WFH: Gagap solusi atasi polusi
Kebijakan work from home (WFH) kembali menyeruak di era pascapandemi seiring dengan gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean di Jakarta dan polusi udara yang kian pekat. Indeks Kualitas Udara (AQI) di kawasan Jabodetabek terus menerus berwarna merah dengan angka hampir selalu di atas 150 yang masuk kategori Tidak Sehat.
Salah satu solusi yang dijabarkan pemerintah adalah kembali memberlakukan WFH demi mengurangi mobilitas dan emisi di Jabodetabek. Kebijakan itu tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengendalian Pencemaran Udara pada wilayah Jabodetabek. Kebijakan ini berlaku bagi sebagian ASN DKI Jakarta mulai 21 Agustus lalu.
"Untuk mengurangi jumlah kendaraan bermobilitas, kepala daerah diminta untuk melakukan penyesuaian kebijakan pengaturan sistem kerja yakni sedapat mungkin melakukan penerapan work from home (WFH) dan work from office (WFO) masing-masing sebanyak 50 persen bagi ASN di lingkungan perangkat daerah, karyawan BUMN, dan BUMD," kata Dirjen Administrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri Syafrizal ZA melalui keterangan tertulis, Rabu (23/8).
Meski belum berlaku menyeluruh bagi perusahaan sektor swasta, kebijakan WFH ini sebenarnya memberi angin segar bagi Dewi (40). Ibu dua anak ini justru sangat ingin bisa kembali WFH meski di era bukan pandemi. Hal ini tak lepas dari sulitnya perjalanan ke kantor yang bisa memakan waktu hingga dua jam karena kemacetan.
“Apalagi polusi ini sungguh menyiksa. Macet dan polusi ini yang ngaruh ke kesehatan mental dan fisik saya,” keluhnya saat berbincang dengan Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kebijakan WFH bisa menjadi solusi meskipun dirinya tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk ke kantor di kawasan Jakarta Timur. Warga Tangerang Selatan ini mengaku bisa bekerja lebih efektif di rumah tanpa menghabiskan perjalanan pulang pergi yang mencapai 4 jam setiap harinya.
Plus, dirinya juga bisa terhindar dari bahaya polusi di luar rumah seraya tetap fokus bekerja. “Pekerjaan saya masih bisa dikerjakan jarak jauh, ini paling efektif. Tapi kantor sampai sekarang belum mutusin untuk WFH sih,” tambahnya. Karenanya, ia sangat berharap WFH bisa menjadi solusi sementara untuk menghindari kemacetan dan polusi.
Salah satu korporasi swasta yang masih memberlakukan kebijakan WFH pascapandemi adalah Johnson and Johnson Indonesia. Perusahaan asal Amerika Serikat yang tersebar di banyak negara ini mengharuskan karyawannya WFH kala pandemi, termasuk di Indonesia. Hal ini memberikan kesadaran baru bagi perusahaan bahwa pekerjaan jarak jauh tetap efektif dilakukan dan bahkan memberi sejumlah manfaat positif.
“Kami berkomitmen untuk menawarkan kepada karyawan kami pengaturan kerja yang fleksibel untuk memungkinkan produktivitas yang optimal, mendukung kesehatan dan kesejahteraan mereka serta membantu mereka memenuhi kebutuhan keluarga dan pribadinya namun tetap bertanggung jawab sesuai dengan kredo kami,” kata Country Leader of Communications & Public Affairs Johnson & Johnson pharmaceutical for Indonesia, Malaysia & Philippines, Devy Yheanne kepada Alinea.id, Jumat (1/9).
Kebijakan WFH ini terus berlanjut meski kondisi tak lagi pandemi. Menurut Devy, hal ini semata-mata demi kesehatan mental dan fisik serta kesejahteraan karyawan. Sebagai bagian dari perusahaan pemimpin global dalam bidang kesehatan, Johnson & Johnson Indonesia menyadari betul bahwa karyawan merupakan pemangku kepentingan dan aset perusahaan yang penting untuk dijaga dan dilindungi. Termasuk dengan memberlakukan WFH dua kali dalam seminggu.
“Sampai dengan hari ini, meskipun perusahaan telah menerapkan 3 hari dalam seminggu untuk bekerja di kantor, namun bilamana dibutuhkan, para karyawan tentunya dapat menyesuaikan waktu kerja tersebut,” ungkapnya.
Untuk mendukung karyawan dalam bekerja dari rumah, tambah dia, Johnson & Johnson Indonesia juga menginisiasi kebijakan Remote Working Expense, di mana perusahaan memfasilitasi karyawan dengan berbagai perlengkapan. Tentunya untuk menunjang pengaturan ruang kerja yang ergonomis di tempat tinggal masing-
masing karyawan.
Selain itu, perusahaan juga menginisiasi Global Exercise Reimbursement yang mengajak karyawan untuk tetap aktif dan mendukung aktivitas olahraga di rumah dengan pembelian sejumlah perangkat olahraga. “Jadi karyawan tidak harus mengunjungi pusat kebugaran,” ungkapnya.
Dia menekankan karyawan yang WFH tetap melaksanakan tanggung jawab dan komitmennya. Termasuk para anggota Leadership Team (LT) di mana produktivitas tetap dapat dipertahankan bahkan meningkat secara signifikan mengingat rapat dan koordinasi lebih mudah dilakukanbsecara daring. “Dibandingkan secara luring yang biasanya terhambat kemacetan dan jarak serta waktu,” bebernya.
Dengan diterapkannya kebijakan WFH, para karyawan bahkan secara signifikan dapat mengurangi waktu tempuh dalam aktivitas sehari-hari sehingga waktu yang dihabiskan di perjalanan dapat dipergunakan untuk aktivitas dan pekerjaan lainnya.
Kondisi ini tetap berlaku di sela penyelenggaraan KTT ASEAN dan isu polusi udara saat ini. Di mana kebijakan Hybrid Working dua hari dalam seminggu memungkinkan karyawan dapat bekerja secara jarak jauh (remotely). “Dengan memanfaatkan kemajuan tekhnologi yang ada saat ini sehingga semua pekerjaan dapat dimonitor dengan baik dan dapat memberikan fleksibilitas kepada karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya dan berkomunikasi dengan pihak terkait,” sebutnya.
Menurutnya, pandemi telah memicu transformasi digital yang pada akhirnya membuat banyak pekerjaan bisa dilakukan “di mana saja” namun tetap vital bagi bisnis. “Pekerjaan jarak jauh (remote work) akan menjadi pilihan permanen bagi banyak karyawan di seluruh dunia dan di Indonesia,” tambah Devy.
Di mana livestream akan menjadi mainstream dengan penggunaan berbagai platform video baik di Facebook Live, Instagram Live, Webinar, dan sebagainya. Bahkan dalam dua tahun terakhir, kombinasi kegiatan yang menggabungkan peserta secara fisik dan virtual semakin gencar dilakukan. Karena itu pula, Johnson & Johnson Indonesia menilai kebijakan WFH bisa dilakukan dengan tetap menjaga produktivitas karyawan.
Kontraproduktif bagi bisnis
Namun demikian, kebijakan WFH juga dinilai akan kontraproduktif bagi dunia usaha yang mulai bangkit pascapandemi. Dus, kebijakan inipun tidak menyelesaikan masalah polusi yang melanda daerah Jakarta dan wilayah penyangga lainnya.
"Pelaku usaha termasuk UMKM akan keberatan pastinya. Kebijakan WFH punya risiko menurunkan berbagai indikator ekonomi di Jakarta dan sekitarnya," sebut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira kepada Alinea.id, Rabu (30/8).
Terlebih, dengan asumsi WFH tidak hanya dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) tetapi juga pegawai swasta non-esensial yang berpengaruh terhadap 40% pengeluaran rumah tangga di sektor transportasi. "Ada risiko kehilangan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) DKI Jakarta sebesar Rp215,8 triliun sepanjang 2023," tambahnya.
Dia juga menyebutkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), asumsi rata-rata porsi pengeluaran rumah tangga untuk transportasi, rekreasi, komunikasi dan budaya sebesar 25,06% sepanjang 2018-2022. Sementara asumsi konsumsi rumah tangga DKI harga berlaku untuk 2023 sebesar Rp2.153 triliun di 2023.
"Jika WFH-nya lebih tinggi maka pengaruhnya akan lebih besar lagi. Itu baru dari transportasi dan rekreasi," bebernya.
Bahkan, dia menghitung jika WFH terjadi hingga 30% maka pendapatan sektor hotel dan restoran ada tambahan kehilangan pendapatan sebesar Rp98,9 triliun. Dengan asumsi porsi pengeluaran masyarakat DKI Jakarta untuk hotel dan restoran 2018-2022 sebesar 15,3%.
Alih-alih memberlakukan kembali WFH di masa pascapandemi, Bhima justru menyarankan solusi lain. "Harusnya gratiskan tiga bulan semua mode transportasi publik di Jabodetabek. Tutup bertahap PLTU batu bara dan cabut izin perusahaan yang tidak patuh dalam pengelolaan limbah pembakaran," paparnya.
Penutupan Pembangkit Listrik Tenaga Uap ini, menurut Bhima, sangat mungkin dilakukan terlebih karena adanya over supply produksi listrik di Jawa dan Bali.
Sementara itu, pengamat ketenagakerjaan Universitas Airlangga (Unair) Hadi Subhan menilai kebijakan WFH harus dievaluasi secara menyeluruh. Pasalnya, tidak semua sektor industri dan jenis pekerjaan bisa selesai dengan pola WFH. “Kalau semua WFH jadi kontraproduktif, menyelesaikan masalah dengan masalah lain. Itu merugikan pengusaha dan pekerja,” katanya kepada Alinea.id, Rabu (30/8).
Bagi perusahaan, tambahnya, tentu akan terbebani risiko produktivitas karyawan yang menurun namun harus tetap harus memberi upah. Sementara bagi pekerja, terutama yang diupah secara harian bisa terancam tidak dibayar. “Ini menimbulkan pengangguran terselubung,” cetusnya.
Menurutnya, kebijakan WFH saat ini tidak bisa disamakan pada era pandemi. Kala itu, demi keselamatan setiap orang, WFH mutlak dilakukan bahkan bagi yang bekerja maupun tidak. Sementara saat ini, kebijakan WFH tidak bisa dipukul rata dan harus bergantung pada jenis bisnis dan kebijakan masing-masing perusahaan.
“Kalau sektor jasa pasti enggak mungkin. Contoh mal, enggak mungkin WFH wong jualan dan jasa-jasa lain seperti cleaning service. Tentu ada yang bisa di WFH seperti accounting dan administrasi,” bebernya.
Bukan solusi
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto mengatakan penerapan sistem work from home (WFH) yang dilakukan instansi pemerintah pusat dan daerah di wilayah DKI Jakarta merupakan solusi singkat namun tidak efektif untuk menanggulangi polusi udara di wilayah Jakarta.
”Perlu dilakukan juga penanganan di sektor hulu dan hilir yang memberikan efek dampak panjang terhadap penanganan polusi,” ujar Hery di Kantor Ombudsman RI, Jumat (25/8).
Hery menyampaikan, perlunya kebijakan pembatasan kuota BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar. Karena jenis ini menyumbang emisi karbon monoksida yang cukup tinggi. Sehingga masyarakat terutama ASN menjadi teladan untuk menggunakan BBM non subsidi maupun kendaraan listrik.
Sementara, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat merekomendasikan beberapa hal untuk tangani solusi Jakarta. Pertama, peningkatan kualitas transportasi publik, tidak hanya frekuensi tapi juga kenyamanan dan aksesibilitas.
Kedua, jam kerja bergelombang dengan diversifikasi jam masuk kerja untuk menghindari kemacetan di jam sibuk. Ketiga, edukasi dan promosi transportasi publik melalui kampanye besar-besaran untuk meningkatkan kesadaran publik. Lalu keempat, infrastruktur ramah pejalan kaki dan sepeda yakni memperluas trotoar dan menyediakan jalur sepeda khusus.
Kelima, subsidi transportasi publik. “Model Singapura bisa menjadi contoh, memberikan subsidi untuk meringankan beban komuter,” sebut CEO Narasi Institute ini.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Wita Krisanti menilai saat pandemi WFH memang tidak terelakkan demi pembatasan sosial. Meski demikian, kalangan dunia bisnis juga keberatan dengan kebijakan tersebut kala itu.
“Kalau ditutup sama sekali berarti kan enggak ada kegiatan produksi sama sekali. Artinya ekonominya sendiri berhenti, mandeg. Sebetulnya impact juga ke konsumen karena mereka enggak dapat suplai,” katanya kepada Alinea.id, Kamis (31/8).
Lebih dari itu, banyak pula pekerjaan yang memang tidak bisa diselesaikan jarak jauh seperti pada sektor manufaktur. Karenanya dia menekankan, kebijakan ini sangat bergantung pada jenis industri dan kepentingan perusahaan itu sendiri.
Adapun saat ini WFH demi kelancaran lalu lintas dan solusi polusi tidaklah tepat. Dia menilai sebelum memutuskan kebijakan WFH, sebaiknya pemerintah mencari akar masalah terlebih dahulu. “WFH kebijakan bagus tapi bukan jawaban dari semua permasalahan, solusi lalu lintas macet dan polusi bukan WFH,” tandasnya.
Dia mengakui sebelum pandemi pun sudah ada perusahaan yang menerapkan flexible working arrangement. Tujuannya, tak lain untuk meningkatkan hubungan dengan karyawan, retensi karyawan, dan menarik talenta-talenta yang lebih fokus pada kemampuan tertentu. “Ya mungkin sekarang jangan WFH istilahnya, tapi flexible working arrangement-lah,” ujarnya.
Dengan kebijakan kerja fleksibel ini, tidak harus bekerja dalam jam kantor yang strict misalnya dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Namun, karyawan harus siap sedia dihubungi karena kebijakan ini bukan berarti karyawan cuti atau lepas tanggung jawab. Kebijakan ini harus dimaknai seragam baik oleh perusahaan maupun karyawan.
“Perusahaan ketika menerapkan ini tujuannya apa dan apa yang harus disiapkan dan pekerja perlu paham tujuan flexible working ini apa dan apa yg hrs dihasilkan/dijaga,” tambahnya.
IBCWE sendiri pernah mengkaji dampak WFH kala pandemi terhadap produktivitas karyawan. Hasilnya cukup beragam yakni, karyawan merasa lebih produktif, mempunyai waktu lebih untuk keluarga, dan ada pula yang justru memiliki beban lebih banyak. “Perempuan banyak yang bilang bekerja dari rumah bebannya jadi lebih banyak, kerjaan rumah tangga tetap berat di tangan perempuan,” tambahnya.