Pemerintah membentuk Tim Percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) atau Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO). Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, ditunjuk sebagai pimpinannya.
Pembentukan Tim Pembangunan PLTN ini menindaklanjuti salah satu dari 19 rekomendasi Agen Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) sebelum Indonesia dapat melakukan komersialisasi energi nuklir. Enam belas rekomendasi lain diklaim sudah dilaksanakan.
Struktur organisasi NEPIO disusun Dewan Energi Nasional sesuai Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 250.K/HK.02/MEM/2021. Tim Pembangunan PLTN beranggotakan Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menteri/kepala lembaga terkait, anggota DEN, dan Ketua Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN).
Tim Pembangunan PLTN itu bukanlah hal baru karena sudah ada sejak beberapa tahun sebelumnya. Ini diungkapkan eks Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Djarot Sulistio Wisnubroto.
Kala itu, ungkapnya, pembentukan tim tanpa alas hukum, baik peraturan presiden (perpres) maupun lainnya. Kendati demikian, saat Djarot masih aktif memimpin Batan pada 2012-2018, program pembangunan PLTN selalu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
"Hanya saja apakah berubah dari 'persiapan' ke 'percepatan', saya juga belum tahu," katanya kepada Alinea.id, Jumat (19/1).
Djarot melanjutkan, berdasarkan tinjauan Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) pada 2019, ada 3 pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan Indonesia untuk menjalankan program tersebut: national position, management, dan stakeholders involvement.
"Terutama yang pertama, yaitu pernyataan negara mau membangun PLTN. Mungkin Pak LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) ditunjuk itu untuk menyelesaikan PR national position, yang otomatis juga menyelesaikan 2 PR yang lain," tuturnya.
Apabila ketiga tugas itu tuntas, menurut Djarot, pembangunan PLTN baru bisa berjalan. "Next step adalah pembangunan PLTN."
Mengapa kembali muncul?
Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, berpendapat, kembali dibentuknya NEPIO sebagai bentuk adanya kemauan politik (political will) pemerintah. "Sebelumnya, kan, tidak, di mana PLTN ditempatkan sebagai pilihan terakhir," ucap kepada Alinea.id.
Ia berpandangan, kemauan politik tersebut terlihat dari target waktu yang kian jelas, baik dari Kementerian ESDM, DEN, maupun PLN. Meski tak dapat dipungkiri ini karena tekanan target nihil emisi (net zero emission/NZE) pada 2060.
"Untuk operasi based load (beban dasar) pengganti PLTU (pembangkit listrik tenaga uap), tidak ada pilihan selain menggunakan PLTN," jelasnya.
Pembangkit listik tenaga surya (PLTS), sambung Mulyanto, tidak cocok menggantikan PLTU berbasis batu bara karena bersifat intermiten dan kapasitasnya tak besar sehingga hanya ideal untuk beban puncak. Ini pun melatarbelakangi Eropa kembali menggiatkan pembangunan PLTN.
"Untuk itu, Indonesia perlu cermat dan mempersiapkan dengan baik. Semestinya Batan dibentuk kembali kalau memang pemerintah serius," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Lebih jauh, Mulyanto meyakini program pembangunan PLTN takkan rampung pada rezim Joko Widodo (Jokowi). Sebab, sesuai data Kementeriaan ESDM, target introduksi PLTN baru pada 2040.