Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan tidak ikut campur dalam mengatur imbal hasil dalam sistem peminjaman dana peer to peer (P2P) lending dalam fintech.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menjelaskan, P2P lending terpisah dalam dua kategori. Pertama, P2P lending yang produktif dengan jaminan aset. Kedua, P2P lending yang disebut sebagai high interest and short term (HIST).
Untuk P2P lending yang produktif kata Bhima, biasanya kategori tersebut dalam bunga yang relatif bersaing dengan perbankan. "Jadi, so far tidak perlu diatur," ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (13/11).
Sementara P2P lending dalam kategori HIST ini yang menurut Bhima, paling banyak menyebabkan masalah, sebab menyasar untuk keperluan konsumtif. Biasanya bunga yang dikenakan tinggi, dendanya mahal jika terlambat dan tenornya pendek kurang dari satu tahun.
"P2P HIST ini yang seharusnya pengawasannya diperketat oleh OJK," kata Bhima.
Misalnya saja, OJK membentuk suatu unit pengawasan dan aduan khusus untuk fintech konsumtif. Selain itu, OJK juga bisa membuat lending rate cap atau bunga kredit maksimal. Sebagai contoh, maksimum average bank lending rate 10%. Lebih dari itu, maka seharusnya dikenakan sanksi.
Bhima juga menyarankan, agar OJK perlu bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo RI), apabila ada fintech ilegal yang tidak mau mendaftar ke OJK.
"Langsung dilakukan pemblokiran aplikasi maupun rekening fintech. Harus ada langkah preventif sebelum timbul korban,"paparnya.
Tips sebelum meminjam di fintech
Apabila diantara kalian semua butuh dana pinjaman dan berencana untuk meminjamnya melalui fintech, ini yang sebaiknya kamu perhatikan.
Bhima menyarankan, agar sebelum meminjam dana, sebaiknya memastikan fintechnya terdaftar dan diawasi OJK.
"Bisa dilihat di website OJK untuk daftar fintech resmi," ujar Bhima.
Kemudian, sebelum mendownload apalikasi fintech, pastikan untuk mempelajari syarat-syaratnya, termasuk soal privasi data pribadi seperti foto, nomor kontak, dan sebagainya. Jangan sampai, justru peminjam yang dengan sengaja mengizinkan fintech untuk mengakses data-data pribadi.
Tidak kalah penting adalah mempelajari soal kontrak pinjaman dan model bisnisnya.
"Hati-hati dengan biaya terselubung, termasuk denda keterlambatan. Seringkali denda lebih mahal dari bunga dan pokok pinjaman," terang Bhima.
Juga, untuk membandingkan tingkat bunga yang diberikan antar fintech. Jangan mudah tergiur dengan kecepatan dan tenor pembiayaan fintech yang pendek, karena bunganya bisa lebih tinggi dari rata-rata pinjaman kredit tanpa agunan.