Ombudsman RI menyebut Badan Pengusahaan (BP) Batam tidak menguasai lahan di Pulau Rempang. Pangkalnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga kini belum menerbitkan sertifikat hal pengelolaan lahan (HPL) lantaran masih dikuasai masyarakat.
BP Batam membantah pernyataan tersebut. Sekalipun tidak memiliki HPL, instansi pusat yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 ini mengklaim, lahan Pulau Rempang dan Pulau Galang otomatis dikuasainya karena masuk dalam wilayah kerja.
"Karena kawasan tersebut masuk wilayah kerja BP Batam, sehingga HPL Pulau Rempang berada di BP Batam," ucap Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, dalam keterangannya, Kamis (5/10).
Ia beralasan, penguasaan Pulau Rempang dan Galang di bawah BP Batam berlangsung sejak optimalisasi Batam menjadi kawasan industri dengan pembentukan Otorita Batam melalui Keputusan Presiden/Keppres Nomor 41 Tahun 1973. Di dalam keppres tersebut memuat seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan hak pengelolaan kepada Otorita Batam, yang berubah menjadi BP Batam pada 2007.
Ariastuty menambahkan, wilayah kerja Otorita Batam atau BP Batam ditambah Pulau Rempang dan Pulau Galang seiring terbitnya Keppres 28/1992. Karenanya, BP Batam membangun 6 jembatan senilai Rp400 miliar yang menghubungkan Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru pada 1992-1998.
"Berdasarkan Keppres 28 tahun 1992, itu sudah jelas bahwa wilayah kerja BP Batam tidak hanya di Batam saja, tapi sampai ke wilayah Rempang dan Galang," ujarnya.
Dirinya sesumbar penguasaan Pulau Rempang dan Pulau Galang oleh BP Batam diperkuat dengan terbitnya PP 5/2011. Di dalamnya memuat kawasan perdagangan dan pelabuhan Bebas Batam mencakup Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, Pulau Janda Berhias, dan gugusannya.
Karenanya, Aristuty berpendapat, investor yang ingin berusaha di Pulau Rempang dan Galang harus mengantongi sertifikat HPL dari BPN. Kemudian, BP Batam menerbitkan penetapan lokasi (PL) dan selanjutnya diserahkan kepada pengusaha.
"[Investor] harus mengajukan ke BP Batam karena investor mendapatkan pengalokasian di atas lahan HPL BP Batam. Untuk prosesnya, sama seperti mengajukan alokasi lahan di Batam," katanya.
Diketahui, ribuan masyarakat adat Pulau Rempang, yang menghuni di 16 Kampung Melayu Tua, menolak pembangunan Rempang Eco City. Sebab, proyek strategis nasional (PSN) yang digarap taipan Tomy Winata melalui anak perusahaan PT Artha Graha, PT Makmur Elok Graha (MEG), itu mengancam ruang hidup yang dihuni sejak 1843.
Konflik pun pecah antara aparat yang hendak melakukan pengukuran lahan dengan masyarakat, Kamis (7/9). Warga menolak upaya tersebut dengan berbaris di depan Jembatan 4 Balerang.
Masyarakat lantas menghujani aparat yang mendekat dan merangsek masuk ke kampung dengan lemparan batu. Polri dkk lalu membalas dengan menyiramkan water cannon dan menembakkan gas air mata ke arah peserta aksi.
Beberapa hari kemudian, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, mendatangi Pulau Rempang untuk menyelesaikan masalah ini. Ia lantas memaparkan beberapa kebijakan pemerintah, seperti menyiapkan uang ganti rugi kepada warga terdampak.
Bahlil menerangkan, masyarakat yang rumahnya terdampak investasi Rempang Eco City bakal dibangunkan kembali di tempat relokasi. Selain itu, menerima uang transisi dan uang kontrak rumah.
"Kalau 1 kartu keluarga ada 4 orang, maka dia mendapat uang transisi Rp4,8 juta dan uang kontrak Rp1,2 juta. Jadi, total Rp6 juta," ucapnya.
BP Batam, sambungnya, juga akan mengganti kerugian atas tanaman dan keramba warga terdampak. Namun, ia tidak memerinci besarannya karena disesuaikan dengan kemampuan BP Batam.
Setidaknya 5 kampung yang terdampak megaproyek Rempang Eco City bakal digusur ke Tanjung Banon. Jaraknya sekitar 3 km dari tempat asal.