Waspada sembako langka dan mahal jelang puasa
Sejumlah kebutuhan pokok mulai mengalami kenaikan harga jelang bulan suci Ramadan. Harga beberapa komoditas utama seperti gula, daging sapi/kerbau, dan bawang bombai terpantau naik sejak beberapa hari terakhir di pasaran.
Lina Sugiarti (44 tahun), pedagang sembako di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan mengaku, harga gula pasir sudah naik sejak sebulan terakhir. Kenaikan terjadi secara perlahan mulai dari harga Rp12.000, Rp14.000 dan kini sudah di angka Rp16.000 per kilogram.
“Kalau gula yang lagi tinggi, naik, naik Rp1.000. Biasa jual 15 (Rp15.000). Sekarang 16 (Rp16.000) itu yang GMP (Gunung Madu Plantations),” tutur Lina saat berbincang dengan Alinea.id di kiosnya, Sabtu (7/3).
Peningkatan harga terjadi karena permintaan terhadap gula sedang tinggi dan stok yang mulai terbatas. Harga yang ditawarkan dari para pemasok juga sudah di atas normal, yakni Rp750.000 per karung dari Rp650.000-Rp700.000 ribu per karung dengan berat 50 kilogram.
Pangan lain yang mulai mengalami kenaikan harga adalah daging. Daging yang semula berada di kisaran Rp100.000 per kilogram, kini sudah dijual di angka Rp110.000 per kilogram.
Adullah (35 tahun), pedagang daging di pasar yang sama mengaku, kenaikan harga daging sudah terjadi sejak sepekan terakhir. Peningkatan terjadi lantaran harga yang dipatok rumah-rumah jagal sedang tinggi akibat lonjakan permintaan.
“Ada kenaikan harga doang. Daging sapi. Ya 10% kurang-lebih. Normalnya per kilo (kilogram) 100 (Rp100.000). Sekarang jadi 110 (Rp110.000),” terang Adul.
Sementara lonjakan harga yang cukup tinggi terjadi pada bawang bombai. Harga bawang bombai yang semula hanya Rp30.000-Rp40.000 per kilogram, kini dijual di angka Rp150.000-Rp160.000 per kilogram. Sri Suparni (36 tahun), pedagang rempah menyebut, peningkatan terjadi karena kelangkaan bawang bombai di Pasar Induk Keramat Jati.
Menurut Sri, Pasar Induk Keramat Jati sudah kehabisan stok bawang bombai sejak lima hari terakhir. Sri bahkan harus mencari stok bawang bombainya sendiri hingga ke pasar induk di kampung halamannya, Solo, Jawa Tengah. Itu pun, sambung dia, pembelian harus dibatasi oleh para pemasok karena stok yang terbatas.
“Bawang bombainya, 160-170 sekilo (Rp160.000-Rp170.000 per kilogram). Biasanya kemarin-kemarin cuma itu 30 (Rp30.000), 50 (Rp50.000), terakhir langsung melonjak tinggi karena dampak corona (coronavirus/COVID-19) itu,” tutur Sri sembari tetap menata warungnya.
Sedang, untuk harga bahan pokok lain seperti cabai, beras, bawang putih, bawang merah, dan telur ayam masih berada di kisaran harga normal. Harga cabai dan cabai rawit di Pasar Keboyaran Lama saat ini masih berada pada kisaran Rp40.000-Rp50.000 per kilogram, beras Rp9.000-Rp12.000 per kilogram, bawang putih Rp38.000-Rp40.000 per kilogram, bawang putih Rp57.000-60.000 per kilogram, dan telur ayam di angka Rp26.000 per kilogram.
“Stok banyak. Telur sekilo (satu kilogram) hari ini Rp26.000. Normal,” tutur Suhermanto (30 tahun), pedagang sembako.
Stok aman tapi harga naik
Sementara itu, jika dilihat dari sisi stok kebutuhan pokok di minimarket atau retail-retail modern, saat ini persediaan masih terbilang mencukupi. Wiwiek Yusuf, Managing Director PT Indomarco Prismatama (Indomaret) menyebut, hingga kini stok kebutuhan pokok seperti minyak goreng, bumbu masak, gula, beras, dan makanan kaleng masih bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Persediaan dari petani dan CAD (current account deficit) pemerintah masih mencukupi meski beberapa komoditas masih harus ditopang produk impor.
“Untuk produk gula biasanya sebagian ditopang impor sebagai cadangan. Sedang produk pabrikan seperti minyak goreng, bumbu-bumbu, makanan kaleng, dan lain sebagainya, semuanya produksi dalam negeri dan cukup memadai untuk konsumsi dalam negeri,” tutur Wiwiek melalui pekan singkat pekan lalu.
Namun demikian, Indomaret tetap menyiapkan langkah antisipasi menghadapi tingginya permintaan kebutuhan pokok di bulan Ramadan. Salah satu upayanya adalah dengan menambah stok pasokan bahan pokok yang kerap menjadi komoditas saat bulan suci umat Islam.
Penambahan stok ini juga dimaksudkan untuk menjaga kestabilan harga bahan pokok, meski permintaan sedang tinggi. Walau, Wiwiek tidak menampik jika setiap kali datang bulan Ramadan, maka harga-harga kebutuhan pokok itu akan meningkat setidaknya 10%-12%.
“Ya pasti kami persiapkan stok untuk peningkatan permintaan. Produknya tadi yang sudah disebut di atas. Biasanya (harga) naik antara 10% sampai 12%,” terang Wiwiek lagi.
Hal senada juga disampaikan Budihardjo Iduansjah, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) kepada Alinea.id. Menurut Budihardjo, peningkatan harga bahan pokok menjelang bulan Ramadan atau saat puasa adalah hal yang umum terjadi setiap tahunnya.
Namun saat ini, kata Budihardjo, eskalasi harga tidak akan terlalu signifikan atau melampaui batas. Program pemerintah dengan menyematkan HET (harga eceran tertinggi) untuk setiap bahan pokok dinilai cukup berhasil untuk mencegah lonjakan tinggi pada harga pangan saat puasa.
“Ya secara pengalaman kami bertahun-tahun kalau hari-hari raya itu pasti ada kenaikan. Cuma mungkin pemerintah selama ini sudah berhasil, kenaikan itu tidak sampai kayak enggak ada batasnya. Jadi dengan adanya program HET ini memang berhasil membuat harga itu naiknya agak gimana ya, mungkin 10%. Enggak sampai 30%-40%,” ujar Budiharjo pekan lalu.
Peningkatan harga umumnya terjadi pada produk-produk hortikultura seperti beras, cabai, bawang putih, bawang merah, hingga sayur-mayur. Selain itu, produk-produk subsider seperti daging, telur ayam, dan susu juga kerap mengalami peningkatan.
Untuk itu, sambung dia, saat ini Hippindo sudah mulai bersiap menambah stok bahan pokok di gudang penyimpanan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kestabilan harga saat permintaan tinggi di bulan puasa.
“Prinsipnya kalau retail, nyetok. Menimbun. Itu saja. Mau Lebaran nimbun biskuit, nimbun kue. Kalau enggak, naik dong harganya. Jadi kami melakukan penimbunan tapi enggak menaikkan harga. Fungsi retail ini penimbun untuk mengantisipasi kenaikan harga,” katanya.
Cegah penimbunan dan pemburu rente
Di sisi lain, pemerintah bersama asosiasi juga sudah mulai membuka keran impor untuk mengantisipasi kelangkaan dan lonjakan permintaan bahan pokok jelang bulan Ramadan. Roy Nicholas Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan, saat ini pemerintah sudah membuka keran impor untuk gula dan bawang putih.
Dua bahan pokok ini menjadi produk utama yang dikhawatirkan bakal mengalami kelangkaan pada H-7 jelang Ramadan. Hal itu terjadi lantaran musim panen raya tebu yang diperkirakan akan mundur dua bulan dari perkiraan. Biasanya Februari-Maret, mundur menjadi April-Mei.
Sementara bawang putih diimpor karena kekhawatiran akan besarnya dampak COVID-19 yang saat ini melanda dunia. Apalagi 90% kebutuhan bawang putih dalam negeri saat ini diimpor dari China.
“Gula ‘kan 2019 turun (produksinya) 30% dan tidak dapat konfirmasi stok cadangan 2020. Panenya ‘kan baru bulan April. Penugasan impor sudah turun. Impor masuk dan penggilingan berjalan,” terang Roy usai rapat koordinasi bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag), di Hotel Borobudur, Jakarta Selatan, Kamis (5/3).
Namun demikian, beberapa pengamat menilai bahwa pemerintah tetap perlu memerhatikan stok komoditas pangan lainnya. Ketua Umum Perhimpunan Tani Indonesia (Perhepi) Hermanto Siregar mengatakan, selain stok gula dan bawang putih, pemerintah juga perlu memerhatikan ketersediaan stok cabai.
Pasalnya, kata Hermanto, cuaca saat ini masih sulit ditebak. Dikhawatirkan jika musim penghujan berlanjut hingga bulan April, maka kemungkinan panen cabai akan terganggu. Akibatnya, cabai menjadi langka dan harga melonjak tinggi.
Selain itu, meski sudah membuka keran impor untuk bawang putih, pemerintah juga tetap perlu memerhatikan produktivitas bawang putih dalam negeri. Masalahnya, jika panen raya bawang putih dalam negeri gagal, ketersediaan stok ini juga bakal menjadi kendala pada akhirnya.
“Probabilitasnya tinggi harga bawang putih akan naik saya rasa besar. Cabai juga sama. Kalau hujannya enggak habis sampai bulan empat (April) puasa itu juga panen kita juga terganggu. Terganggunya panen cabai bisa jadi mengalami kenaikan,” kata dia.
Pemerintah, lanjut Hermanto, juga perlu mengawasi ‘sistem pasar’ yang biasanya berlaku jelang hari-hari besar. Penimbunan dan peningkatan harga secara serampangan oleh para oknum pedagang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah guna mencegah terjadinya lonjakan harga.
“Aparat harus wanti-wanti dari awal enggak melakukan penimbunan. Yang membuat harganya tereskalasi itu penimbunan. Artinya dijatah saja. Jadi penjual enggak boleh nimbun, kalau enggak dijual maksimal berapa,” ujarnya.
Ditanya secara terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah sedikit sepakat dengan apa yang disampaikan Hermanto. Menurut Rusli, meski stok kini sudah cukup memadai, namun pemerintah juga perlu memerhatikan beberapa hal yang biasanya berpengaruh terhadap pelonjakan harga.
Jangan sampai, kata dia, stok yang memadai ini justru dimanfaatkan para pemburu rente untuk mencari keuntungan. Terlebih, saat bulan puasa permintaan kebutuhan pokok kerap melonjak tajam.
“Cuma yang jadi problem, jangan sampai ketersediaan ini sama spekulan dimanfaatkan untuk mencari rente. Tiba-tiba lebaran di-hold dulu barangnya, baru dilepas. Pemerintah harus diperhatiakn. Permintaan tinggi cuma kenaikan harga-harga yang enggak normal perlu diselidiki pemerintah,” ungkap Rusli saat berbincang dengan Alinea.id pekan lalu.
Selain itu, Rusli juga mengingatkan agar koordinasi pemerintah dan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) terkait masalah pangan bisa lebih baik di masa mendatang. Dalam hal ini, terang Rusli menyindir, silang pendapat antara Kementerian Perdagangan dengan Perum Bulog ihwal masalah ketersediaan daging.
Bulog menyebut ketersediaan daging hanya bertahan satu bulan, sementara Kemendag mengatakan stok daging bisa bertahan sampai April. Narasi-narasi ini, menurut Rusli, bisa menyebabkan kepanikan di masyarakat, dan tentunya berujung pada lonjakan harga barang.
“Saya kira narasi-narasi itu mesti dihilangkan. Nanti importir mencari pembenaran. Itu ‘kan dari pemerintah yang kurang berkoordinasi. Mereka (pemburu rente) akan meraskan harga yang dinikmat sendiri. Itu sebab ada pengkondisian. Kerja rente begitu,” terang Rusli.
Di samping itu, Rusli juga berharap agar ke depannya Indonesia bisa lebih meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Bagaimana pun, kata dia, Indonesia tidak bisa terus bergantung pada produk impor.
Petani-petani harus diberikan kesejahteraan dan kemerdekaan memilih produk yang akan ditanam. Dengan begitu, ke depan ketersediaan pangan Tanah Air bakal mencukupi, baik untuk konsumsi dalam negeri ataupun ekspor.
“Berikan petani sebuah kemerdekaan. Jadi jangan jadikan petani harus menanam produk tertentu. Jadi biarkan petani biar milih tanam apa,” pungkas dia.
Bersambung dari artikel dengan judul "Pangan rawan jelang Ramadan dan Lebaran."