Mandatory Consular Notification (MCN) menjadi perbincangan menyusul eksekusi mati tanpa notifikasi terhadap TKI asal Majalengka Tuti Tursilawati di Arab Saudi.
Pasca-eksekusi mati Tuti, Indonesia semakin mendesak Arab Saudi untuk menandatangani MCN, yang nantinya akan mengikat Riyadh dalam sebuah perjanjian bilateral.
Kesepakatan MCN mewajibkan tuan rumah memberi tahu perwakilan negara sesegera mungkin jika ada warga negara yang bersangkutan terjerat kasus hukum.
"Dari awal ketika dia masuk ke kasus, kita sudah diberi notifikasi," jelas Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal di Kemenlu, Jakarta, Rabu (31/10).
Terkadang pihak perwakilan baru diberi tahu saat warga negaranya sudah di pengadilan dengan berkas pemeriksaan yang sudah rampung. Sedangkan, kalau mendapat notifikasi dari awal maka perwakilan negara yang bersangkutan dapat langsung memberikan pendampingan sejak proses hukum dimulai.
Iqbal menilai pendampingan pada proses investigasi krusial dan lebih efektif untuk mengumpulkan semua data dan menjaga barang bukti. Pendampingan yang diberi dapat berupa penerjemah dari staff lokal KBRI yang juga membantu pada proses pemberkasan.
Notifikasi ini dinilai penting dilakukan dalam Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Kekonsuleran. Meski begitu, dalam konvensi tersebut, notifikasi yang dibahas bersifat tidak wajib dan hanya berupa norm-setting.
Sekadar informasi, MCN dapat terkecuali dalam dua kondisi. Pertama, jika notifikasi tersebut bertentangan dengan hukum nasional, dan kalau WN yang terjerat hukum menolak perwakilannya diberi notifikasi.
Sejauh ini, Indonesia telah memiliki MCN dengan Australia, Filipina, dan Brunei Darussalam. Melalui kesepakatan ini, Indonesia akan diberi notifikasi jika ada WNI yang menghadapi masalah di ketiga negara tersebut dan begitu juga sebaliknya.
Selain dengan tiga negara di atas, Indonesia tengah menjajaki MCN dengan negara-negara Timur Tengah dengan mempertimbangkan adanya perbedaan sistem hukum yang membuat WNI rentan menghadapi masalah hukum di sana.
"Bahasanya beda, kulturnya beda, sistem hukumnya berbeda. Kalau di negara-negara Asia most likely dia tahu responsnya atau apa yang harus dilakukan, di sana (negara Timur Tengah) kan susah," tutur Iqbal.
Iqbal memaparkan, berdasarkan tingkat kebutuhannya, MCN di negara-negara Timur Tengah juga dibutuhkan karena mayoritas WNI yang berada di sana merupakan kelompok rentan yang menyandang status pekerja informal.
Selain negara-negara yang sudah disebutkan, Indonesia juga sedang dalam proses kesepakatan MCN dengan Malaysia. Namun, akibat banyaknya WNI yang menetap di Negeri Jiran, pemerintah Malaysia sempat keberatan dengan kesepakatan ini.
"Jumlah WNI kita di Malaysia itu 10% dari jumlah WN Malaysia, dan 5% dari jumlah WNI di Malaysia, itu ilegal. Bayangkan kalau itu semua harus diberi notifikasi, apa tidak capek pemerintah Malaysia?," jelasnya.
Menindaklanjuti hal ini, pada saat bertemu dengan perwakilan Malaysia di Komisi Bersama untuk Kerja Sama Bilateral (JCBC) ke-15, Iqbal mengusulkan untuk membuat MCN on Serious Crimes. Serious crime sendiri sudah didefinisikan dalam Konvensi Palermo sebagai Kejahatan Transnasional Terorganisir dengan tuntutan hukum empat tahun atau lebih.
Mengejar momentum dari eksekusi Tuti
Tuti ditangkap pada tahun 2010 karena dituduh melakukan pembunuhan berencana terhadap ayah dari majikannya. Setahun setelahnya, kasus Tuti berstatus inkracht (hukum tetap) oleh pengadilan dan diputuskan untuk dijatuhi hukuman mati atas kejahatan had ghilah atau kejahatan yang tidak bisa dimaafkan baik oleh raja Arab Saudi, maupun oleh pihak ahli waris korban.
Hukuman pancung telah dilakukan pada Tuti di Thaif, Arab Saudi, pada Senin (29/10) lalu. Pemerintah Indonesia mengkritik keras tindakan Arab Saudi yang melaksanakan hukuman ini tanpa memberi pemberitahuan kepada perwakilan negara baik melalui KBRI Riyadh maupun KJRI Jeddah.
Untuk mencegah hal serupa terjadi, Indonesia mengutamakan percepatan terjalinnya MCN dengan Arab Saudi.
Usulan MCN ini telah dibahas oleh Menlu RI Retno Marsudi dan disambut baik oleh Menlu Arab Saudi Adel al-Jubeir saat keduanya bertemu di Jakarta pada 23 Oktober 2018.
Kendati demikian, Arab Saudi memang tidak memiliki dasar hukum yang mewajibkan mereka memberikan notifikasi pada pemerintah terkait jika ada warga negara yang terlilit hukum di Arab Saudi.
"Sudah disampaikan secara resmi dalam pertemuan bilateral. Tapi itu tadi, buat Indonesia mudah, karena kita bisa buat MCN. Tapi buat Arab Saudi enggak mudah karena MCN dengan negara mana pun belum ada," ungkap Iqbal.
Atas tindakan tanpa notifikasi ini, Menlu Retno menyampaikan protesnya kepada Menlu Arab Saudi. Selain itu, pada Selasa (30/10), Menlu Retno juga telah memanggil duta besar Arab Saudi untuk Indonesia untuk menyatakan kekecewaannya secara langsung.
Protes dari Menlu Retno ini, lanjut Iqbal, didengungkan guna menciptakan momentum berupa tekanan tambahan sehingga pihak Arab Saudi mempertimbangkan lebih serius usulan MCN dari Indonesia. Momentum yang sama pun dapat digunakan Arab Saudi untuk melakukan perubahan internal.
"Karena ketika birokrasi itu jadi culture, susah sekali mengubahnya. Kita jadikan ini momentum bagi mereka juga," tutup Iqbal.
Selain Tuti, tersisa 13 WNI lainnya yang terjerat kasus pidana mati. Menurut Iqbal, pemerintah fokus memastikan pemenuhan hak-hak hukum mereka seperti hak untuk memberikan pembelaan diri, hak untuk mendapatkan penerjemah, dan hak untuk mendapatkan fair trial.