Anggota Komisi VII DPR RI, Tjatur Sapto Edy, mengatakan pihaknya sudah menyerahkan berkas revisi Undang-undang Minyak dan Gas (UU Migas) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun hingga kini, pemerintah belum juga memberikan tanggapan atas revisi UU tersebut. Tjatur menargetkan akan membahas kembali rancangan revisi UU Migas usai pemilihan presiden pada 17 April 2019.
“Usulan dari DPR sudah selesai, sudah diparipurnakan di masa sidang yang lalu. Kemudian menunggu amanat Presiden, baru kemudian dibahas. Mungkin karena ini mau pemilu jadi tertahan pembahasannya, mudah-mudahan setelah pemilu bisa dikebut,” kata Tjatur di Jakarta.
Dalam berkas revisi UU Migas terakhir yang sudah diserahkan ke presiden, DPR mengusulkan adanya badan usaha khusus untuk mengganti SKK Migas. Badan usaha khusus tersebut keberadaannya nanti berada di bawah PT Pertamina (Persero).
Menurut Tjatur, konsep badan usaha khusus tersebut mirip dengan kelembagaan BUMN perminyakan milik Malaysia yaitu Petronas. Konsep ini, kata dia, sebenarnya sudah diterapkan Pertamina dalam UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara untuk membentuk badan usaha khusus.
Artinya, kata dia, sebenarnya konsep badan usaha yang diterapkan Petronas saat ini merupakan contekan dari Indonesia. Nantinya, badan usaha khusus tersebut yang akan mengelola sektor migas secara keseluruhan dari hulu hingga hilir, termasuk melaksanakan kontrak kepada pihak ketiga.
"Iya, nanti SKK Migas tidak ada, dilebur ke badan usaha khusus seperti Pertamina jaman dulu. Badan usaha ini diberi kuasa untuk mengurusi bisnis hulu, sama seperti Petronas. Badan usaha khusus ini sebetulnya merupakan UU Tahun 71 yang dicontek habis oleh Petronas," kata Tjatur.
Menurutnya, saat ini terdapat tiga lembaga permigasan di Indonesia yaitu SKK Migas, BPH Migas, dan Pertamina. Sementara keberadaan BPH Migas, kata Tjatur, tidak akan dilebur dalam badan usaha khusus. BPH Migas akan berdiri sendiri tapi dengan tambahan tugas baru dari DPR, yakni jika ingin mengajukan kuota impor BBM dan gas alam harus melalui persetujuan legislatif.
Tjatur menuturkan, antara pemerintah dan DPR cukup alot dalam merumuskan revisi UU Migas. DPR, kata dia, ingin kendali badan usaha khusus nantinya berada langsung di bawah presiden seperti Petronas di bawah Perdana Menteri Malaysia. Selama ini, kendali perusahaan negara berada sepenuhnya di tangan Menteri BUMN.
“Tetap di BUMN. Ini negosiasi yang alot. Komisi VII minta semua di bawah presiden karena menguasai SDA (sumber daya alam) paling strategis, tapi di Badan Legislatif tunduk dengan UU BUMN. Jadi, SKK Migas di dalam Pertamina, tapi policy tetap di kementerian," ucapnya.