close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi AS vs China/ Shutterstock
icon caption
Ilustrasi AS vs China/ Shutterstock
Bisnis
Sabtu, 24 Maret 2018 18:32

Waspada goncangan ekonomi imbas perang dagang AS vs China

Indonesia harus punya lahan main sendiri. Pemerintah mesti mengantisipasi kebijakan sektor fiskal dan moneter menenangkan perang dagang.
swipe

Presiden Amerika Serikat Donald Trump benar-benar memenuhi janji kampanyenya terkait upayanya mengurangi defisit anggaran Amerika Serikat (AS). Salah satunya dengan menekan China yang menjadi negara pengimpor terbesar di negeri paman sam, semalam (23/3) Trump meneken memo tentang tarif impor atas barang China yang masuk ke AS. 

Perang dagang antara kedua negara ini dikhawatirkan akan berimbas kepada negara-negara yang selibat. Ibarat dua nahkoda kapal yang sedang berlayar di Laut Pasifik, apabila dua kapal tersebut bertabrakan. Maka kapal-kapal kecil lainnya bisa terlempar. 

Indonesia bisa menjadi salah satu negara yang terkena imbas dari perang dagang antara kedua negara. China selama ini diketahui menjadi mitra dagang paling erat dengan Indonesia.

Salah satu pengusaha asal Cina yang kini bermukim di Indonesia Tian Jinjing menilai wajar langkah Trump memproteksi ekonomi negaranya. Apalagi niatan Trump menekan angka defisit perdagangan yang berasal dari China hingga US$ 300 miliar. 

Namun Jinjing menyebut langkah Trump mengenakan bea impor tidaklah tepat. China seperti diketahui adalah negara basis produksi, jadi walau upah buruhnya terbilang mahal namun negara tembok besar tersebut masih menjadi basis produksi industri yang paling efektif ongkosnya di seluruh dunia. 

Apalagi produk China yang dikirim ke AS merupakan produk perantara. Jingjing mencontohkan penjualan iPhone yang merupakan hasil olahan yang dilakukan oleh China. 

"Untuk satu ongkos biaya produksi iPhone itu kurang lebih US$ 180, dijual di AS sekitar US$ 600. China hanya dapat 1% atau sekitar US$ 6 - US$ 6,5," terang Jinjing pada Sabtu (24/3) dalam diskusi di kawasan Menteng. 

Jinjing bilang hitungan AS bahwa US$ 600 masuk ke kantong Cina tidak tepat. Sebenarnya, sebanyak 70% dikantongi oleh Apple. Hitungan Jinjing paling defisit hanya sebesar US$ 100 miliar. Itupun angkanya kata Jingjing sama seperti perdagangan defisit AS terhadap Uni Eropa. 

Imbas ke pasar keuangan 

Lalu apa dampaknya bagi ekonomi tanah air? Peneliti sekaligus Dosen Perdagangan Internasional Universitas Indonesia Fithra Faisal menyebut pasar keuangan dan pasar modal bakal mengalami terbulensi. 

Pasar finansial akan mempengaruhi pasar surat hutang, akibatnya suku bunga perbankan pada jangka panjang bisa naik. Fithra mengingatkan agar pemerintah bisa mengontrol kemungkinan ini dengan kebijakan yang baik. 

Sekaligus mewaspadai kemungkinan terjadi kenaikan suku bunga secara internasional dan berdampak pada kinerja IHSG. Plus, nilai tukar Rupiah. Saran Fithra agar Pemerintah Indonesia memiliki benteng pertahanan dengan jangan selibat permainan AS dengan Cina.

"Indonesia harus punya lahan bermain sendiri. Pemerintah juga harus mengantisipasi kebijakan sektor fiskal dan moneter untuk mengantisipasi goncangan di jangka pendek," tukas Fithra. 

Untuk jangka menengahnya, kata dia dengan memperbaiki pemetaan partner non-tradisional. Tidak hanya berkiblat ke negara-negara itu saja.

China memang penting, begitu juga Amerika. Namun bangsa ini juga punya mitra lebih banyak lagi di seluruh dunia, pergaulan dengan negara lain harus lebih luas lagi.  

Saran lain, Indonesia juga harus memperkuat sisi regional dengan memiliki aset Regional Comprehensive Economy Partnership atau RCEP. Agar Indonesia bisa keluar dari rangkaian goncangan ekonomi. 

Tidak kalah penting lagi kata Fithra memperkuat infrastruktur, harus ada aturan yang jelas agar investor mau berinvetasi. Karena selama ini, dia menilai bahwa aturan yang ada di Indonesia selalu berubah. Sehingga menyebabkan investor enggan untuk berivestasi. 

Jangan lupa, kompetensi orang-orang yang terlibat dalam negosiasi perdagangan dengan negara lain juga harus dilakukan. Hal ini guna memperkuat hubungan bilateral dengan negara lain. 

"Selama ini sorry to say, delegasi kita kalau di forum-forum internasional hanya dibekali data sangat sedikit, berbekal excecutive summary. Sementara partner kita punya data yang lebih lengkap, bahkan mereka bisa lebih tau tentang Indonesia, dibanding kita tau Indonesia itu sendiri. Belum lagi kemampuan untuk berbahasa asing yang juga relatif terbatas. Jadi buat apa mereka dikirim kalau tidak bisa negosiasi," pungkas Fithra. 

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan