Pada Rabu (21/11) Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis mengumumkan bahwa polisi militer yang ditempatkan di perbatasan AS dan Meksiko tidak bersenjata. Selain itu, mereka juga tidak diberi kuasa untuk menangkap migran.
"Mereka tidak memiliki senjata di tangan, tidak ada elemen bersenjata yang masuk," jelas Mattis pada wartawan.
Mattis lebih lanjut menjelaskan, penempatan pasukan di sepanjang perbatasan AS-Meksiko bertujuan untuk membantu melindungi petugas perbatasan dari kemungkinan ancaman.
Orang nomor satu di Pentagon itu menambahkan, Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS tidak meminta prajurit untuk menggunakan kekuatan mematikan.
"Tenang, jangan khawatir," tambah Mattis.
Menurutnya, pasukan yang hanya bersenjata pentungan dan tameng, dapat diberikan kekuasaan untuk menahan migran selama beberapa menit. Tetapi prajurit tidak memiliki otoritas untuk menangkap mereka.
"Jika ada yang memukuli petugas perbatasan dan jika kami dalam posisi harus bertindak tentang itu, kami bisa menghentikan pelaku dan mengantarkannya ke petugas perbatasan yang kemudian akan menangkap pelaku," katanya.
Kafilah yang terdiri dari sekitar 3.000 migran Amerika Tengah telah tiba di kota perbatasan Meksiko, Tijuana. Mereka melarikan diri dari penganiayaan, kemiskinan, dan kekerasan yang ada di negara asal mereka, yakni Honduras, Guatemala, dan El Salvador.
Donald Trump mendeskripsikan kedatangan kafilah ini sebagai "invasi" dan dia telah memerintahkan pengiriman 5.800 prajurit ke perbatasan selatan AS untuk "memperkuatnya".
Awal pekan ini, seorang hakim AS memblokir perintah yang dikeluarkan Trump untuk menolak kemungkinan penyediaan suaka bagi para migran yang melintasi perbatasan secara ilegal.
Harapan baru di Amerika Serikat
Para migran mengatakan mereka meninggalkan negara masing-masing dengan harapan membangun masa depan lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka.
Beberapa mengaku, mereka telah diancam atau dianiaya oleh kelompok kriminal yang beroperasi di kampung halaman mereka.
Maka itu, banyak orang tua yang memilih untuk pergi bersama anak mereka agar tidak menjadi mangsa kekerasan geng. Sisanya berharap mendapat pekerjaan di luar negeri dengan gaji cukup sehingga bisa mengirim uang untuk keluarga yang tinggal di kampung halaman.
Banyak yang mengatakan impian mereka adalah untuk mencapai AS. Beberapa dari mereka memiliki sanak keluarga di sana, sedangkan yang lain memilih Negeri Paman Sam sebagai tujuan karena mereka berpikiran akan mendapatkan gaji lebih tinggi di sana dibanding dengan di Amerika Latin.
Beberapa migran Amerika Tengah memang telah lama beranjak dari kampung halaman mereka menuju AS dan terkadang menerima beberapa rombongan gabungan. Namun, sifat terorganisir dari kafilah ini relatif baru.
Migran sering diculik oleh pedagang manusia dan geng narkoba yang memaksa mereka untuk bekerja. Dan kelompok yang besar seperti kafilah ini lebih sulit untuk ditargetkan dan karenanya menawarkan perlindungan lebih.