Upaya menekan deforestasi dan kekhawatiran kacaunya perdagangan global
Bertarikh 6 Desember 2022, Parlemen serta Dewan Uni Eropa (UE) resmi menyepakati dan mengesahkan aturan tentang Rantai Pasok Bebas Deforestasi atau Deforestation-Free Supply Chains. Beleid anyar ini akan memastikan bahwa komoditas yang diekspor ke pasar Eropa tidak lagi berkontribusi terhadap deforestasi dan degradasi hutan.
Dengan Undang-undang (UU) ini, perusahaan yang ingin mengekspor komoditas di berbagai negara di Uni Eropa pun diwajibkan untuk melakukan uji tuntas (due diligence) produk. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa komoditas yang dipasarkan di benua ini tidak diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020 dan legal. Artinya, telah mematuhi semua undang-undang relevan yang berlaku di negara produksi.
“Perusahaan juga akan diminta untuk mengumpulkan informasi geografis yang akurat di tanah pertanian tempat komoditas yang mereka sumber tumbuh, sehingga komoditas ini dapat diperiksa kepatuhannya,” kata Juru Bicara Komite Eropa Adalbert Jahnz dalam keterangan resminya yang dikutip Alinea.id, Minggu (18/12).
Sejauh ini, aturan ini berlaku untuk produk minyak sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu dan karet serta produk turunannya seperti daging sapi, furnitur, atau cokelat. Di mana berbagai komoditas tersebut selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab terbesar terjadinya deforestasi secara besar-besaran di negara-negara seperti Brasil, Indonesia, Malaysia, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Meksiko, dan Guatemala.
“Daftar komoditas yang tercakup akan ditinjau dan diperbarui secara berkala, dengan mempertimbangkan data baru seperti perubahan pola deforestasi,” imbuh Jahnz.
Sementara itu, dalam praktiknya nanti Komisi Eropa akan menjalankan sistem tolok ukur untuk menilai negara atau bagiannya terkait tingkat risiko deforestasi dan degradasi hutannya. Kemudian, Komisi Eropa juga akan mempertimbangkan ekspansi lahan pertanian untuk produksi ketujuh komoditas dan produk turunannya.
Dalam keterangannya, Petugas Pres untuk Urusan Lingkungan, Kelautan dan Perikanan Komisi Eropa Daniela Stoycheva mengungkapkan bahwa regulasi baru ini dimaksudkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan potensi hilangnya keanekaragaman hayati yang berasal dari terus naiknya angka deforestasi dan degradasi hutan dunia.
“Juga membantu mengamankan mata pencaharian jutaan orang, termasuk masyarakat adat dan komunitas lokal di seluruh dunia, yang sangat bergantung pada ekosistem hutan,” lanjut dia.
Bagi Komisi Eropa, sikap tegas untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini merujuk pada laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang memperkirakan bahwa selama tiga puluh tahun terakhir sekitar 420 juta hektar lahan di seluruh dunia telah digunduli.
“Karena UE (Uni Eropa) adalah ekonomi utama dan konsumen komoditas ini, langkah ini akan membantu menghentikan sebagian besar deforestasi dan degradasi hutan global, yang pada gilirannya mengurangi emisi gas rumah kaca dan hilangnya keanekaragaman hayati,” tutur Stoycheva.
Bagi banyak pihak, lahirnya beleid ini dianggap sebagai terobosan besar dan langkah nyata Uni Eropa untuk mengurangi deforestasi yang masih terjadi di banyak negara di dunia, sekaligus juga untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang terus meningkat karena degradasi lahan. Namun di saat yang sama, upaya ini juga dikhawatirkan dapat mengganggu aktivitas perdagangan baik di Eropa sendiri maupun negara-negara pemasok tujuh produk serta produk turunannya yang masuk dalam aturan ini.
“Hal ini dinilai akan mempengaruhi barang sehari-hari yang dikonsumsi orang Eropa. Kopi yang kita konsumsi untuk sarapan, coklat yang kita makan, batu bara yang kita gunakan untuk barbeque, kertas di buku kita,” kata Ketua Komite Lingkungan Parlemen Eropa Pascal Canfin, seperti dikutip AFP, Senin (19/12).
Ancaman perdagangan
Sementara itu, dalam wawancaranya bersama Context.news, Penasihat Senior Keanekaragaman Hayati di World Resources Institutes (WRI) Charles Barber menilai, aturan yang telah digagas sejak November 2021 ini akan menimbulkan sejumlah ‘kejutan’ kepada rantai pasok negara-negara produsen tujuh komoditas dan produk turunannya.
Bagaimana tidak, bagi negara produsen tujuh komoditas ini, seperti Brasil, Kolombia, Malaysia, termasuk Indonesia beleid ini dinilai memberatkan dan mahal. Pada akhirnya, aturan baru ini justru dikhawatirkan bakal mengekang perdagangan bebas yang selama ini sudah berjalan di negara-negara tersebut.
“Petani kecil yang sering kali merupakan bagian penting dari rantai pasok komoditas mungkin harus berjuang lebih keras untuk membuktikan bahwa produk yang mereka tanam bebas deforestasi,” kata Barber, Rabu (7/12).
Menanggapi lahirnya ketentuan ini, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada sesi pleno Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Peringatan 45 Tahun ASEAN-Uni Eropa di Brussels, Rabu (14/12) lalu, menilai bahwa ketentuan ini justru berpotensi menciptakan hambatan pada hubungan perdagangan Indonesia-Uni Eropa. Padahal, seharusnya di tengah ancaman resesi global, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN dan Uni Eropa diharapkan dapat saling mempermudah aturan perdagangan dan investasi.
“Indonesia ingin menekankan bahwa pembangunan yang inklusif dan bernilai tambah akan mendukung ketahanan ekonomi dunia secara berkeadilan. Dalam kaitan inilah Indonesia akan terus membangun industri hilirisasi,” katanya.
Angka deforestasi Indonesia 2015-2020
Tahun | Luas hutan |
2015-2016 | 629,2 ribu hektar |
2016-2017 | 480 ribu hektar |
2017-2018 | 439,4 ribu hektar |
2018-2019 | 462,5 ribu hektar |
2019-2020 | 115,5 ribu hektar |
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
Bahkan, menurut Staf Kerja Sama Intrakawasan dan Antarkawasan Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Emilia H. Elisa, aturan ini bersifat anti-multilateralisme dan diskriminatif. Sebab, dari catatannya aturan ini banyak melanggar berbagai komitmen internasional dan multilateral.
Tidak hanya itu, aturan ini juga melanggar kedaulatan hukum sebuah negara karena pada dasarnya regulasi ini tidak bisa diterapkan di banyak negara lainnya. Aturan ini juga telah membatasi negara berkembang seperti Indonesia untuk mencapai pembangunan.
“Kebijakan Uni Eropa ini merupakan bentuk tindakan diskriminatif dan melanggar aturan WTO (World Trade Organization), terutama Pasal XI tentang Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT/The General Agreement on Tariffs and Trade) tahun 1947,” katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) Deforestation Free Supply Chain European Union yang dihelat Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu (7/12).
Dia juga menilai penolokukuran berdasarkan negara dan bukan komoditas oleh Komite Eropa untuk kelayakan pengiriman komoditas ke negara-negara di benua tersebut berpotensi mendiskreditkan sebuah negara. Emilia mencontohkan, jika enam dari tujuh komoditas yang disebutkan Uni Eropa masih menyumbang deforestasi tinggi pada suatu negara, maka negara tersebut akan dianggap sebagai negara dengan tingkat deforestasi tinggi oleh Komite Eropa.
Dengan kondisi ini, ketujuh produk dari negara ini bersama produk turunannya pun secara otomatis akan dilarang (banned) untuk dipasarkan di Uni Eropa. Padahal, masih ada satu komoditas yang tidak menyumbang deforestasi.
“Indonesia telah mengambil sejumlah sikap untuk merespon kebijakan ini. Salah satunya pada 14 Januari 2022, Menteri Perdagangan telah bersurat kepada 27 menteri perdagangan negara lain. Isinya cukup keras,” ungkapnya.
Beberapa di antaranya adalah penilaian dan ajakan Indonesia kepada 27 negara lain untuk mengkritisi beleid ini. Kemudian, Kedutaan Besar RI di Brussel juga telah mengumpulkan dukungan dari 14 negara dan membuat surat bersama yang mengkritisi rencana Uni Eropa untuk menerapkan aturan ini.
Kekhawatiran terbesar petani
Tidak hanya itu, dalam pengarahan pers secara daring melalui akun Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (15/12), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan bahwa kebijakan anyar ini telah menjadi salah satu kekhawatiran terbesarnya. Hal ini pun akan menjadi bahan bahasan dirinya bersama Menteri Luar Negeri dan Human Resource Vice President Uni Eropa (HRVP UE) dalam pertemuan yang bakal dilaksanakan dalam waktu dekat.
“Saya akan menyampaikan concern terhadap beberapa kebijakan UE yang merugikan Indonesia (kepada HRVP UE),” jelas dia.
Bagi Indonesia, aturan Deforestation-Free Supply Chain ini penting lantaran akan banyak mempengaruhi perdagangan internasional tanah air dan negara ASEAN lainnya yang mengandalkan komoditas pertanian dan hasil hutan. Apalagi, Uni Eropa telah menjadi mitra dagang terbesar bagi ASEAN, setelah Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Di mana total perdagangan ASEAN-Uni Eropa tahun lalu mencapai US$268,9 miliar atau sekitar Rp4,19 kuadraliun (kurs Rp15.600 per dolar AS).
Pada periode yang sama, investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) dari Uni Eropa ke ASEAN pun tidak kalah besar, yakni mencapai US$26 miliar. Kondisi ini menjadikan Uni Eropa sebagai sumber FDI terbesar kedua di ASEAN, setelah Tiongkok.
“Oleh karena itu, Presiden Indonesia menyampaikan bahwa kemitraan ASEAN-Uni Eropa sangat penting. Tidak hanya untuk kesejahteraan kedua Kawasan, tetapi juga untuk menghadapi berbagai tantangan global,” tegas Retno.
Dengan adanya aturan ini, jelas akan berdampak kepada perdagangan luar negeri Indonesia. Meskipun pada praktiknya Uni Eropa bukan merupakan negara tujuan utama produk-produk hutan dan pertanian tanah air.
Namun, dibandingkan industri besar, implikasi dari beleid ini dinilai akan memberikan dampak lebih besar kepada petani atau pelaku usaha kecil yang masuk dalam jaringan rantai pasok komoditas yang diatur dalam UU. Hal ini karena pelaku usaha yang akan melakukan ekspor produk ke Uni Eropa diharuskan untuk menunjukkan sertifikat tertentu yang menunjukkan kalau barang yang dikirimnya tidak diproduksi di lahan yang menimbulkan deforestasi maupun degradasi lahan.
“Padahal sertifikasi untuk due diligence ini mahal dan untuk mendapatkannya rumit sehingga butuh waktu yang lama. Mungkin kalau buat perusahaan yang sudah terbiasa melakukan ekspor akan tidak begitu bermasalah, tapi kalau untuk petani kecil, sertifikasi tidak mudah dan mahal,” jelas Peneliti Indef Ari Rakatama, kepada Alinea.id, Senin (19/12).
Di Indonesia, lanjut dia, petani kecil merupakan produsen terbesar dari komoditas kelapa sawit, selain juga kakao, kopi dan ternak sapi. Mengutip data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), sampai saat ini 93% dari total luas perkebunan sawit atau sekitar 6,87 juta hektar digarap oleh petani swadaya.
Perbaikan tata kelola
Meski begitu, Ari mengakui bahwa sampai saat ini tata kelola sawit nusantara masih belum efektif. Tak heran jika sektor perkebunan sawit masih terus menjadi salah satu penyumbang terbesar deforestasi dan degradasi lahan.
“Karena itu, tata kelola perkebunan sawit juga sudah saatnya dibenahi, agar produk kelapa sawit dapat lebih diterima di Eropa,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, perkebunan sawit menurutnya pun juga dapat diintegrasikan dengan sektor lainnya, seperti peternakan sapi rakyat. Di mana dalam hal ini integrasi ternak dengan tanaman perkebunan ini dilakukan dengan bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan untuk pakan ternak serta pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk tanaman.
“Dengan begitu akan tercipta perkebunan yang berkelanjutan,” imbuh dia.
Meski begitu, untuk dapat mencapai perkebunan dan pertanian yang berkelanjutan jelas membutuhkan waktu lama. Karenanya Ari menilai jalan keluar tercepat yang dapat diambil pemerintah sembari membenahi tata kelola sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan peternakan di Indonesia adalah dengan mencari pasar alternatif dari komoditas yang termasuk di dalam UU Deforestation-Free Supply Chain Uni Eropa itu.
“Sebagai contoh, sawit, Indonesia bisa saja mengalihkan pasar sawit dari Eropa ke Amerika atau Cina. Atau bahkan bisa juga dimaksimalkan untuk kebutuhan domestik dulu,” ujarnya.
Sementara itu, perbaikan tata kelola khususnya pertanian dianggap penting karena selama ini sektor inilah yang menjadi penyebab utama deforestasi di tanah air. Perkebunan sawit misalnya, dari catatan Auriga Nusantara, luas lahannya diperkirakan telah meningkat lebih dari 200%, ketika luas area pertambangan hanya meningkat 3 kali lipat.
Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit ini terjadi seiring dengan semakin kuatnya posisi Indonesia sebagai produsen, eksportir dan konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Berdasar hasil penelitian Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Agroforestri Global (CIFOR-ICRAF), 56,1% dari total ekspor kelapa sawit dunia dipenuhi Indonesia, pun dengan produksi sawit yang mencapai 59,5% dari total produksi sawit global juga berasal dari nusantara.
“Di 2021, sebagian besar produksi kelapa sawit ditujukan untuk ekspor, termasuk ke Uni Eropa. Uni Eropa adalah salah satu green buyer Indonesia dan hampir 90% sudah terindikasi berkelanjutan,” kata Peneliti CIFOR Sonya Dyah, kepada Alinea.id, Selasa (20/12).
Untuk mengamankan posisi Indonesia ini, dia menilai penting bagi pemerintah dan industri untuk menerapkan perdagangan hijau (green trade) dalam meningkatkan keberlanjutan kelapa sawit. Hal ini juga dinilai dapat membantu mengurangi deforestasi di Indonesia yang saat ini semakin mengkhawatirkan.
“Karena kalau tidak segera diterapkan, yang akan terdampak paling dalam adalah petani dan produsen-produsen kecil,” imbuh dia.
Ihwal kebijakan ini, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono menegaskan bahwa pihaknya tidak dapat menerima beleid yang rencananya bakal diterapkan 18 bulan dari 6 Desember 2022. Pasalnya, aturan terkait ketertelusuran, petani kecil, dan profil risiko yang termaktub di dalam undang-undang, melampaui batas dan tidak rasional untuk menjamin keberlanjutan.
Hal ini justru dinilainya akan membuat Uni Eropa menjadi penghalang kemajuan lingkungan Indonesia yang telah memecahkan rekor serta menempatkan UE secara langsung bertentangan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB 2030. Bahkan, dalam kajian GAPKI, aturan ini juga berisiko pada pembangunan sosial dan ekonomi para petani kecil, tidak hanya di persawitan namun juga di komoditas pertanian dan perkebunan lainnya.
Bagaimana tidak, dengan aturan ini Uni Eropa seakan memaksa petani kecil ke dalam persyaratan keterlacakan yang mahal dan kompleks akan menyebabkan petani tersebut ditinggalkan di pasar global. “Untuk itu kami mendesak Dewan dan Komisi UE agar keduanya menjadi rasional,” ujar Joko.
Sementara itu, selain memberikan penolakan tegas, GAPKI juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah Uni Eropa yang sudah disampaikan dalam bentuk surat yang ditujukan untuk Komite Eropa. Di mana di dalamnya, GAPKI meminta agar petani kecil dapat dibebaskan dari regulasi persyaratan keterlacakan. Selain itu, skema sertifikasi sawit berkelanjutan yang saat ini sudah ada, baik skema nasional maupun skema sukarela harus diterima sebagai bentuk kepatuhan berdasarkan peraturan Uni Eropa.
Kemudian, metode pengambilan sampel dan audit pengambilan sampel harus dipertimbangkan, termasuk sebagai masa transisi, bukan keterlacakan langsung. Di saat yang sama, masa transisi menuju kewajiban pemberlakukan peraturan ini juga harus fleksibel untuk memenuhi kebutuhan pembangunan berkelanjutan petani kecil dalam rantai pasokan dan mempromosikan inklusivitas.
“Pemerintah mitra dan sektor yang terkena dampak harus sepenuhnya terlibat dalam proses konsultasi untuk menentukan status risiko tinggi dan risiko rendah,” lanjut dia.
Selain GAPKI, Himpunan Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) juga menjerit tatkala aturan ini resmi diteken. Sebabnya, Uni Eropa tidak mengakui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) atau sistem uji tuntas atau ketelusuran asal-usul kayu dan pengelolaannya yang selama ini menjadi sistem ketelusuran di industri furnitur maupun perkayuan.
Sebaliknya, untuk bisa masuk ke pasar Eropa, produk furnitur, kerajinan dan produk berbasis kayu lainnya diharuskan memiliki sertifikat Dewan Forest Stewardship Council (Forest Stewardship Council/FSC).
“Ini jelas membebani kami, karena kami harus punya dua sertifikasi, SLVK dan FSC. Karena kalau tidak, produk mebel dari Indonesia jelas akan kalah saing dengan produk dari negara laun,” keluh Ketua Presidium Himki Abdul Sobur, saat dihubungi Alinea.id belum lama ini.
Karenanya, agar dapat bersaing dengan produk hasil kayu dari negara lain, dia menilai perlu bagi pemerintah untuk membenahi sistem ketelusuran bahan baku kayu. Namun, agar tidak menyulitkan para produsen, pemerintah perlu mengintegrasikan dan menyederhanakan sertifikasi yang menjadi syarat ketelusuran dengan menerapkan satu sertifikasi saja, SLVK atau FSC.
“Kalau memang SLVK yang dipakai, pemerintah perlu berusaha agar SLVK dapat diterima di Uni Eropa,” imbuh dia.
Apalagi, dari catatan Sobur, pasar ekspor furniture dan kerajinan Indonesia ke Uni Eropa cukup besar, yakni sekitar 30% dari total ekspor. Dengan total nilai ekspor furniture dan kerajinan Indonesia ke pasar global tumbuh 27,23% menjadi US$3,47 miliar pada tahun 2021.