Pengusutan kasus dugaan korupsi dana hibah pariwisata Sleman 2020 sebesar Rp10 miliar dinilai jalan ditempat. Pangkalnya, belum ada satu pihak pun yang menjadi tersangka sejak Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman memutuskan kasus naik ke tahap penyidikan pada April 2023.
Selain itu, sudah sekitar 70 orang diperiksa sebagai saksi bahkan dilakukan gelar perkara di Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kejati DIY), tetapi masih nihil. Karenanya, Jogja Corruption Watch (JCW) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penanganan kasus tersebut dari Kejari Sleman.
"Penanganan perkara ini oleh Kejaksaan Negeri Sleman sudah 1 tahun lebih lamanya. Meskipun perkara ini memasuki tahap penyidikan, namun Kejari Sleman belum juga menetapkan satu pun tersangka dalam perkara ini," tutur aktivis JCW, Baharuddin Kamba, kepada Alinea.id baru-baru ini.
Menurutnya, KPK sudah bisa mengambil alih kasus tersebut dari Kejari Sleman. Alasannya, dua persyaratan telah terpenuhi: penanganan berlarut-larut dan perkara menjadi atensi publik.
"Tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak mengambil alih kasus dana hibah pariwisata Kabupaten Sleman ini," tegasnya. JCW juga telah menghubungi KPK tentang aspirasi tersebut dan segera melayangkan surat fisik via pos.
JCW juga mendorong Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung (Jamwas Kejagung) melakukan pengawasan terhadap Kejari Sleman dalam penanganan kasus dugaan korupsi dana hibah pariwisata agar segera rampung. "Harus ada target suatu perkara, misalnya korupsi harus segera dilimpahkan ke pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi)."
Awal mula kasus
Kasus bermula dari dana hibah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sebesar Rp68 miliar kepada Dinas Pariwisata (Dispar) Sleman pada 2020. Sebanyak Rp49,711 miliar di antaranya ditransfer dari kas negara ke kas daerah.
Anggaran ditransfer dua tahap dan disalurkan kepada pelaku wisata, baik kelompok desa wisata maupun objek wisata, di "Bumi Sembada" agar bangkit saat pandemi Covid-19. Ada 244 kelompok penerima hibah setotal Rp17,1 miliar. Hibah juga dikucurkan kepada 92 hotel dan 45 restoran senilai Rp27,5 miliar.
Kemudian, sosialisasi dan implementasi program CHSE, dukungan revitalisasi sarana dan prasarana (sapras) kebersihan, keindahan dan keamanan, serta pengawasan penerapan protokol kesehatan (prokes) untuk 40 usaha jasa pariwisata senilai Rp177,9 juta. Lalu, Rp921,3 juta (1,5%) dari total hibah dipakai untuk operasional dan reviu aparat pengawas internal pemerintah (APIP).
Namun, ungkap Baharuddin, anggaran yang diterima pelaku wisata lebih rendah dari rencana semula. Selisihnya sekitar Rp10 miliar.
"Yang tertulis dalam laporan pertanggungjawaban berbeda dengan kenyataan yang ada di lapangan atau yang diterima oleh para pelaku pariwisata dan desa wisata. [Sehingga] ada dugaan korupsi pada kasus dana hibah pariwisata Kabupaten Sleman," jelasnya.
Baharuddin berpandangan, mestinya penanganan kasus ini bisa cepat apabila Kejari Sleman serius. Baginya, menunggu perhitungan kerugian negara dalam perkara tersebut dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DIY pun tidak perlu berlarut-larut. "Tinggal dikomunikasikan atau tidak."
"Sebenarnya, pihak Kejari Sleman dapat melakukan perhitungan kerugian negara secara internal tanpa harus melibatkan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)/BPKP," sambungnya.
Sayangnya, penanganan kasus terkesan lamban. Baharuddin pun mempertanyakan alasan Kejari Sleman menunda-nundanya pengumuman tersangka.
"Jangan-jangan pihak Kejari Sleman ragu menutaskan perkara ini karena musim Pemilu (Pemilihan Umum) 2024. Tapi, itu bukan alasan karena kasus yang ditangani pihak Kejagung RI, misalnya, tetap berjalan tanpa melihat ini musim pemilu atau tidak," terangnya.
Saat Alinea.id mencoba meminta klarifikasi, Kepala Seksi Pidanan Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Sleman, Ko Triskie Narendra, tidak merespons pesan yang dikirimkan. Pun demikian kala ditelepon, ia tidak mengangkatnya.
Namun, berdasarkan keterangannya sebelumnya pada akhir Desember 2023, Kejari Sleman memastikan pengusutan kasus dugaan korupsi dana hibah pariwisata terus berlanjut. Bahkan, tengah menunggu hasil penghitungan kerugian negara oleh BPKP dan meminta keterangan ahli sebagai tambahan alat bukti.
"Penanganan perkara [dana hibah pariwisata] masih berlanjut. Ini masih menunggu kesimpulan dari BPKP dan meminta keterangan ahli," klaim Kepala Kejari (Kajari) Sleman, Widagdo, kala itu.
"Setelah kesimpulan dari BPKP, keterangan ahli, keterangan saksi-saksi, dan dokumen-dokumen serta alat bukti, nanti akan kita tempuh langkah selanjutnya," imbuhnya.
Disupervisi Kejati DIY
Kejati DIY pun melakukan supervisi terhadap kasus ini melalui penugasan Asisten Pengawasan (Aswas) sebagai Plt. Kajari Sleman. Kepala Kejati (Kajati) DIY, Ponco Hartanto, juga meminta Kejari Sleman melakukan penyidikan secara klaster terlebih dahulu.
"Sudah tak sampaikan untuk diperiksa atau disidik secara klaster dulu. Mana yang berperan dan yang cukup bukti, itu dulu yang diangkat," terangnya, 2 Januari 2024.
Menurutnya, strategu penyidikan secara klaster akan membuka tabir kasus menjadi terang benderang secara bertahap. Jika dilakukan secara global, maka penyidik akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya.
"Saya minta untuk mana yang berperan aktif dan inisiatif dulu yang diangkat. Terkait kerugian negaranya, belum bisa diketahui karena baru setelah Plt. Kejari Sleman duduk di sana, langsung saya perintahkan dulu untuk mencoba direviu ulang penyidikannya," bebernya.