Ikhtiar menahan lonjakan angka stunting
Sahrani selalu nampak lesu dan tak seceria teman-temannya. Bocah 4,5 tahun itu hanya berbobot tidak sampai 12 kilogram. Normalnya, anak seusia Sahrani memiliki berat badan minimal 15,5 atau 16 kilogram.
Ya, anak perempuan asal Karang Kemong, Mataram, Nusa Tenggara Timur itu divonis mengalami stunting. "Enggak tau dari kapan. Tapi beberapa bulan lalu, waktu dicek di posyandu katanya stunting karena kurang gizi kronis,” kata sang ibu, Marliana kepada Alinea.id, Sabtu (24/7).
Wanita 32 tahun ini menjelaskan, pandemi membuat penghasilan suaminya yang bekerja sebagai tukang parkir menyusut drastis. Jika biasanya bisa membawa pulang sebesar Rp30.000 hingga Rp50.000 per hari, kini hanya tersisa separuh.
Keluarga kecil ini mau tak mau harus memenuhi makan dari penghasilan seadanya itu. Bukan pertimbangan gizi, tapi yang penting bisa mengganjal perut. Meski mengetahui sang buah hati stunting, dia dan suami tak bisa berbuat banyak.
Sayur, tahu, dan tempe akhirnya menjadi menu andalan keluarga. “Tapi alhamdulillah setiap minggu dikasih makanan tambahan dari kader Posyandu (untuk Rani),” imbuh ibu rumah tangga itu.
Kasus serupa juga terjadi hanya selemparan batu dari ibu kota. Rasunah, warga Desa Sukadami, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat tak menyangka jika anaknya mengalami stunting.
Dia mengetahui putranya bernama Iqbal mengalami kondisi itu saat mengecek di Posyandu yang berjarak 500 meter dari rumahnya. Wanita 34 tahun itu bercerita, Iqbal yang menginjak usia 39 bulan memiliki tinggi badan hanya 88 sentimeter. Padahal, idealnya anak di usia tiga tahun harus memiliki tinggi badan 92 sentimeter.
“Karena sejak lahir memang sudah kecil, jadi enggak sadar kalau Iqbal ternyata stunting,” kisah Rasunah kepada Alinea.id, Minggu (25/7).
Saat lahir, Iqbal memang masuk kategori berat badan lahir rendah (BBLR), yakni hanya 1,9 kilogram. Rasunah menduga, kondisi itu terjadi karena saat hamil, sang suami Eko Saputra (38) baru saja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Hal itu membuat ekonomi keluarga morat-marit. Belum lagi stres dan beban pikiran kala ia mengandung buah hatinya yang kedua itu.
Setelah mengalami PHK, Eko menjalani kesehariannya sebagai pedagang makaroni telur keliling. Pendapatan sehari paling banyak sekitar Rp100.000. Sementara itu, Rasunah tak bekerja karena harus mengasuh kedua anaknya.
“Ditambah ada Corona ini, jadi lebih sedikit pemasukannya,” keluhnya.
Penghasilan Eko yang menyusut tak mampu menopang kebutuhan keluarga. Keuntungan berdagang yang tak seberapa ludes untuk membayar rumah kontrakan, asuransi kesehatan BPJS, dan listrik. Untuk makan, tak jarang mereka makan dengan lauk-pauk seadanya.
“Untungnya buat anak-anak dapat makanan tambahan dari posyandu,” lanjut Rasunah.
Menjaga hak anak
‘Anak Terlindungi, Indonesia Maju’ dan tagline #AnakPedulidiMasaPandemi menjadi tema utama peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli lalu. Melalui kepedulian itu diharapkan seluruh masyarakat bisa memberikan segala yang terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan 79,55 juta anak Indonesia.
“Hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi di lingkungan masyarakat secara wajar sesuai harkat dan martabat mereka,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati secara daring, Kamis (22/7) lalu.
Tujuan mulia itu sulit digapai kala pandemi. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat satu dari delapan orang positif Covid-19 adalah anak-anak. Data itu juga menggarisbawahi angka kematian anak akibat virus SARS-CoV-2 di nusantara merupakan yang tertinggi di dunia. Sejauh ini, kematian anak akibat Covid-19 mencapai 777 anak.
Pandemi juga mengerek angka kemiskinan dan pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2021 kemiskinan di Indonesia masih sebesar 10,14% atau sekitar 27,54 juta. Angka itu melonjak 0,36% dari periode yang sama di tahun sebelumnya, yakni sebanyak 26,42 juta orang.
Sedangkan pengangguran di Tanah Air pada Februari 2021 tercatat sebanyak 8,75 juta orang. Tumbuh 1,82% dibandingkan Februari tahun 2020 yang mencapai 6,93 juta orang.
Direktur Bidang Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro S. Sulistyaningrum memastikan pandemi Covid-19 memberikan dampak serius bagi anak. Kondisi ekonomi keluarga yang tertekan telah mengancam kecukupan gizi anak.
“Ini kemudian bisa menimbulkan potensi stunting pada anak Indonesia dan juga masalah gizi dan kesehatan lainnya,” ujar dia kepada Alinea.id, Jumat (23/7).
Masalah itu, lanjut Woro, makin parah karena akses layanan kesehatan terhadap anak di masa pandemi terbatas. Ketika angka penularan Covid-19 kian tinggi, orang tua enggan memeriksakan anak ke fasilitas kesehatan. Termasuk sekadar ke posyandu terdekat.
Stunting atau tengkes ialah gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak karena malanutrisi kronis. “Gangguan kurang gizi kronis yang menahun, infeksi kronis, dan psikososial tak memadai yang ditandai dengan tinggi atau panjang terhadap usia,” urai Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Karena kondisi itu, di antara 5 juta kelahiran bayi setiap tahun sebanyak 1,2 juta bayi lahir dengan kondisi stunting. Tidak hanya itu, meski lahir dengan kondisi normal, banyak pula anak yang pada masa pertumbuhannya, terutama saat 1.000 hari pertama kehidupannya, kemudian mengalami tengkes.
“Makanya, stunting ini sampai sekarang juga masih menjadi salah satu permasalahan utama Indonesia dan dunia,” imbuh Ketua Pelaksana Program Percepatan Penurunan Stunting itu.
Dalam laporan level malanutrisi anak edisi 2021, UNICEF memperkirakan, pandemi Covid-19 telah membuat stunting Indonesia meningkat menjadi 31,8%. Tingkat stunting Indonesia masuk kategori very high (sangat tinggi).
Angka ini jauh lebih tinggi dari Korea Selatan yang sebesar 2,2%, Jepang 5,5%, Malaysia 20,9%, China 4,7%, Thailand 12,3%, Filipina 28,7%, dan Kenya 19,4%. Kondisi Indonesia lebih rendah dari Kongo (40,8%), Ethiopia (35,3%), dan Rwanda (32,6%).
Pendapatan tergerus
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengakui, pandemi Covid-19 membuat prevalensi stunting nasional melompat naik. Hal ini lantaran pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia ikut terkoreksi oleh wabah. Pendapatan per kapita Indonesia pada 2020 tercatat sebesar US$3.870. Turun dari tahun sebelumnya yang mencapai US$4.050.
Pandemi juga membuat angka PHK dan juga pengangguran naik. Dengan berbagai masalah ekonomi tersebut, tak heran jika daya beli masyarakat, terutama dalam pemenuhan kebutuhan gizi keluarga, ikut menurun.
“Makanya itu angka prevelensi stunting yang sudah bisa kita turunkan di tahun 2019, kemungkinan besar naik lagi di tahun 2020,” ujarnya.
Hal ini diamini oleh Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti. Dia bilang, kondisi serba sulitlah yang mendasari terjadinya peningkatan stunting di masa pandemi. “Sebelum pandemi, angka anak stunting di Indonesia sudah cukup tinggi, apalagi selama merebaknya wabah ini,” ujar La Nyalla, saat dihubungi Alinea.id di sela masa resesnya, Sabtu (24/7).
Menurut senator asal Jawa Timur itu, dari hasil studi di 118 negara berpendapatan rendah dan menengah menunjukkan, pandemi membuat penurunan pendapatan nasional bruto. Hal ini berpengaruh langsung pada pemenuhan gizi keluarga.
“Kalau enggak segera diatasi ya stunting bakal naik. Padahal kan stunting ini adalah salah satu yang enggak bisa diabaikan,” tuturnya prihatin.
Dia pun khawatir jika kesibukan pemerintah mengatasi pandemi membuat program-program pencegahan stunting menjadi kendor. Kalau hal itu terjadi tentunya sangat disayangkan sebab stunting berkaitan erat dengan masa depan generasi bangsa.
Karenanya, mantan Ketua Umum PSSI itu meminta agar pemerintah tetap menjadikan penanganan stunting sebagai prioritas. Agar target pemerintah menurunkan angka stunting hingga 14% di 2024 dan target nol malanutrisi dalam rencana SDGs 2030 dapat tercapai.
Dihubungi terpisah, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menjelaskan pemerintah perlu meninjau ulang seluruh kebijakan terkait penurunan stunting. "Harus ada kesinambungan dalam pelaksanaan program,” tegas Agus kepada Alinea.id, Senin (26/7).
Selain itu, pelaksanaan program pun harus dilakukan merata di seluruh Indonesia, dari hulu ke hilir. Mulai dari program edukasi hingga intervensi gizi spesifik pada saat anak gagal tumbuh. Di saat yang sama, pelayanan kesehatan seperti posyandu harus digerakkan lagi. Sayangnya, dia melihat, saat ini di beberapa daerah posyandu sempat terhenti karena pandemi.
Sementara itu, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Antropometri Kementerian Kesehatan Damayanti R. Sjarif menjelaskan, saat ini Kementerian Kesehatan telah memiliki strategi untuk menurunkan prevalensi stunting. Salah satunya dengan mensosialisasikan konsumsi protein hewani dalam MPASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) anak 6-24 bulan dengan protein yang tersedia setempat dan terjangkau.
Kemudian, untuk mendeteksi weight faltering (gagal tumbuh) dilakukan pemantauan pertumbuhan di posyandu serta rujukan berjenjang ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, yaitu puskesmas atau RSUD. Sistem ini sudah ada sejak tahun 1980-an yang perlu diaktifkan kembali.
“Kami sedang ujicobakan di Desa Bayumundu, Pandeglang, oleh Tim RSCM/FKUI dengan dukungan Kementerian Desa Tertinggal dan Transmigrasi. Ini berhasil menurunkan angka stunting 8,4%,” katanya, Minggu (26/7).
Meski begitu, dia mengaku strategi membutuhkan kerjasama lintas sektor baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, tenaga kesehatan, akademisi, sektor swasta, hingga masyarakat.
Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi & Penyakit Metabolik RSCM itu menyadari stunting dapat menyebabkan berbagai dampak buruk bagi anak. Tak hanya anak memiliki perawakan pendek, tetapi juga kekurangan gizi kronik menahun.
Belum lagi dampak pada penurunan kemampuan kognitif, risiko penyakit tidak menular, hingga menurunkan IQ hingga 20 poin. Penurunan kecerdasan ini masih mungkin dikoreksi sebelum usia dua tahun.
"WHO menegaskan bahwa stunting sulit ditatalaksana, tetapi pencegahan sangat dapat diupayakan,” tutupnya.