Wangi atsiri, asa bagi petani
Perbukitan batu cadas menjadi pemandangan serupa kala menempuh perjalanan dari kota Yogyakarta menuju Dusun Dlingo, Bantul, Jawa Tengah. Sejauh mata memandang terlihat daerah berbatu kapur dengan ciri khas bukit-bukit kerucut (Conical limestone) dan kawasan karst.
Disanalah tumbuh berbagai jenis tanaman kayu. Sengon (Albizia chinensis), Mahoni (Swietenia mahagoni), dan yang paling dominan Jati (Tectona grandis). Namun sayang, batang-batang tanaman kayu itu kurus dan tak terurus.
"Sebenarnya ini adalah hasil kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan selama dua dekade terakhir, yang memang berhasil menghijaukan kawasan Kecamatan Mangunan hingga Kecamatan Dlingo, Bantul," kata Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute Agung Nugraha kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Konservasi itu berhasil menghijaukan lahan-lahan kritis di sepanjang perbukitan itu. Sayangnya, bagi petani tanaman kayu ini tak prospektif. Menurut Agung, sejak ditanam lima belas tahun lalu melalui program Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan), tanaman-tanaman kayu itu diameternya tak lebih dari 15 centimeter.
"Makanya, meskipun mereka butuh, mereka enggak pernah nebang itu pohon," ujarnya.
Namun, justru di kala pandemi Covid-19, kawasan itu kembali memercik harap. Tegakkan kayu yang tak lagi produktif, digantikan oleh tanaman atsiri.
Mulai dari tanaman tepi serai wangi (Cymbopogon nardus), tanaman pokok kayu putih (Melaleuca leucadendron) dan tanaman nilam (Pogostemon cablin). Tak hanya aspek konservasi sumberdaya lahan yang bisa dipertahankan. Petani pun dipastikan akan mengantongi nilai ekonomi yang lebih besar.
Bangkit saat pandemi
Popularitas minyak atsiri yang dihasilkan dari tanaman rempah, holtikulutura maupun perkebunan nyatanya melejit di masa pandemi. Agung menyebut fenomena ini sebagai hikmah di balik musibah pandemi.
Perubahan gaya hidup masyarakat di dunia ini memunculkan peluang besar bagi perkembangan minyak atsiri khususnya di Tanah Air. "Bahkan mungkin kita enggak pernah bayangkan sebelumnya," katanya.
Lembaga riset dan konsultan itu bahkan menyebut era pandemi memunculkan kehadiran kembali raksasa tidur Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Indonesia: minyak atsiri. "Beragam jenis minyak yang bersumber dari penyulingan daun atsiri, tanaman asli hutan Indonesia. Sekarang ini benar-benar sedang naik daun," cetusnya.
Hal ini tak lepas dari berbagai temuan peneliti yang menyebarkan khasiat atsiri dalam meningkatkan imunitas hingga pengobatan Covid-19. Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pun sudah sepakat menanam atsiri secara massal sejak Februari 2020.
Diawali pengembangan demplot tanaman serai wangi, kayu putih dan juga nilam di tanah kas desa Dlingo. Dengan target awal seluas 2 hektar dari target keseluruhan 5 hektar. Tercatat, telah ditanam kayu putih sebanyak 5.000 bibit dan sereh wangi sebanyak 10.000 bibit.
Kemudian, pada awal musim hujan pada tahun yang sama baru mulai ditanami jenis Nilam sekitar 10.000 bibit.
"Untuk memastikan, bahwa hasil panen daun tanaman atsiri bisa langsung diolah menjadi produk yang siap dijual, dibangun juga mesin penyulingan minyak atsiri dengan kapasitas 100 kg langsung di dusun Dlingo," sebutnya.
Hasilnya pada Juli 2020 lalu, panen perdana mencatat nilai sangat signifikan. Total nilai ketiga produk daun sereh wangi, nilam dan kayu putih kira-kira sebesar Rp49,25 juta. Sementara untuk produk minyak atsiri total Rp102,5 juta per hektar per tahun.
"Nah total daun dan minyak tak kurang Rp151,75 juta per tahun per hektar," sebutnya.
Menurutnya, nilai ekonomi tanaman atsiri mampu mendongkrak ekonomi keluarga petani. Nilainya bahkan jauh mengalahkan tanaman palawija hingga puluhan kali lipat.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Atsiri Indonesia (DAI) Robby Gunawan menyatakan ada 97 jenis tanaman minyak atsiri yang tumbuh di Indonesia.
"Menurut DAI sekitar 25-nya telah dikembangkan secara komersial menjadi industri minyak atsiri hulu–hilir sampai tahun 2020," katanya dalam Laporan Rantai Nilai Minyak Atsiri Indonesia.
Tanaman itu adalah adas, akar wangi, cendana, gaharu, jahe, jeruk purut, lada, kapulaga, kayu manis, kayu putih, kemenyan, kemukus, dan kenanga. Ada pula keruing, lajagoa, lawang, masoi, nilam, pala, palmarosa, pinus, sereh dapur, sereh wangi, dan sirih.
Laporan tersebut juga mencatat segmen yang memacu pertumbuhan industri minyak atsiri di dunia yakni kebutuhan aromaterapi global yang mencapai US$1,6 miliar pada 2020. Angka ini diperkirakan akan tumbuh hingga US$3,85 miliar pada 2028 mendatang.
"Aromaterapi semakin diterima sebagai terapi alternatif untuk berbagai masalah kesehatan," tambahnya.
Dorong hilirisasi
Direktur Tanaman Semusim, Obat, dan Rempah Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Hendratmojo Bagus Hudoro menyebut pandemi menjadi momentum bagi petani atsiri meningkatkan produksi bahan baku maupun hilirisasinya.
"Kita enggak hanya sekadar meningkatkan produksi bahan baku tanpa meningkatkan nilai tambah. Justru perkembangannya di nilai tambah," ungkapnya kepada Alinea.id, Selasa (10/8).
Menurutnya, tanaman perkebunan yang bisa diolah menjadi minyak atsiri tersebar merata di Indonesia. Sebut saja tanaman nilam yang fokus di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Tenggara. Kemudian cengkeh di Sulawesi dan Maluku Utara dan pala di Aceh dan Maluku Utara.
Pemerintah pun, kata dia, tengah mengembangkan klaster tanaman atsiri yang bertujuan tak hanya meningkatkan produksi bahan baku namun juga produk-produk turunannya. "Jadi misalkan sereh wangi di mana, nilam di mana. Pendekatan per kawasan," ujarnya.
Dengan begitu, kata dia, skala ekonomi yang tercipta menjadi besar dan lebih efisien. Pasalnya, setiap kawasan menanam jenis atsiri dengan skala besar. Alat pengolahan pun ditempatkan pada satu lokasi yang mewakili semua kawasan.
"Jadi misal kita bangun satu kabupaten klaster cengkeh di kabupaten Toli-toli, Sulawesi Tengah," tambahnya.
Namun, yang tidak kalah penting adalah mendorong petani mempunyai orientasi bisnis yang profesional. Bagus menyebut petani harus mengedepankan inovasi dan terbuka terhadap teknologi. Dus, produk yang dihasilkan tidak semata-mata mentah.
"Sekarang eranya korporasi petani, harus sudah business oriented. Katakanlah ambil modal kerja sehingga bisa hasilkan nilai tambah enggak hanya hasilkan bahan mentah," kata dia.
Dia mengakui pengolahan atsiri menjadi produk-produk turunan membutuhkan investasi yang besar. Baik dari sisi peralatan maupun sumber daya manusia. Pasalnya, untuk skala bisnis yang besar seperti pasar ekspor maka perlu mempunyai pasokan yang terjamin mutunya dan berkelanjutan.
Ia juga mendorong petani lebih terlembaga dan bisa mendapatkan akses permodalan. Sejauh ini, pihaknya mendorong petani mengakses pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Apalagi, pemerintah telah menaikkan plafon KUR tanpa jaminan menjadi Rp100 juta dan memperpanjang tambahan subsidi bunga KUR menjadi 3% hingga Desember 2021.
Nilai ekonomi dan potensi ekspor
Bagus menambahkan minyak atsiri Indonesia sudah mendunia. Adapun pangsa pasarnya adalah Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara Asia. Produk perkebunan atsiri yang terlaris, kata dia, yakni pala, serai wangi, cengkeh, dan nilam dalam bentuk minyak.
"Produk pala (mentah) harganya Rp30.000-40.000 tapi kalau jual minyak bisa Rp150.000-Rp200.000, dengan itu kita dorong dengan gerakan peningkatan produksi, nilai tambah dan daya saing produk (Grasida)," ujarnya.
Tahun | Volume ekspor | Nilai ekspor |
2016 | 15,84 juta ton | Rp1,21 triliun |
2017 | 19,94 juta ton | Rp1,47 triliun |
2018 | 20,20 juta ton | Rp1,59 triliun |
2019 | 19,96 juta ton | Rp1,95 triliun |
2020 | 22,84 juta ton | Rp2,14 triliun |
Permintaan aromaterapi di seluruh dunia yang meningkat juga mendorong ekspor atsiri Indonesia. Direktur Pelaksana yang membidangi Indonesia Eximbank Institute (IEB Institute) Agus Windiarto mengatakan nilai ekspor minyak atsiri Indonesia hingga April 2021 mencapai US$83,9 juta atau tumbuh 15,5% (year on year).
"Peningkatan ini ditopang oleh meningkatnya harga minyak atsiri yang meroket pada masa pandemi," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/8).
Eximbank Institute mencatat selama 2020, nilai dan volume ekspor minyak atsiri Indonesia naik masing-masing 16,45% (yoy) dan 14,69% (yoy). Nilainya mencapai US$215,81 juta dengan volume 7,54 juta ton.
"Selama lima tahun terakhir, pertumbuhan rata-rata tahunan majemuk atau Compound Annual Growth Rate (CAGR) ekspor minyak atsiri Indonesia ke lima negara tujuan utama berada pada tren positif, kecuali ke Singapura," ungkapnya.
Pada 2020, Indonesia memiliki 189 eksportir minyak atsiri yang tersebar di seluruh provinsi dengan total nilai ekspor US$215,81 juta. Jawa Barat merupakan provinsi penyumbang ekspor minyak atsiri terbesar dengan nilai sebesar US$68,92 juta atau 31,9% dari total.
Dari sisi sebaran eksportir, DKI Jakarta memiliki eksportir produk minyak atsiri paling banyak di Indonesia dengan 48 eksportir selama tahun lalu, diikuti oleh Jawa Barat sebanyak 29 eksportir dan Jawa Timur sebanyak 24 eksportir.
Selama 2020 minat masyarakat terhadap produk minyak atsiri secara global menunjukkan peningkatan cukup tinggi, khususnya di Eropa seperti Prancis, Polandia, Irlandia, Belgia, Spanyol, dan Belanda.