Pertempuran sengit berlanjut di ibu kota Sudan walaupun tentara mengumumkan gencatan senjata, kata penduduk. Bentrokan ini merupakan pukulan bagi upaya internasional untuk mengakhiri hampir satu pekan pertempuran antara militer dan kelompok milisi bersenjata.
Tentara mengatakan pada Jumat (21/4) malam pihaknya menyetujui gencatan senjata tiga hari untuk memungkinkan orang merayakan hari raya Idul Fitri. Musuhnya, Rapid Support Forces (RSF), mengatakan sehari sebelumnya menyetujui gencatan senjata 72 jam, juga untuk menghormati Idul Fitri.
"Angkatan bersenjata berharap para pemberontak akan mematuhi semua persyaratan gencatan senjata dan menghentikan setiap gerakan militer yang akan menghalanginya," kata pernyataan militer.
Pengumuman tentara itu menyusul hari permusuhan lainnya di Khartoum dan pengerahan pertama tentara dengan berjalan kaki di ibu kota sejak pertempuran dimulai Sabtu pekan lalu.
Tentara dan pemberontak bersenjata dari RSF baku menembak di pemukiman seantero kota, termasuk selama adzan subuh khusus Idul Fitri.
Para penduduk di sekitar ibu kota melaporkan serangan artileri terus menerus.
“Warga mengatakan terjadi pertempuran sengit dan bentrokan langsung antara tentara dan RSF di bagian selatan ibu kota,” kata reporter Hiba Morgan melaporkan dari Khartoum untuk Al Jazeera.
Morgan mengatakan meskipun upaya gencatan senjata kelima, penduduk di berbagai bagian negara itu mengatakan kontak senjata terus berlanjut dan mereka yakin gencatan senjata tidak akan bertahan.
Tembakan tak reda tanpa jeda sepanjang hari, diselingi dentuman artileri dan serangan udara. Rekaman drone menunjukkan kepulan asap di Khartoum dan kota kembar Omdurman dan Bahri di Nil – keduanya daerah perkotaan terbesar di Afrika.
Pertempuran itu telah menewaskan ratusan orang, terutama di Khartoum dan bagian barat Sudan, membuat negara terbesar ketiga di benua Afrika itu – di mana sekitar seperempat orang sudah bergantung pada bantuan pangan – mengalami bencana kemanusiaan.
Operasional bandara terjebak dalam pertempuran dan jalur udara tidak aman, negara-negara termasuk Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Jerman, dan Spanyol tidak bisa mengevakuasi staf kedutaan mereka.
Di Washington, DC, Departemen Luar Negeri AS mengatakan tanpa merinci bahwa satu warga negara AS di Sudan telah tewas. Gedung Putih mengatakan belum ada keputusan yang dibuat untuk mengevakuasi personel diplomatik AS, tetapi pihaknya bersiap untuk kemungkinan seperti itu jika diperlukan.
Setidaknya lima pekerja bantuan telah tewas, termasuk tiga dari Program Pangan Dunia, yang sejak itu menghentikan operasinya di Sudan – salah satu misi bantuan pangan terbesar di dunia.
Seorang pekerja di Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) tewas di kota El-Obeid pada hari Jumat setelah kendaraannya terperangkap baku tembak ketika dia mencoba untuk memindahkan keluarganya ke tempat yang aman.
Paul Dillon dari IOM mengatakan staf itu tewas saat pertempuran antara pihak yang bertikai di Sudan meningkat di El-Obeid.
“Anggota staf kami, istrinya, dan anak mereka yang baru lahir naik ke kendaraan pribadi dan menuju ke selatan untuk pindah ke tempat yang lebih aman,” kata Dillon kepada Al Jazeera dari Jenewa.
“Sekitar 50 km di luar El-Obeid, mereka menemukan diri mereka dalam baku tembak antara dua faksi,” katanya.
“Anggota staf kami terluka parah tetapi dia berhasil mengemudikan mobil agak jauh ke klinik kesehatan. Sayangnya, dia meninggal karena luka-lukanya,” tambah Dillon.
Pertempuran mempersulit orang-orang untuk meninggalkan rumah mereka dan bergabung dengan massa yang meninggalkan Khartoum.