Data ekonomi Amerika Serikat yang lebih baik dari ekspektasi dan inflasi yang persisten, mendorong pandangan pasar bahwa bank sentral masih akan agresif menaikkan suku bunga acuan Fed Funds Rate, dan suku bunga tinggi akan dipertahankan lebih lama.
Di lain pihak, kesulitan finansial yang dihadapi beberapa bank regional membuat pasar berharap kebijakan suku bunga harus lebih jinak. Perbedaan ekspektasi bank sentral dan pasar, di tengah kondisi yang sangat dinamis ini membuat volatilitas meningkat.
Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Freddy Tedja mengatakan, secara historis, volatilitas pasar finansial meningkat menjelang puncak siklus suku bunga atau pengetatan moneternya, dan mayoritas negara di dunia saat ini sudah berada pada proses tersebut. Saat ini kebanyakan bank sentral di dunia hanya memerlukan 1-2 kali kenaikan lagi untuk mencapai puncak suku bunga sesuai outlook yang dikomunikasikan.
"Kondisi ini berbeda dengan tahun lalu, ketika suku bunga justru sedang naik agresif dengan frekuensi dan besaran yang cukup besar," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/3).
Di Indonesia, Gubernur Bank Indonesia (BI) menegaskan, bahwa tingkat suku bunga saat ini sudah cukup untuk menurunkan ekspektasi inflasi umum yang diperkirakan akan mencapai target 4,0% pada kuartal kedua tahun ini. Kendati demikian, suku bunga BI masih berpotensi naik jika data ekonomi AS terus menguat, yang membuat The Fed masih harus melakukan pengetatan moneter diluar ekspektasi yang diharapkan sebelumnya.
Walaupun saat ini volatilitas pasar global sedang meningkat, pemulihan ekonomi China yang masih terus berlangsung pascadicabutnya kebijakan ‘zero covid’ mampu menjadi penyeimbang dan penopang fundamental pasar Asia.
"Ekspektasi atas berakhirnya siklus kenaikan suku bunga membuat potensi pasar obligasi kembali menarik. Di tengah volatilitas dan keluar masuk arus dana investor asing, pasar obligasi Indonesia menunjukkan ketahanan yang baik. Kondisi fundamental domestik yang baik dan imbal hasil riil yang atraktif mampu menjaga pasar obligasi Indonesia dari tekanan global. Dalam dua bulan pertama di tahun 2023, pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja +1,5%. Lebih unggul dibandingkan rata-rata negara berkembang (+0,9%), China (+0,1%), AS (+0,1%), maupun kawasan zona Euro (+0,1%)," papar dia.
Dia menerangkan, pasar obligasi Indonesia memberikan tingkat imbal hasil yang atraktif, sehingga dapat dijadikan sarana investasi yang menarik di tengah volatlitas pasar finansial. Siklus kenaikan suku bunga yang berada di tahap akhir dapat menciptakan dorongan tambahan untuk kinerja pasar obligasi, yang secara alami memang lebih superior di tengah iklim suku bunga stabil atau menurun.
Sebagai contoh, reksa dana Manulife Obligasi Unggulan (MOU) Kelas A memiliki kinerja satu tahun terakhir sebesar 7,07% per akhir Februari 2023, masih di atas tolok ukurnya, yaitu rata-rata bunga deposito tiga bulan di bank lokal +2% net setelah pajak, yang sebesar 4,00%.