Gina Haspel, direktur perempuan pertama CIA menjelaskan, pihaknya tengah berupaya untuk memperluas kehadirannya di seluruh dunia untuk menghilangkan apa yang disebutnya 'celah intelijen' dan menyikapi ancaman yang berkembang dari sejumlah kekuatan besar seperti Rusia dan China.
Pada hari Senin (24/9), Haspel menyebutkan telah terjadi peralihan dari kontraterorisme ke spionase yang lebih tradisional terhadap negara prioritas strategis. Kebutuhan untuk mendapatkan intelijen yang lebih baik di negara rival AS saat ini maupun yang potensial adalah salah satu persoalan paling sulit yang dihadapi lembaga pimpinannya.
"Kami mempertajam fokus kami pada lawan," ujar Haspel saat berbicara di almamaternya di University of Louisville. Ini merupakan penampilan publik pertamanya sejak dilantik sebagai direktur CIA pada Mei lalu.
Haspel juga mengatakan, CIA akan meningkatkan jumlah petugas yang ditugaskan di luar negeri.
"Memiliki tapak asing yang lebih besar memungkinkan postur yang kuat," ucap Haspel.
Sebagai bagian dari kebutuhan tersebut, Haspel mengatakan bahwa CIA berharap merekrut lebih banyak orang yang fasih berbahasa China, Arab, Persia, Turki, Perancis, dan Spanyol.
Haspel juga mengatakan bahwa agen mata-mata CIA bekerja lebih erat dibanding sebelumnya dengan sekutu AS di seluruh dunia.
Komentar Haspel mencerminkan prioritas yang ditetapkan dalam Strategi Keamanan Nasional AS yang lebih luas pada akhir tahun lalu, yang menyerukan untuk mengimbangi berbagai langkah musuh untuk menggeser keseimbangan kekuatan global dengan cara yang tidak menguntungkan bagi AS.
Direktur CIA tersebut menyuarakan kekhawatiran khusus terkait China, yang menurutnya berupaya untuk mengurangi pengaruh AS dalam rangka memajukan tujuan mereka sendiri.
"Kami memantau sangat dekat apa yang tampaknya adalah upaya untuk memperluas pengaruh mereka di luar wilayah mereka sendiri, di sejumlah tempat seperti Afrika, Amerika Latin, pulau-pulau Pasifik, dan Asia Selatan," ungkap Haspel.
Dia melanjutkan, "Kami prihatin dengan sejumlah taktik yang mereka gunakan, menawarkan negara-negara miskin investasi dan pinjaman yang mungkin tidak dapat mereka bayar kembali. Kami ingin negara-negara itu sadar akan kedaulatan mereka dan bagaimana investasi asing dalam pembangunan dan infrastruktur keamanan nasional mereka pada akhirnya dapat membahayakan kedaulatan mereka."
Prioritas lain yang juga disinggung Haspel adalah saat dirinya masuk ke CIA pada akhir 1980-an, badan intelijen itu sepenuhnya didominasi laki-laki.
"Seharusnya tidaklah mengherankan bahwa salah satu prioritas utama saya sejak menjadi direktur adalah memenangkan keberagaman dan inklusi. Misi global kami di CIA menuntut kami merekrut dan mempertahankan warga AS terbaik dan paling gemilag, tanpa membedakan jenis kelamin, ras atau latar belakang budaya," jelas wanita berusia 61 tahun itu.
Haspel menyatakan bahwa CIA akan berinvestasi lebih banyak dalam perang antinarkoba di luar negeri. Dia menyebut epidemi opioid sebagai ancaman yang telah membunuh lebih banyak orang Amerika dibanding kelompok teroris mana pun.
Bicara soal Iran, Haspel menekankan bahwa jumlah uang yang terus dibelanjakan Teheran untuk menopang rezim Presiden Bashar al-Assad, memperluas pengaruhnya di Irak, dan mendukung Houthi di Yaman mengejutkan, mengingat kondisi ekonomi negara itu.
"Kami sedang mengawasi dengan sangat dekat, aktivitas merusak Iran di kawasan. Dan kami ingin memerangi aktivitas tersebut, sehingga negara-negara itu dapat menentukan jalan mereka sendiri," kata Haspel.
Haspel pun berkomitmen soal transparansi CIA. "Tidak ada yang lebih penting bagi kami di CIA dibanding kewajiban kami untuk mendapatkan kepercayaan dari rakyat AS. Tidak ada agen intelijen besar lain di dunia yang tunduk pada otoritas pengawasan yang komprehensif seperti yang kita miliki."
"CIA memiliki tenaga kerja yang sangat tangguh dan kami cenderung sangat berfokus pada misi," papar Haspel. "Kami cenderung tidak memperhatikan keributan politik di ibu kota." (VOA)