Maskapai Merpati Airlines ternyata sempat diusulkan bakal diprivatisasi pada dua tahun silam atau pada 2016. Usulan tersebut disampaikan oleh pihak Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, usulan tersebut batal lantaran belum ada investor yang minat menyuntikkan dananya ke PT Merpati Nusantara Airlines.
“Dua tahun lalu kami pernah mengusulkan privatisasi untuk Merpati. Namun, pelepasan saham pemerintah hingga 0% gagal karena belum ada investor yang minat menyuntikkan dana ke Merpati,” kata Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro, di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (15/11).
Aloysius mengatakan, Kemnetrian BUMN belum bisa memberikan kepastian status PT Merpati Nusantara Airlines apakah akan tetap sebagai BUMN atau tidak ketika kembali terbang. Bahkan, pihaknya pun belum bisa memastikan Merpati Airlines akan bisa kembali beroperasi atau tidak. Sebab, Kementerian BUMN masih akan mempelajari terlebih dahulu putusan Pengadilan Niaga Surabaya.
Adapun peluang maskapai tersebut dapat kembali beroperasi itu muncul setelah Majelis Hakim Pengadilan Niaga Surabaya mengabulkan proposal perdamaian dengan kreditur. Pasalnya, dalam proposal perdamaian mencakup upaya-upaya untuk menghidupkan Merpati.
"Kita pelajari dulu putusannya terutama terkait rincian dari homologasi itu seperti apa. Kalau itu masuk kategori privatisasi kita lakukan itu," ucapnya.
Lebih lanjut, Aloy menambahkan, jika Merpati Airlines hendak diprivatisasi pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Setelah itu baru dituangkan ke dalam rapat komite.
“Tapi itu lagi-lagi kita harus mempelajari dulu putusan homologasinya seperti apa," tuturnya.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Merpati Nusantara Airlines (Persero). Dengan putusan tersebut, maskapai pelat merah tersebut tidak berstatus pailit dan dipastikan berpotensi bisa kembali terbang.
Dalam proses PKPU, Merpati tercatat mempunyai kewajiban senilai Rp10,95 triliun. Rinciannya terdiri atas tagihan kreditur preferen (prioritas) senilai Rp1,09 triliun, konkuren (tanpa jaminan) senilai Rp5,99 triliun, dan separatis sebesar Rp3,87 triliun.
Tagihan separatis sendiri dimiliki tiga kreditur yakni Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp2,66 triliun, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk senilai Rp254,08 miliar, dan PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) Rp964,98 miliar.