close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Dokumentasi Kemenkeu
icon caption
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Dokumentasi Kemenkeu
Bisnis
Jumat, 17 Desember 2021 15:37

Menkeu: UU HPP jadi instrumen yang penting bagi konsolidasi fiskal

UU HPP dibentuk bersama antara pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Komisi XI DPR.
swipe

Kementerian Keuangan berkomitmen melakukan reformasi perpajakan dalam rangka menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan berkeadilan di dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Khususnya untuk instrumen kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, UU HPP bakal menjadi instrumen yang sangat penting bagi konsolidasi fiskal dan menjadi bekal untuk meneruskan perjalanan Indonesia Maju.

UU HPP hadir dalam momentum yang tepat untuk memperkuat reformasi perpajakan, melalui perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan sukarela, perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan, untuk mewujudkan APBN yang sehat dan berkelanjutan, meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional. APBN yang sehat dan berkelanjutan akan menghantarkan cita-cita bangsa dalam mewujudkan Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera.

"APBN sebagai instrumen fiskal seharusnya bisa terus melakukan tugasnya yaitu, pada saat ekonomi dan rakyat lemah, APBN hadir. Pada saat ekonomi tumbuh maka kita juga bisa memberikan ruang bagi pertumbuhan itu,” ucap Sri Mulyani, dalam acara sosialisasi UU HPP, Jumat (17/12).

Ke depan pemerintah berupaya melakukan sosialisasi UU HPP ke berbagai wilayah. Adapun UU HPP dibentuk bersama antara pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Komisi XI DPR.

Di kesempatan sama, dia menjelaskan pandemi Covid-19 menyebabkan tekanan fisikal yang siginifikan. Terlihat dari data pada 2020, di mana telah terjadi opportunity loss, karena pertumbuhan ekonomi terkontraksi -2,07% jauh di bawah ekspektasi 5,3%. 

Opportunity loss terjadi karena pertumbuhan ekonomi jauh di bawah ekspektasi pertumbuhan ekonomi -2,07% vs APBN 5,3% (2020)," ungkap dia dalam paparannya.

Adapun tekanan yang dimaksud terjadi pada tiga bagian. Pertama, penerimaan perpajakan melemah yang hanya mencapai 8,33% PDB di bawah kondisi normal 10,2% PDB (rata-rata 2015-2919). Kedua, defisit meningkat signifikan, yakni mencapai 6,14% dengan PDB di bawah kondisi normal 2,3% PDB rata-rata. Ketiga, rasio utang meningkat tajam sampai mencapai 39,4% PDB di bawah kondisi normal 29,04% PDB (rata- rata 2015-2919).

Menkeu juga memaparkan dari dana pajak yang diterima dialokasikan untuk program pemulihan ekonomi nasional, khususnya pada sektor kesehatan, kesejahteraan, dan stabilitas perekonomian. Bidang perlindungan sosial sekitar Rp186,64 triliun dan baru terealisasi Rp152,18 triliun (81,5%), dukungan UMKM dan korporasi Rp162,40 triliun dengan jumlah realisasi Rp77,73 T (47,9%), kesehatan Rp214,96 triliun dengan realisasi Rp143,29 triliun (66,7%), program prioritas Rp117,94 triliun realisasi dana senilai Rp83,64 triliun (70,9%), dan insentif usaha Rp62,83 triliun realisasi Rp62,86 triliun (100%).

 

img
Ratih Widihastuti Ayu Hanifah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan