Pada Senin (3/12), Qatar mengumumkan bahwa negara itu akan menarik diri dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada Januari 2019. Keputusan tersebut muncul di tengah konflik Doha dengan Arab Saudi Cs yang berlangsung sejak Juni 2017 dan hingga kini belum menemukan titik temu.
Keputusan Qatar untuk menyudahi enam dekade keanggotaannya di OPEC mengejutkan publik. Negeri kecil yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi itu beralasan ingin fokus pada ekspor gas alam cair.
Kuartet pimpinan Arab Saudi dan beranggotakan Bahrain, Mesir, dan Uni Emirat Arab memutuskan hubungan dan memberlakukan blokade ekonomi dan perjalanan terhadap Qatar setelah menuduh Doha mendukung terorisme.
Tuduhan tersebut telah berkali-kali dibantah keras oleh Qatar.
Menteri Energi Saad Sherida al-Kaabi dalam konferensi pers pada hari Senin memaparkan bahwa keputusan Qatar untuk keluar dari OPEC tidak terkait bentrok politik dengan Arab Saudi Cs, melainkan ingin fokus pada rencana untuk meningkatkan produksi gas alamnya mencapai lebih dari 40% pada masa mendatang.
"Saya pikir tidak efisien untuk fokus pada sesuatu yang bukan bisnis inti Anda dan sesuatu yang tidak menguntungkan Anda dalam jangka panjang," ungkap al-Kaabi. "Bagi saya untuk mengerahkan tenaga dan sumber daya serta waktu dalam organisasi di mana saya adalah pemain yang sangat kecil, dan tidak memiliki suara nyata atas apa yang terjadi di organisasi itu, praktis tidak bermanfaat."
Meski pun ekspor minyak Qatar sebesar 600.000 barel per hari, lebih kecil dibandingkan Arab Saudi yang menghasilkan 11 juta barel per hari, namun keluarnya Doha dari OPEC dinilai menggarisbawahi konsekuensi dari perseteruan dengan Riyadh Cs.
Qatar merupakan negara Timur Tengah pertama yang keluar dari OPEC.
Di lain sisi, Qatar merupakan pengekspor gas alam cair terbesar di dunia. Qatar Petroleum, perusahaan minyak dan gas milik negara, dalam serangkaian twitnya mengatakan bahwa pihaknya berencana untuk mengembangkan dan meningkatkan produksi gas alam dari 77 juta ton menjadi 110 juta ton per tahun.
"Mencapai strategi pertumbuhan ambisius kami pasti akan membutuhkan upaya, komitmen, dan dedikasi yang fokus untuk mempertahankan dan memperkuat posisi Qatar sebagai produsen gas alam terkemuka," jelas al-Kaabi.
Associated Press melaporkan, tidak hanya gas alam, namun Qatar pun ingin meningkatkan produksi minyaknya.
Tindakan boikot terhadap Qatar oleh Arab Saudi cs mau tidak mau menyeret Amerika Serikat yang memiliki hubungan ekonomi dan militer erat dengan seluruh negara yang terlibat dalam perseteruan. Donald Trump sendiri menunjukkan sikap plintat-plintut soal ini.
Pada awalnya Trump mendukung tuduhan Qatar sebagai negara penyokong terorisme. Narasi berubah ketika Trump menyebut EmirTamim Bin Hamad al-Thani sebagai teman baik ketika pemimpin Qatar itu melawat ke Washington pada April lalu.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo telah mendesak agar para pemimpin negara-negara yang terlibat untuk menyelesaikan segera perseteruan mereka. Pompeo menekankan pentingnya persatuan untuk memerangi ekstremis di kawasan serta menghadapi Iran.
Sepanjang tahun, Trump telah melancarkan serangan ke OPEC karena membatasi jumlah produksi mereka. Sejak lama, presiden ke-45 AS itu telah menekan OPEC untuk menurunkan harga minyak.
Lima negara, Arab Saudi, Kuwait, Iran, Irak dan Venezuela mendirikan OPEC pada tahun 1960. Dalam perkembangannya, organisasi ini kini beranggotakan 15 negara. OPEC mengoordinasikan kebijakan untuk menjaga harga minyak tetap stabil dan memastikan pasokan global yang teratur. Selain itu, mereka juga bekerja sama dengan produsen minyak non-OPEC, termasuk Rusia, untuk menetapkan tingkat produksi. Qatar bergabung dengan OPEC pada tahun 1961. (The Washington Post)