Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop-UKM), Teten Masduki, mengusulkan pembentukan pembangunan pabrik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak makan merah (red palm oil/RPO) mini berbasis koperasi. Upaya tersebut dilakukan sebagai salah satu solusi menyerap tandan buah segar (TBS) dari petani sawit.
Teten menyebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui pembangunan RPO berbasis koperasi dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (18/7).
“Ini saya kira akan menjadi solusi, karena 35 persen produksi sawit atau CPO ini berasal dari petani mandiri, petani swadaya. Kalau dilihat dari luas lahannya 41% lebih. Jadi ini cukup," kata Teten dalam keterangannya usai rapat terbatas seperti dikutip Selasa, (19/7).
Teten menyebut, saat ini teknologi produksi untuk minyak makan merah sudah dirancang oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Kota Medan. Pihaknya berharap, PPKS dapat segera membuat detail engineering design (DED), sehingga mesin tersebut dapat segera diproduksi menjadi proyek pilot.
“Nanti ya kita akan putuskan (pilotnya di mana), tapi salah satunya ya tentu Sumatra, Kalimantan, tapi ada koperasi-koperasi yang juga secara keuangan mereka bisa membangun sendiri dengan keuangan dan mereka juga kan koperasi ini punya anggota cukup besar dan anggotanya juga UMKM kan," ujarnya
Teten optimis minyak makan merah dapat diterima oleh pasar. Sebab, minyak makan merah dinilai sehat dan dapat memiliki harga lebih murah.
Kemudian, lanjut Teten, pihaknya mengusulkan kepada Jokowi agar pembangunan pabrik CPO dan RPO berbasis koperasi ini sudah dimulai pada Januari 2023. Teten menargetkan PPKS bisa menyelesaikan DED paling lambat Agustus 2022.
"Apabila telah selesai maka bisa langsung masuk ke tahap produksi dengan melibatkan BUMN maupun swasta," ucap Teten.
Lebih lanjut Teten menjelaskan, satu pabrik CPO dan RPO mini membutuhkan investasi Rp23 miliar dengan return of investment (ROI) 4,3 tahun. Menurutnya, investasi tersebut untuk produksi sebanyak 10 ton minyak makan merah per hari.
Adapun menurut Teten, investasinya dapat diintegrasikan menggunakan working capital, dengan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dan bunga 5%. Sementara, untuk mesinnya bisa dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dan pengembangan sawit di on-farm dengan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Himbara.
“Jadi dalam model kami si koperasi membeli tunai sawitnya, TBS-nya dari petani sehingga si petani itu tidak lagi dipusingkan harus menjual sawitnya ke mana. Lalu koperasi mengolahnya menjadi CPO dan menjadi RPO dan kemudian mereka pasarkan. Kalau ini terintegrasi dengan program (pengurangan) stunting, juga misalnya PTPN menjadi offtaker ya, selain juga petani bisa menjual sendiri,” ujar Teten.
Teten mengatakan, dibutuhkan sekitar 50 ton sawit per hari atau 1.000 hektare sawit untuk mencapai target produksi 10 ton per hari sekitar 50 ton per hari atau 1.000 hektare. Untuk itu, pemerintah menargetkan agar setiap 1.000 hektare lahan sawit ada satu pabrik CPO dan RPO mini ini.
“Sekarang sudah ada sebenarnya beberapa koperasi petani sawit yang luasan lahannya di atas 1.000 hektar. Ini sudah siap, baik yang di Sumatra Utara, Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan. Tapi Pak Presiden sekali lagi minta piloting dulu. Ini juga kami nanti akan kerja samakan juga dengan PTPN,” tuturnya.
Teten menegaskan, kebijakan ini merupakan upaya yang dilakukan pemerintah sebagai solusi atas stabilitas harga TBS petani dan suplai minyak goreng. Pihaknya berharap kesejahteraan petani sawit dapat membaik dengan adanya pabrik CPO dan RPO berbasis koperasi.
“Ya ini optimalisasi, jadi hilirasi sawit rakyat yang selama ini mereka jual sawitnya ke industri. Mereka selalu ada problem dengan harga TBS yang tidak stabil, atau mereka terlambat diserap itu susut 20 persen kan semalam, sehingga petani dirugikan. Kalau sekarang petani mengolahnya sendiri dengan punya pabrik pengolahan CPO dan RPO-nya, saya kira nilai tukar petani akan baik, kesejahteraan petani akan lebih baik,” ucapnya.