close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi/shutterstock
icon caption
Ilustrasi/shutterstock
Bisnis
Sabtu, 21 April 2018 07:44

US$ diproyeksikan tembus level Rp14.000

Kenaikan yield atau imbal hasil treasury bond menjelang rapat The Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia
swipe

Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Jumat (20/4), bergerak melemah sebesar 48 poin menjadi Rp13.848 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.800 per dollar AS.

Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Jumat (20/4) mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah ke posisi Rp13.804 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.778 per dollar AS.

Kondisi tersebut diyakini akan terus berlanjut hingga akhir 2018 dengan proyeksi kurs berada di atas Rp 14.000 per dollar AS.

Peniliti INDEF Bhima Yudhistira ‎menyampaikan, ada beberapa penyebab yang membuat kurs rupiah akan terus mengalami pelemahan.

Pertama, investor asing melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan fed rate pada rapat FOMC pada 1-2 Mei mendatang. Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp 7,78 triliun dalam satu bulan terakhir. 

"Kenaikan yield atau imbal hasil treasury bond menjelang rapat The Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun," ujar Bhima kepada Alinea.id, Jum'at (20/4). 

Faktor berikutnya yaitu harga minyak mentah, diprediksi naik lebih dari US$ 75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-China. Hal ini membuat inflasi jelang Ramadhan semakin meningkat karena harga BBM non subsidi (pertalite, pertamax) menyesuaikan mekanisme pasar.

Selanjutnya, permintaan dollar AS diperkirakan naik pada triwulan II-2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing. Sehingga mengkonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dollar.

Disisi lain, Bank Indonesia belum memberikan sentimen positif kepada investor karena masih menahan bunga acuan di level 4,25%. Pelaku pasar beranggapan kebijakan moneter yang diambil BI terlalu berhati-hati. 

"Harusnya Bank Indonesia menaikkan bunga acuan. Biar imbal hasil investasi juga ikut naik. Tapi mungkin BI tidak ingin membebani sektor riil," terang Bhima.

Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2018 juga diyakini tidak akan mencapai 5,1% seperti yang diperkirakan pemerintah. Hal itu disebabkan konsumsi rumah tangga yang masih lemah. Terbukti dari Indeks Keyakinan Konsumen dan data penjualan ritel yang turun pada triwulan I.

‎Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi 2018 yang ditarget tumbuh 5,4%. 

Bank Indonesia sudah dipastikan akan terus menggunakan cadangan devisa untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Namun, BI tidak bisa terus mengandalkan cadev sebagai satu-satunya instrumen stabilisasi nilai tukar.

"Har‎us lebih kreatif gunakan cara lain. Kalau terus menerus cadev berkurang bisa berbahaya bagi perekonomian. Di Asia Tenggara misalnya, rasio cadev terhadap PDB Indonesia salah satu yang terendah yakni 14%. Filipina saja sudah 28%, dan Thailand 58%. Cadev menentukan kekuatan moneter suatu negara," tegas Bhima.

Oleh sebab itu, Bhima menyarankan kepada pemerintah untuk memperkuat kinerja ekonomi domestik. Diantara dengan mendorong efektivitas proyek infrastruktur, bansos harus lebih tepat sasaran dan jangan terlambat disalurkan, menjaga stabilitas harga baik BBM, listrik maupun harga pangan jelang Ramadhan sehingga konsumsi rumah tangga yang berperan 56% terhadap PDB bisa pulih.

Sementara untuk para pengusaha yang memiliki utang‎ luar negeri, bisa melakukan hedging atau lindung nilai. Mengingat fluktuasi kurs membuat resiko gagal bayar utang valas meningkat. 

Perusahaan yang bersiap membagikan dividen perlu mempersiapkan pasokan dollar untuk memitigasi kedepannya jika kurs dollar semakin mahal. 

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan