Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemerintah harus berhati-hati dalam menggenjot ekspor. Pasalnya, dalam beberapa tahun ke belakang Indonesia selalu mengalami gejala penyakit ekonomi makro. Dimana, saat ekspor meningkat, maka impor akan ikut meningkat.
“Ini penyakit struktural kita. Biasanya jika mau ekspor, maka kita harus impor dulu. Karena banyak produk ekspor, bahan bakunya dari impor. Maka kita harus carikan solusi jangka menengah,” kata Suahasil dalam diskusi perdagangan di Jakarta, Senin (16/7).
Suahasil mengatakan ada dua jalan yang harus ditempuh agar ekspor Indonesia bisa meningkat. Pertama, mengganti impor dengan produk-produk di dalam negeri. Kedua, mendorong manufaktur dari hulu seperti memberi insentif fiskal.
“Kalau ingin sektor barang dan jasa kita meningkat, maka kita beri tax holiday atau insentif lainnya,” kata dia.
Suahasil menyebutkan, pada 2016 ekspor dan impor Indonesia mengalami penurunan. Selanjutnya, pada 2017, ekspor dan impor Indonesia baru mengalami pertumbuhan. Pada Kuartal I-2017, ekspor tumbuh sekitar 8%, kemudian di kuartal II-2017 tumbuh 2%, kuartal III tumbuh 17% dan kuartal IV tumbuh 8,5%.
Namun, pertumbuhan ekspor tersebut diikuti juga dengan meningkatnya impor. Pada kuartal IV-2017, impor Indonesia tumbuh double digit di angka 11,5%. Selanjutnya, pada kuartal I-2018, ekspor tumbuh 6,17% dan impor tumbuh 12,75%. Akibatnya, neraca perdagangan tetap mengalami defisit.
Suahasil mengungkapkan contohnya, yakni neraca jasa mengalami defisit US$ 8 miliar pada 2017. Hal ini juga terlihat pada defisit di sektor transportasi barang yang mengalami defisit US$ 6 miliar dan jasa perjalanan defisit US$ 4 miliar.