Wakil Duta Besar Palestina untuk Indonesia Taher Ibrahim Abdallah Hamad mengecam proposal perdamaian Timur Tengah yang diumumkan Donald Trump. Dia menyebutnya sebagai sebuah rancangan yang bertujuan melegitimasi penjajahan Israel atas Palestina.
Dia memaparkan empat alasan yang menjadi dasar penolakan Palestina terhadap proposal milik Trump. Pertama, rancangan tersebut memberikan Yerusalem kepada Israel.
"Saya ingin menekankan bahwa solusi damai adalah jalan yang selalu kami pilih, merujuk pada keputusan yang disetujui secara internasional. Salah satunya merupakan Arab Peace Initiative usulan Arab Saudi pada 2002 yang mendorong pembentukan Negara Palestina dengan ibu kota di Yerusalem Timur," tegas dia dalam konferensi pers di Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, pada Rabu (5/2).
Alasan kedua, proposal Trump memungkinkan Israel menganeksasi seluruh pemukiman Yahudi di Tepi Barat.
"Ada lebih dari 720.000 pemukim di lebih dari 136 titik di Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki Israel," jelas Wadubes Taher.
Hak pengungsi menjadi alasan ketiga Palestina menolak proposal perdamaian Trump. Menurut dia, rencana tersebut benar-benar mengabaikan hak para pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah air mereka. Kemudian alasan keempat adalah persoalan terkait masa depan warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel.
"Dari 1967 hingga sekarang, ada sekitar satu juta warga Palestina yang dipenjara di Israel karena alasan bermotif politik. Proposal milik Trump sama sekali tidak menyinggung persoalan ini," ungkap dia.
Lebih lanjut, Wadubes Taher memastikan bahwa Presiden Palestina Mahmoud Abbas akan berbicara dalam rapat Dewan Keamanan PBB pada 11 Februari untuk membahas mengenai proposal perdamaian milik Trump. Presiden Abbas, jelasnya, akan kembali menekankan keinginan Palestina untuk menyelesaikan konflik melalui solusi dua negara dengan Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina.
"Selain itu, sesuai dengan Arab Peace Initiative, Presiden Abbas akan meminta Israel untuk menarik diri dari wilayah Palestina yang mereka duduki," tegas dia.
Trump meluncurkan proposal perdamaian Timur Tengah yang telah lama ditunggu di Washington pada Selasa (28/1). Rancangan yang digembor-gemborkan sebagai "kesepakatan abad ini" tersebut juga telah ditolak oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Liga Arab (LA), dan PBB.
Dalam konferensi pers pada Rabu, Sekretaris Pertama Kedubes Palestina Ahmad Metani menyatakan bahwa Palestina telah menolak proposal milik Trump bahkan sebelum diumumkan secara resmi.
"Sejak awal kami mengerti niat dari kesepakatan tersebut, maka itu kami menolaknya bahkan sebelum diumumkan," jelas dia.
Menurut Metani, jika komunitas internasional satu suara dan sepakat menolak rancangan milik Trump, maka secara otomatis proposal itu akan dinilai tidak valid dan hanya berarti bagi Amerika Serikat dan Israel saja.
Dia mengapresiasi Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al Saud yang mendukung kemerdekaan Palestina dan menolak proposal perdamaian Trump. Segera setelah Trump mengumumkan rancangan tersebut, sambungnya, Raja Salman menelepon Presiden Abbas dan menegaskan bahwa negaranya siap membantu Palestina.
"Proposal tersebut bukan resolusi resmi karena melanggar hukum internasional dan resolusi-resolusi yang sebelumnya dikeluarkan DK PBB," lanjutnya. "Kesepakatan itu hanya berdasarkan perundingan antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Trump. Sama sekali tidak memberikan manfaat bagi Palestina."
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri RI Ahimsa Sukartono menegaskan kembali bahwa penyelesaian isu Palestina harus berdasarkan solusi dua negara yang menghormati hukum internasional.
"Indonesia mendorong dihidupkannya kembali dialog yang melibatkan seluruh pihak demi tercapainya perdamaian dan stabilitas abadi," ujar dia.