Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengisyaratkan untuk tak memasukkan pengemudi ojek online dalam daftar penerima subsidi bahan bakar minyak (BBM) tepat sasaran. Alasannya, kendaraan bermotor yang digunakan driver ojek online itu untuk usaha, sedangkan subsidi BBM tepat sasaran yang ditekankan pemerintah untuk penggunaan transportasi publik.
Walau setelah itu Bahlil menyatakan skema pengemudi ojek online yang tidak masuk kategori penerima subsidi BBM tepat sasaran belum keputusan final, tetapi jika hal itu dilakukan bakal memberi dampak rentetan yang tidak sepele pada penurunan daya beli masyarakat.
Menurut pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto, skenario untuk tidak memasukkan pengemudi ojek online sebagai penerima BBM subsidi kurang tepat. Sebab, saat ini ojek online sudah menjadi sarana transportasi umum yang sangat dibutuhkan warga, terutama masyarakat kecil.
“Karena itu, pemerintah jangan menghapus hak BBM bersubsidi bagi pelaku ojek online. Ini akan secara langsung menyulitkan akses masyarakat kelas bawah atas transportasi murah,” tutur Mulyanto kepada Alinea.id, Sabtu (30/11).
Dia menilai, tidak masuknya pengemudi ojek online sebagai penerima subsidi BBM akan memunculkan dua risiko. Pertama, bergugurannya pengemudi ojek online. Kedua, naiknya tarif angkutan yang berimbas memunculkan efek berantai pada harga-harga produk barang dan jasa turunan yang terkait dengan pengguna ojek online.
“Nah, ini kan ujung-ujungnya juga akan berdampak pada inflasi,” ujar Mulyanto.
“Memang ojol bukan transportasi massal seperti bus atau angkot. Namun, ojol merupakan transportasi publik yang sangat membantu masyarakat umum. Pengemudi ojol juga adalah masyarakat kecil, yang masih bertahan di tengah badai PHK.”
Mulyanto juga tidak sepakat bila alasan ojek online tak masuk kriteria penerima subsidi BBM karena merupakan golongan usaha pribadi. Alasan ini, menurut Mulyanto tidak tepat. Mengingat, angkot juga merupakan usaha pribadi.
"Poin pentingnya bukan pada soal apakah kendaraan tersebut digunakan untuk usaha atau bukan, tetapi lebih pada fungsinya, yakni untuk transportasi publik masyarakat kecil," kata Mulyanto.
Mulyanto mengatakan, sudah sepantasnya kendaraan ojek online mendapat subsidi BBM. Karnea selain menjadi mata pencaharian alternatif, angkutan ojek online dibutuhkan masyarakat.
"Jangan sampai mereka berguguran karena harus membeli BBM yang mahal," kata Mulyanto.
Dia menambahkan, seharusnya pemerintah memikirkan landasan hukum profesi ojek online dan meningkatkan aspek keselamatan kerja mereka serta penumpangnya. Bukan malah memberikan beban tambahan bagi mereka.
“Pada saat kampanye capres lalu, (Prabowo) sudah berjanji untuk meningkatkan aspek legalitas dan keselamatan kerja bagi mereka. Janji ini kan masih segar dalam ingatan kita,” ujar Mulyanto.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, rencana tak memasukkan pengemudi ojek online sebagai penerima BBM subsidi merupakan kebijakan blunder. Jika diterapkan, hal itu sama saja pemerintah mencabut subsidi BBM.
“Dampaknya, biaya operasional ojol membengkak, sehingga menaikkan tarif bagi konsumen, yang (akan) memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat,” kata Fahmi, Sabtu (30/11).
Menurut Fahmi, kebijakan itu tidak diragukan lagi bakal memperburuk daya beli kelas menengah ke bawah, yang saat ini sedang babak belur karena PHK.
“(Bila dilakukan) kebijakan larangan ojol pakai BBM subsidi menunjukkan bahwa komitmen Prabowo untuk pro-rakyat diragukan, tak lebih hanya omon-omon saja,” ucap Fahmi.