak Nomor 22 tahun 2018. 

TAKE, lanjut Husni, nantinya akan diberikan kepada kampung-kampung yang memiliki kinerja baik dalam perlindungan lingkungan, peningkatan ekonomi dan penurunan kemiskinan.

Selanjutnya, peningkatan ekonomi yakni indikator kebijakan regulasi, alokasi anggaran, penurunan kemiskinan, inovasi dan kegiatan serta IDM Ekologi. Pagu Anggaran Dana Kampung (ADK) pada Tahun 2021 ini telah dianggarkan sebesar Rp115,9 miliar. 

Dana itu dialokasikan dengan tiga formulasi yaitu, alokasi dasar sebesar 70% yang dibagi secara merata ke seluruh kampung, 25% merupakan alokasi proporsional berdasarkan perhitungan jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan dan angka kesulitan geografis. Sedangkan 5% lainnya dialokasikan berdasarkan kinerja ekologi atau TAKE.

Berbasis komoditas

Langkah berbeda diterapkan Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Kebijakan JA ini lebih spesifik pada komoditas, yakni kelapa sawit. Dengan hasil akhir yang diharapkan dapat terwujud adalah pengelolaan sawit berkelanjutan.

Ilustrasi perkebunan sawit. Pixabay.com.

Bupati Seruyan, Yulhaidir menceritakan, pihaknya telah menerapkan JA untuk mencapai kesejahteraan hijau sejak 2015 lalu. “Kami juga menjalankan pendekatan yurisdiksi untuk menyatukan semua pihak dalam semangat keberlanjutan,” katanya, kepada Alinea.id, Jumat (8/4).

Pada saat itu, Kabupaten Seruyan menyatakan komitmennya untuk menjadi salah satu kabupaten yang akan memproduksi komoditas kelapa sawit secara berkelanjutan. Kemudian, lima tahun berselang, untuk mempertegas komitmen dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di daerah, Bupati Seruyan lantas menerbitkan Keputusan Bupati Nomor 188.45/305 Tahun 2020 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Sertifikasi Kelapa Sawit Berbasis Yurisdiksi Kabupaten Seruyan. 

“Dalam perkembangan pelaksanaan kerjanya, 3 (tiga) fokus kerja yang ada dijalankan oleh Sub Kelompok Kerja (subpokja-red) yang sudah mulai aktif terhitung sejak awal tahun 2021,” imbuhnya.

Adapun fokus kelompok kerja dimaksud yaitu, upaya mengurangi deforestasi, perlindungan wilayah nilai konservasi tinggi dan area stok karbon tinggi, upaya pencegahan konflik dan pemberdayaan petani, masyarakat adat serta komunitas lokal. 

Rencana kerja Subpokja selanjutnya akan ditetapkan menjadi Rencana Aksi Daerah Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAD KSB) Kabupaten Seruyan. Selain itu, pembentukan Kelompok Kerja merupakan realisasi dari forum multipihak dan entitas yurisdiksi yang melibatkan seluruh komponen baik pemerintah, perusahaan, organisasi non pemerintah, akademisi, perwakilan masyarakat adat dan petani.

Tujuannya, untuk mengelola komoditas secara berkelanjutan pada skala kabupaten, bukan lagi unit usaha ataupun manajemen. “Skema ini diharapkan dapat direplikasi ke kabupaten-kabupaten lainnya sehingga membentuk satu wilayah yurisdiksi yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencapai pembangunan berkelanjutan,” kata Yulhaidir.

Melalui JA, kini Seruyan telah mampu menciptakan 5.296 petani swadaya, angka ini setara dengan 88,3% dari total petani swadaya kelapa sawit di wilayah yang memiliki luas 1,64 juta ha ini. Selain itu, sudah ada juga 626 petani swadaya dengan sertifikasi RSPO dan ISPO. Dari hasil sertifikasi tersebut, petani dapat menjual sertifikat berkelanjutan senilai Rp2,2 miliar per tahun. 

Kemudian, pemerintah Kabupaten Seruyan juga telah mengeluarkan 1.508 Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang dimanfaatkan untuk kepentingan sertifikasi maupun pemberdayaan petani melalui program-program pusat, provinsi maupun kabupaten. Selain juga merestorasi 35 wilayah dengan tanaman alami diselingi tanaman produktif di 3 desa, serta memfasilitasi 30 konflik usaha perkebunan untuk dapat diselesaikan melalui proses penyelesaian yang tuntas.

“Saya telah menginstruksikan kepada semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk mendukung target yurisdiksi berkelanjutan dan mengintegrasikan beberapa target tersebut ke dalam rencana kerja masing-masing OPD,” jelas Yulhaidir. 

Terpisah, Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto menilai, upaya Siak melalui Siak Hijau telah efektif menurunkan titik api ke tingkat terendah. Di saat yang sama, dengan optimalisasi fungsi lahan gambut, terutama yang telah ditanami oleh tanaman kelapa sawit, pemerintah daerah Siak juga sudah berhasil dalam meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan mereka, sekaligus juga meningkatkan pendapatan petani dengan adanya penerapan pertanian berkelanjutan.
 
“Dua prestasi ini, menunjukkan dampak bahwa pembangunan rendah karbon dari pendekatan yurisdiksi ini memang berketahanan iklim. Karena tidak berpengaruh positif pada lingkungan saja, tapi juga pada masyarakat,” kata Arifin, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (15/4).

Namun demikian, di balik capaian yang telah diperoleh Siak maupun Seruyan, ada berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh dua kabupaten tersebut. Kabupaten Seruyan misalnya, yang harus menghadapi tantangan dari kapasitas sumber daya manusia yang masih terbatas. Belum lagi kurangnya dukungan perusahaan besar swasta, hingga tantangan kebijakan yang kebanyakan terjadi karena masih banyak petani yang belum mendapatkan status legal. 

“Keberadaan mereka yang beririsan dengan kawasan hutan masih terus kami perjuangkan untuk mengikuti skema-skema penyelesaian hak seperti Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan penyelesaian hak atas tanah dalam kawasan hutan,” kata Bupati Seruyan Yulhaidir.

Adapun Kabupaten Siak menghadapi tantangan dari perkebunan kelapa sawit yang masih banyak dimiliki oleh masyarakat. Dia bilang, masyarakat pada umumnya belum memiliki pengetahuan, wawasan dan kemampuan mumpuni dalam mengelola sawit secara berkelanjutan. 

Padahal, saat ini penting bagi produsen kelapa sawit untuk memproduksi kelapa sawit maupun olahannya secara berkelanjutan, yang mana sawit-sawit tersebut berasal dari perkebunan atau lahan yang tidak merusak lingkungan. 

“Ini perlu kerja sama yang strategis, bukan hanya dari Kabupaten Siak saja, tapi juga dari Pemprov, Pemerintah Pusat, CSO, NGO, dan juga private sector untuk mendampingi (petani swadaya-red),” ujar Wakil Bupati Siak Husni Merza.

Sementara itu, Pendekatan Yurisdiksi yang pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak pun dipercaya sebagai metode baru untuk memperbaiki kualitas lingkungan sekaligus keekonomian masyarakat. Belum lagi, menurut CDP Disclosure Insight Action, Dari 17 target SDGs, penerapan Pendekatan Yurisdiksi juga diperkirakan dapat mencapai sedikitnya 10 tujuan SDGs.

“Pendekatan Yurisdiksi yang merupakan salah satu praktik ekonomi hijau juga sebagai game changer dalam Strategi Transformasi Ekonomi untuk mendorong Indonesia lepas dari Middle Income Trap sebelum tahun 2045,” lanjut Arifin. 

Sayangnya, dari 416 kabupaten yang ada di 34 provinsi di Indonesia, hanya ada 5 kabupaten yang menerapkan Pendekatan Yurisdiksi dan menjadi Perintis Kerangka Daya Saing Daerah (KDSD), yakni Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Sintang, Kabupaten Siak, Kabupaten Musi Banyuasin, dan Kabupaten Aceh Tamiang. 

Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, Pendekatan Yurisdiksi memang tidak mudah untuk diterapkan oleh daerah. Sebab, dalam menerapkan pendekatan ini, pemerintah daerah harus berani mengubah seluruh kebijakan mereka, dan melakukan monitoring ketat, saat pendekatan ini telah diimplimentasikan. 

Selain itu, dari lima daerah yang telah menerapkan Pendekatan Yurisdiksi memiliki beberapa kesamaan, seperti telah mengidentifikasi deforestasi dan degredasi hutan sebagai isu wilayah, memiliki kebijakan dalam menanggulangi deforestasi dan degradasi hutan. Kemudian, semua daerah itu juga sudah memiliki rencana aksi iklim, serta aktif berkolaborasi dengan sektor swasta dalam pengelolaan lingkungan dan kehutanan. 

Ilustrasi Unsplash.com.

“Sementara yang belum melaksanakan itu, antara memang mereka belum paham konsep dari Pendekatan Yurisdiksi, atau mereka paham, tapi belum mampu melaksanakan,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (15/4).

Namun demikian, dia menyarankan, bagi daerah yang ingin mengimplementasikan Pendekatan Yurisdiksi diharuskan untuk memahami kondisi daerahnya terlebih dulu. Terkait apa saja permasalahan lingkungan yang sedang mereka alami, apa saja yang harus diperbaiki, serta tujuan dalam implementasi ini ke depannya. 

Pelaporan Pendekatan Lanskap/Pendekatan Yurisdiksi di dalam Kuisioner SubNasional

Keterangan

Global

Indonesia

Mengetahui dan menerapkan PY

37

5

Mengetahui, namun belum menerapkan PY

16

1

Tidak mengetahui PY

45

0

Tidak melaporkan PY

33

2

“Tapi ini juga perlu kerja sama dari banyak pihak. Seperti pemerintah pusat atau pemerintah provinsi, swasta, dan komunitas, juga masyarakat. Apalagi, sekarang aturan tentang hutan misalnya, itu ada di pemrov izinnya. Harus dikoordinasikan dulu. Tapi tetap, yang memegang kendali adalah kabupaten,” tegas Armand.


 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan