Waspada dampak kepemimpinan Trump terhadap ekonomi RI
Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
Kembalinya Trump sebagai presiden AS berpeluang menghadirkan kembali kebijakan 'America First' yang memprioritaskan kepentingan nasional negeri Paman Sam atau proteksionisme dalam perdagangan internasional. Pendekatan tersebut pernah diterapkan raja real estate itu pada periode pertama jabatannya, 2017-2021.
Dampak terhadap ekonomi Indonesia
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan kembalinya kebijakan proteksionisme Donald Trump dalam wacana politik AS berpotensi memberikan dampak besar terhadap perdagangan global, termasuk Indonesia. Kebijakan tarif tinggi terhadap Tiongkok, misalnya, dapat menggeser aliran barang dari Tiongkok ke pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Akibatnya, Indonesia menghadapi ancaman banjir impor barang murah yang berpotensi merusak industri dalam negeri.
"Proteksionisme AS juga dapat menekan ekspor Indonesia ke pasar utama seperti AS dan Eropa, yang berdampak negatif terhadap surplus neraca perdagangan barang," kata Achmad, Rabu (20/11).
Tak hanya itu, kebijakan energi Trump yang mendukung produksi domestik dan relaksasi aturan lingkungan berpotensi meningkatkan pasokan minyak AS secara signifikan. Dus, harga minyak dunia bisa turun akibat bertambahnya pasokan dari produsen besar seperti AS, yang dapat berdampak besar bagi negara pengimpor minyak seperti Indonesia.
Penurunan harga minyak memang menguntungkan Indonesia sebagai pengimpor, tetapi volatilitas harga memengaruhi stabilitas ekonomi dalam jangka panjang.
Di sisi lain, kemenangan Trump dapat memperkuat sentimen positif terhadap dolar AS, yang kemudian menekan nilai tukar rupiah dan menjadi tantangan bagi Indonesia.
"Meski depresiasi rupiah di bawah tekanan dolar mungkin tidak lebih buruk dibandingkan mata uang lain, Indonesia tetap harus waspada terhadap potensi volatilitas ini. Potensi fluktuasi nilai tukar yang tinggi bisa berdampak pada kondisi fiskal negara, terutama dalam hal pembiayaan defisit anggaran," katanya.
Selain dampak langsung terhadap harga minyak dan nilai tukar rupiah, juga akan memberikan tantangan pada pembiayaan defisit anggaran melalui penerbitan surat utang global atau global bond Indonesia. Jika Trump menjalankan kebijakan proteksionisme dan suku bunga AS meningkat, investor bisa lebih tertarik pada obligasi AS ketimbang surat utang negara berkembang seperti Indonesia.
Situasi ini membuat Indonesia harus menawarkan kupon kompetitif saat menerbitkan surat utang guna menarik minat investor. Ujung-ujungnya, biaya yang harus ditanggung pemerintah untuk menambal defisit anggaran menjadi lebih tinggi.
"Pemerintah Indonesia harus cermat menilai apakah strategi pembiayaan melalui global bond masih efektif atau justru menjadi beban tambahan dalam kondisi pasar internasional yang tidak pasti,” ujarnya.
Ia pun melihat BRICS - singkatan dari lima negara berkembang berpengaruh yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan - sebagai alternatif pembiayaan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar. Terlebih negara-negara tersebut kini semakin kuat dalam menawarkan fasilitas keuangan alternatif.
BRICS telah mengembangkan mekanisme pembiayaan bertujuan mengurangi ketergantungan pada dolar AS, yang bisa menjadi solusi bagi Indonesia untuk memperoleh pembiayaan yang lebih stabil.
Menurutnya, dengan mengandalkan BRICS sebagai alternatif akan mendiversifikasi sumber pembiayaan dan memberi fleksibilitas bagi Indonesia dalam menghadapi volatilitas pasar yang dipengaruhi kebijakan moneter AS. Selain itu, BRICS juga membuka peluang bagi Indonesia untuk melakukan transaksi dalam mata uang lokal atau yuan, mengurangi risiko nilai tukar terhadap dolar yang sering membebani anggaran negara.
"Dalam beberapa hal, inisiatif BRICS memberikan opsi lebih tahan terhadap guncangan ekonomi global yang sering didominasi oleh sentimen pasar barat," katanya.
Memanfaatkan BRICS sebagai alternatif pembiayaan bisa menjadi langkah strategis bagi Indonesia, terutama ketika dinamika kebijakan di AS dan pasar global semakin sulit diprediksi. Misalnya dalam jangka panjang, mempererat hubungan dengan BRICS akan membantu Indonesia memperkuat ketahanan fiskal dan ekonomi di tengah ketidakpastian. Langkah ini tidak berarti sepenuhnya menggantikan pembiayaan dari pasar barat, tetapi sebagai diversifikasi yang penting untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Dia bilang, akses ke fasilitas keuangan dari BRICS juga dapat mendorong Indonesia memperluas hubungan perdagangan dan investasi dengan negara-negara anggota, menciptakan sinergi yang saling menguntungkan. Seiring meningkatnya pengaruh BRICS dalam ekonomi global, Indonesia memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dunia yang lebih adil.
Jika kondisi pasar obligasi global semakin mahal akibat kebijakan Trump dan dominasi dolar, akses ke BRICS bisa menjadi penopang utama bagi pembiayaan fiskal yang berkelanjutan. Mempertimbangkan BRICS sebagai alternatif pembiayaan dinilai bukan hanya solusi pragmatis untuk jangka pendek, tetapi juga strategi yang mendukung visi jangka panjang bagi ketahanan ekonomi Indonesia.
"Kemenangan Trump membawa tantangan nyata bagi Indonesia, namun langkah strategis yang tepat dapat menjadi fondasi bagi stabilitas dan kemakmuran yang lebih berkelanjutan,” lanjutnya.
Pengamat Hubungan internasional Universitas Budi Luhur, Andrea Abdul Rahman mengatakan kebijakan Trump akan mengancam perdagangan ekspor dan impor Indonesia dengan AS. Proteksionisme Trump membuat ekspor Indonesia dikenakan bea masuk yang cukup tinggi.
“Nah itu bahaya banget, karena bisa jadi produk-produk ekspor kita ke AS kena fee, kena pajak yang cukup tinggi, dan bea masuk yang cukup tinggi sehingga mengganggu stabilitas industri dalam negeri kita yang memang hidupnya dari ekspor, terutama ke AS,” katanya kepada Alinea.id, Senin (18/11).
Dampak lain, terkait pertahanan dan keamanan Trump yang kerap diwarnai Partai Republik sehingga menerapkan kebijakan luar negeri agresif. Andrea memprediksi akan ada hotspot baru dan industrial built-in military Amerika Serikat yang lebih kencang. Termasuk peningkatan anggaran militer dan penekanan pada kekuatan militer Indonesia. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap stabilitas regional Asia Tenggara.
Lalu, isu lingkungan diprediksi akan berbeda dari Indonesia, terlihat dari Trump yang sangat skeptis dalam menyikapinya. Sementara Indonesia sangat perhatian terhadap isu lingkungan baik iklim, perubahan lingkungan, kebijakan lingkungan, hingga mitigasinya.
Terkait hubungan dengan China, Trump dinilai memiliki sikap yang selalu keras terhadap Negeri Tirai Bambu itu sehingga berdampak pada politik di Asia Timur dan Asia Tenggara.
"Indonesia perlu memantau mulai dari titik-titik hubungan, peningkatan gesekan, stabilitas di regional Asia Tenggara. Kebijakan Trump apakah akan agresif yang memungkinkan muncul pergerakan militer atau tidak. Selain itu dimungkinkan juga akan ada kerja sama dalam latihan militer," tuturnya.
Terakhir, diplomasi multilateral. Menurut Abdul, Trump adalah satu di antara beberapa presiden Amerika Serikat yang cenderung skeptis terhadap organisasi internasional dan perjanjian multilateral. Tidak heran bila nanti AS mengabaikan organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan perjanjian multilateral.