Utang luar negeri belum signifikan naikkan kualitas ekonomi
Utang Indonesia mengalami pertumbuhan cukup pesat dalam tiga tahun terakhir. Keberadannya seharusnya merupakan tambahan modal guna meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan.
Kendati out-standing utang Indonesia terus bertambah, tetapi produktivitas, daya saing perkenomian justru menurun. Ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap asing justru meningkat.
Disisi lain, pemerintahan saat ini menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai cara untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya, belanja infrastruktur memang meningkat tajam di 2005 dengan proposi di APBN sebesar 18,21%. Namun pada tahun berikutnya postur belanja modal kembali lagi ke angka 14-15%.
"Belanja infrastruktur masuk ke dalam belanja modal dan tidak banyak berubah masih dikisaran 16%. Jadi sebenarnya APBN itu didominasi belanja barang, belanja pegawai, dan pembayaran kewajiban utang," ujar peneliti Indef, Annisa Riza, Rabu (21/3), di Kantor INDEF, Jakarta.
Total utang luar negeri Indonesia setidaknya telah mencapai lebih Rp 7.000 triliun, terdiri dari total utang pemerintah dan swasta. Menurut Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, utang pemerintah untuk membiayai defisit anggaran dan utang swasta dilakukan oleh korporasi swasta dan BUMN.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan dalam APBN 2018, total utang pemerintah mencapai Rp 4.772 triliun. Namun jika menelisik data out-standing Surat Berharga Negara (SBN) posisi September 2017, ternyata sudah mencapai Rp 3.128 triliun. Terdiri dari SBN denominasi rupiah Rp 2.279 triliun, dan dalam denominasi valas Rp 849 triliun. Sementara posisi utang luar negeri pemerintah (2017) telah mencapai US$ 177 miliar (Rp 2.389 triliun jika dikurs dari Rp 13.500). Utang luar negeri swasta tahun 2017 sebesar US$ 172 miliar (kurs 13.500 sekitar Rp 2.322 triliun), besar kemungkinan belum termasuk semua utang BUMN.
"Kita mengambil data dari berbagai sumber misalnya websitenya BKF (Badan Kebijakan Fiskal) dan dokumen APBN berbeda-beda. Dari BI (Bank Indonesia) juga berbeda. Kalau dari posisi utang beberapa lembaga resmi saja berbeda, sebenarnya utang negara secara keseluruah itu berapa. Termasuk misalnya BUMN Karya seperti Adhi Karya, Wijaya Karya yang me-listed komodo bond di London sebenarnya berapa. Ini saya gak yakin tercatat semua dari outstanding yang dipublikasi lembaga pemerintah," terang Enny.
Pemerintah juga menggeser dominasi utang luar negeri menjadi utang dalam negeri melalui penerbitan SBN. Pasalnya, SBN yang dimiliki asing mendominasi sejak 2014. Terus berlanjut hingga Juni 2017 yang mencapai 39,5% dari total SBN. Hal ini perlu diwaspadai karena rentan terjadi capital outflow, tentunya sangat berisiko bagi stabilitas perekonomian.
Terdapat dua indikator utang yang biasanya dipakai yaitu rasio keseimbangan primer terhadap PDB. Rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada APBN 2017 sebesar minus 1,31%. Hal ini menunjukkan cash flow pemerintah justru semakin tekor ketika menambah utang. Akibatnya, untuk membayar bunga dan cicilan utang harus ditopang oleh utang baru.
Sementara, rasio beban kewajiban utang terhadap penerimaan pajak 2017 telah mencapai 34,8%, dan terhadap total pendapatan pemerintah telah mencapai 29,5%. Hal ini menunjukkan tingkat beban pembayaran kewajiban utang sudah sangat tinggi. Konsekuensinya justru semakin menggerus kemampuan ruang fiskal pemerintah guna mendorong stimulus fiskal. Apalagi jika tax ratio justru semakin menurun.
Itu artinya, peningkatan utang tidak mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, produktivitas utang terbukti belum mampu mendorog pertumbuhan investasi sektor produktif secara signifikan, sehingga output perekonomian relatif stagnan.
Dampak utang dalam rangka percepatan agenda pembangunan infrastruktur memang tidak serta merta akan terjadi dalam jangka pendek. Namun, setidaknya akan menumbuhkan optimisme perekonomian terutama investasi. Pasalnya, Indeks Tendensi Bisnis dan berbagai survei tentang ekspektasi perekonomian tidak mengalami akselerasi pertumbuhan.
Akibatnya, output perekonomian/pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari sekitar 5%. Kesemuanya ini menggambarkan produktivitas utang dalam mendorong perekonomian relatif rendah.
Dengan perhitungan PDB harga berlaku, output ekonomi Indonesia dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) meningkat dari Rp11.526,33 triliun (2015) ke Rp12.406,77 triliun (2016), dan Rp13.588,80 triliun (2017), atau rata-rata naik 8,74% per tahun.
Sementara itu, total utang Pemerintah pada periode yang sama sebesar Rp3.165,13 triliun (US$ 229,44 miliar pada 2015) ke Rp3.515,46 (US$ 261,64 miliar pada 2016), dan Rp3.938,45 triliun US$ 290,7 miliar di tahun 2017), atau rata-rata naik 14,81% (dengan denominasi rupiah) atau 11,52% (dengan denominasi US$).
"Laju penambahan utang yang lebih kencang dari laju peningkatan output perekonomian ini akan semakin menggerogoti stabilitas perekonomian ke depan jika tidak segera dikendalikan," pungkas Enny.
Sebelumnya, Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan, Scenaider Clasein Hasudungan Siahaan, mengatakan, pemanfaatan utang luar negeri diperuntukkan belanja jasa-jasa yang berhubungan langsung dengan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial, serta infrastruktur.
"Tiga terbesar pemanfaatan ULN untuk industri pengolahan sebesar 31,2%, Keuangan, persewaan dan jasa sebesar 29,3%. Bangunan 13,9%," ujarnya .
Rasio hutang terhadap PDB juga terjaga dan pada level aman. Per akhir Januari 2018 yakni sebesar 29,1%. Jika dibandingkan dengan negara lain, rasio utang Indonesia terhadap PDB juga relatif kecil. Sebagai perbandingan, Vietnam (63,4%), Thailand (41,8%), Malaysia (52,7%), dan Brazil (81,2%).