RUU DKJ: Dewan Kawasan Aglomerasi juga perlu concern isu kebudayaan
Adanya klausul Dewan Kawasan Aglomerasi dalam Pasal 51 Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) juga menjadi sorotan selain wacana gubernur dan wakil gubernur (wagub) ditunjuk presiden. Sebab, organisasi tersebut bakal dipimpin wakil presiden (wapres) serta beranggotakan menteri koordinator (menko) dan menteri terkait.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnanvian, menyampaikan, adanya representasi pemerintah pusat dalam Dewan Kawasan Aglomerasi lantaran lingkup kerjanya kompleks. Utamanya penataan ruang kawasan strategis nasional dan perencanaan pembangunan.
"Aglomerasi perlu dilakukan sinkronisasi harmonisasi," ujarnya di Jakarta, Selasa (19/12). Kawasan aglomerasi mencakup Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur).
Tito melanjutkan, Dewan Kawasan Aglomerasi nantinya tidak bertugas sebagai pelaksana program (eksekutor), tetapi hanya mensinkronisasi. Ini seperti Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP), yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 106 Tahun 2021.
"Dia tidak eksekusi, hanya sinkronisasi program dalam masalah ekonomi, kesehatan, banjir, dan lainnya. Eksekusinya hanya oleh kepala daerahnya saja. Apakah Wapres tugasnya tinggi mutlak? Tidak karena ujungnya tetap lapor kepada presiden," tuturnya.
Pemajuan budaya Betawi
Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Beky Mardani, tidak mempersoalkan masalah ini. Namun, ia meminta Dewan Kawasan Aglomerasi tidak hanya berkutat pada urusan ekonomi. LKB adalah lembaga mitra Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam bidang pelestarian dan pengembangan budaya Betawi dengan anggota ratusan sanggar.
"[Kebijakan] aglomerasi harus mencakup semua aspek, bukan hanya ekonomi. Artinya, ada wilayah, penduduk/warga, dan budaya di dalamnya. Dalam konteks ini, menyangkut wilayah budaya Betawi yang selama ini sudah tidak dibatasi oleh batas-batas administratif," ucapnya kepada Alinea.id, Kamis (21/12).
Wilayah budaya Betawi, ungkapnya, sudah berkembang di daerah sekitar Jakarta. Di timur, misalnya, tumbuh di Karawang, Cibinong bahkan Bogor untuk selatan, serta di barat menjalar hingga Tangerang.
"Wilayah-wilayah tersebut selain banyak orang berbudaya Betawi, juga migrasi yang belakangan terjadi dari Jakarta ke sana. Karena itu, sudah sewajarnya aspek budaya menjadi perhatian. Secara de facto, yang berada di wilayah Bodetabekjur banyak yang berbudaya Betawi," jelasnya.
Ketua Palang Merah Indonesia Jakarta Barat (PMI Jakbar) ini mengingatkan, pelestarian dan pemajuan kebudayaan Betawi adalah keharusan karena Indonesia adalah bangsa yang berbudaya. Sayangnya, perhatian pemerintah belum maksimal. Dicontohkannya dengan belum adanya ruang ekspresi.
"Apakah sudah ada gedung atau tempat pertunjukkan untuk pementasan budaya Betawi? Belum ada. Di provinsi saja tidak ada, apalagi di wilayah," katanya.
Pun demikian dengan kelembagaan, belum ada satu pun institusi, termasuk pendidikan, yang fokus melestarikan dan memajukan kebudayaan Betawi. Alokasi anggaran dan kegiatan juga masih minim.
"Kalau di Bali punya [acara] Pesta Kesenian Bali [dan dilaksanakan selama] sebulan penuh. Ada enggak di Jakarta yang diselenggara oleh Dinas Kebudayaan? Enggak ada," tegasnya.
Secara nasional, lanjut Beky, kebudayaan Betawi ada di peringkat 15 dari 34 provinsi pada 2022. Ini berdasarkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) yang disusun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
IPK disusun sebagai salah satu instrumen yang menggambarkan kemajuan pembangunan kebudayaan. IPK disusun dengan melibatkan 7 variabel: ekonomi budaya, pendidikan, ketahanan sosial budaya, warisan budaya, ekspresi budaya, budaya literasi, dan gender.
"Makanya, dengan [dimasukkan dalam] UU baru ini dan nanti tertuang dalam perda (peraturan daerah), arah pemajuan budaya Betawi makin jelas. Dinas kebudayaan daerah lain, kan, pasti memperhatikan kebudayaan lokalnya. Tapi, sebetulnya kita tidak menuntut ekstrem begitu. Kita berharap seenggaknya proporsional karena kita sadar Jakarta jadi melting pot," urainya.
Selain itu, Beky juga mendorong ada perwakilan akademisi dan tokoh masyarakat dalam keanggotaan Dewan Aglomerasi. Tujuannya, aspirasi masyarakat didengar dan harmonisasi terlaksana dengan baik sehingga kebijakan yang nantinya dilakukan pemerintah daerah (pemda) tidak bersifat dari atas ke bawah (top down).
Ia pun berharap banyak dengan penyusunan RUU DKJ. "Revisi UU Jakarta menjadi momentun untuk melihat kembali dari sisi regulasi karena pemerintah diperintah oleh undang-undang."
Jadi persoalan krusial
Pernyataan senada diutarakan Kepala Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Usni Hasanudin. Menurutnya, tugas Dewan Kawasan Aglomerasi yang fokus mengurus ekonomi bakal menjadi masalah di kemudian hari.
"Akan menjadi salah satu persoalan krusial ke depannya jika kawasan aglomerasi dalam konteks perencanaan wilayah yang menyatukan satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional berskala global tidak mengaitkan pada konteks budaya. Ini akan mengakibatkan pergeseran nilai yang sangat merugikan Indonesia sebagai negara dengan suku bangsa yang beragam," tegasnya.
"Berbeda kalau seandainya hanya fungsi ekonomi nasional yang dicabut atau dipindahkan, Jakarta tidak akan serumit ini dalam perubahan RUU Jakarta," sambung pengurus Kaukus Muda Betawi itu kepada Alinea.id.
Usni mengingatkan, Jakarta menjadi episentrum Indonesia sejak pra-kemerdekaan. Bahkan, memiliki 5 fungsi yang saling bertalian, yakni ekonomi, sejarah, sosial budaya, politik, hingga pemerintahan dan administratif.
Ia melanjutkan, dari aspek demograsi, populasi suku Betawi yang menduduki wilayah Jakarta mencapai 6.807.968 juta jiwa atau setara 2,88% penduduk Indonesia. Sebanyak 2.301.587 jiwa (27,56%) di antaranya tinggal di Jakarta, sedangkan sisanya bermukim di Bodetabekjur.
"Oleh karena itu, perlu dimasukkan kepentingan budaya Betawi sebagi supporting dari aglomerasi ekonomi. Sehingga, menciptakan integrasi aglomerasi ekonomi dan budaya," urainya.
Usni meyakini keberadaan klausul aglomerasi kebudayaan Betawi dalam RUU DKJ juga dapat mempertahankan nilai, adat, dan budaya ketika ekonomi global terwujud. Alasannya, IPK di Jakarta dalam dimensi ekspresi budaya masih rendah (15%) lantaran minimnya ruang terbuka untuk memajukan kebudayaan Betawi dan lainnya.
"Aglomerasi budaya menjadi penting. Bukan saja di kawasan, sebagaimana dalam RUU DKJ, melainkan di setiap kecamatan yang ada di Jakarta memerlukan aglomerasi budaya untuk mengangkat indeks pembangunan budaya," terangnya.
"Aglomerasi budaya juga dapat dimaksimalkan untuk menjaga pertumbuhan populasi masyarakat Betawi yang pada akhirnya akan menjadi satu kesatuan budaya ekonomi untuk menopang aglomerasi ekonomi," sambung Direktur Demos Institute ini.
Manfaat berikutnya, ungkap Usni, mendorong pelaku seni dan budaya mengembangkan pemajuan kebudayaan Betawi. "Karena aglomerasi budaya nantinya menciptakan daya tarik wisatawan ketika pelaku budaya diberikan ruang ekspresi, seperti halnya di Bali."