Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, menegaskan, perubahan iklim adalah ancaman nyata yang akan dihadapi global saat ini dan bakal berdampak sosial dan ekonomi lebih signifikan daripada pandemi Covid-19 jika tidak ada tindakan tegas yang intensif.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa, menurutnya, dihadapkan dengan 10 miliar ancaman bencana alam yang bisa terjadi karena perubahan iklim global. Dirinya pun mendorong percepatan transisi ekonomi hijau.
"Percepatan transisi ke ekonomi hijau yang tangguh sangat penting dalam upaya bersama dapat melindungi masyarakat secara global, terutama Indonesia, dari dampak bencana perubahan iklim," katanya dalam peluncuran Indonesia Energy Transition Mechanism Country Platform di Bali, Senin (14/11).
Belajar dari pengalaman pandemi Covid-19, terang Sri Mulyani, bencana global yang tak terduga tersebut menjadi pelajaran bagi negara di seluruh dunia dalam menangani perubahan iklim. Apalagi, tekanan ekonomi saat ini kian banyak dan sulit diprediksi.
Sejalan dengan percepatan transisi energi, sambungnya, Indonesia menargetkan net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
"Sesuai dengan enhanced nationally determined contribution (NDC), Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca dari target semula sebesar 29% menjadi 32% dengan upaya sendiri dan dari target 41% menjadi 43,2% dengan bantuan internasional di tahun 2030," tuturnya.
Sri Mulyani melanjutkan, berkurangnya pandemi Covid-19 yang kemudian disambut ancaman risiko perubahan iklim membuat banyak rintangan bagi ruang fiskal negara. Oleh karena itu, aspek pembiayan dinilai penting dalam mewujudkan target dan komitmen yang kredibel.
"Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini mengeluarkan peraturan tentang percepatan pengembangan energi terbarukan yang dapat menciptakan kerangka kerja yang luas untuk transisi energi yang terjangkau. Tentu ini diharapkan akan mengarah pada pendekatan yang adil dan praktis untuk memenuhi ambisi NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat," paparnya.
Lebih lanjut, Srimul menyampaikan, pembangkit listrik batu bara di Indonesia masih ada yang beroperasi. Bahkan, kontribusi pembangkit listrik di Pulau Jawa menjadi yang terbesar terhadap PDB karena mencapai 56%.
"Meski demikian, ini menjadi peluang bagi kami untuk melakukan intervensi terkait polusi. Jika berjalan, maka akan berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai target NDC kami," tandasnya.