Sekitar 115 orang hilang dan dikhawatirkan tenggelam, sementara 134 lainnya berhasil diselamatkan oleh penjaga pantai Libya dan nelayan setempat setelah sebuah perahu kayu yang membawa para migran terbalik di Libya. Demikian disampaikan seorang pejabat Angkatan Laut Libya pada Kamis (25/7).
"Tragedi Mediterania terburuk tahun ini baru saja terjadi," ungkap Kepala UNHCR Filippo Grandi via Twitter.
Menurut juru bicara AL Libya Ayoub Qassem, ada sekitar 250 orang di atas perahu, di mana mayoritas migran berasal dari Eritrea dan Afrika sub-Sahara lainnya serta negara-negara Arab. Perahu terbalik di dekat pantai Komas, di sebelah timur Tripoli.
Libya adalah pusat berkumpulnya para migran dan pengungsi yang mencoba mencapai Eropa dengan kapal-kapal yang sebenarnya tidak layak berlayar.
"Insiden terbaru membuat jumlah kematian migran di Mediterania menjadi lebih dari 600 jiwa pada tahun ini," ungkap juru bicara UNHCR Charlie Yaxley.
Enam tahun berturut-turut angka kematian di Mediterania mencapai lebih dari 1.000 jiwa.
Yaxley memaparkan bahwa orang-orang yang selamat dari kecelakaan itu kemungkinan akan di bawa ke dua detensi di Libya, di mana mereka akan menghadapi risiko lebih lanjut. Dia menyerukan agar mereka segera dibebaskan.
"Kita tahu bahwa di dalam detensi-detensi ini tidak ada makanan, air dan seringkali kondisinya tidak bersih. Ada banyak laporan tentang pelanggaran HAM yang terjadi," kata Yaxley.
Menurut Libya, para migran masuk dan keluar negara itu secara ilegal. Mereka sering ditahan di pusat-pusat penahanan yang oleh PBB disebut sebagai penjara yang efektif, mengekspos mereka pada risiko tambahan terperangkap dalam perang saudara di Libya.
Satu pusat penahanan di Tripoli dilanda serangan udara pada awal bulan ini, menewaskan lebih dari 50 orang. UNHCR kemudian mengatakan bahwa tempat itu telah ditutup, tetapi para migran yang diselamatkan terus dikirim ke sana.
Para aktivis HAM menuduh politikus di Uni Eropa menutup mata dan membiarkan orang mati dibanding mengambil risiko atas reaksi para pemilih di negara mereka dengan bersikap lunak terhadap imigran.
Italia, yang menjadi tujuan utama banyak migran Afrika, bahkan telah mengambil garis keras sejak pemerintah populis berkuasa pada 2018 dengan menutup pelabuhan-pelabuhannya untuk menyelamatkan para migran.