Survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan, pola distribusi dan penyimpanan produk air minum dalam kemasan (AMDK) di Jabodetabek pada Februari 2022 tak memenuhi standar keamanan.
Dalam riset tersebut dijelaskan, sebanyak 204 toko (61%) toko melakukan pengangkutan AMDK menggunakan angkutan/truk terbuka, 81 toko (24%) memakai roda dua/tiga ataupun becak terbuka, dan lima toko (1%) menggunakan mobil/truk yang ditutup terpal. Hanya 42 toko (13%) yang menggunakan truk/mobil tertutup.
"Dengan proses pengiriman/pengangkutan yang seperti itu, maka pola pengangkutan produk AMDK tidak memenuhi standar dan berpotensi terpapar sinar matahari menjadi sangat besar," ucap Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (20/3).
Menurutnya, penjual mestinya menyadari pentingnya menyimpan produk AMDK agar terhindar dari sinar matahari. Sayangnya, sebanyak 152 toko (45%) justru menyimpan galon isi ulang di luar kios sehingga berisiko terpapar sinar matahari dan produk di 46 toko (14%) terpapar matahari langsung. Hanya 136 toko (41%) yang menyimpan dengan aman dari paparan sinar matahari.
Bahkan, survei LYKI mendapati sebanyak produk AMDK di 17 toko (5%) terpapar benda berbau tajam dan di 317 toko (95%) lainnya sebaliknya. "Angka 5% ini, yang terpapar benda berbau tajam, tidak boleh disepelekan karena menyangkut keamanan dan kesehatan dari penggunanya," tegasnya.
Tulus mengingatkan, pola pengangkutan dan penyimpanan yang tidak benar karena terpapar sinar matahari berpeluang merusak kualitas produk dan menimbulkan migrasi polutan tertentu, termasuk unsur BPA (Bisphenol-A). Apalagi, produk AMDK menjadi kebutuhan vital, khususnya bagi masyarakat perkotaan.
Dirinya berpendapat, pola penyimpanan dan distribusi demikian terjadi karea penjual AMDK tak diedukasi dari produsen (227 toko atau 83%) maupun asosiasi produsen (333 toko atau 99,7%). Hanya 222 responden (52%) mengetahui pola penyimpanan yang benar karena mendapatkan informasi secara mandiri dengan membaca label. Karenanya, 290 toko (63%) merasa perlu diedukasi karena menjadi kewajiban industri.
"Harus ada upaya untuk melakukan post-market control, baik oleh regulator, industri, asosiasi industri, dan bahkan masyarakat," tandas Tulus.
Survei ini melibatkan 115 warung (34%), 89 minimarket (27%), 79 agen (24%), dan 51 supermarket (15%). Adapun orang yang disurvei adalah 162 karyawan (49%), 145 pemilik (43 %), dan 27 manajer (8%).