close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan sambil mengibarkan bendera Palestina saat unjuk rasa mendukung rakyat Palestina di luar gedung kantor perwakilan PBB di Jakarta, Indonesia, Firday, 20 Oktober 2023. Foto AP/Dita Alangkara
icon caption
Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan sambil mengibarkan bendera Palestina saat unjuk rasa mendukung rakyat Palestina di luar gedung kantor perwakilan PBB di Jakarta, Indonesia, Firday, 20 Oktober 2023. Foto AP/Dita Alangkara
Dunia
Sabtu, 18 November 2023 13:20

Ditunggu dunia, aksi nyata Indonesia selesaikan perang Israel-Palestina

Negara-negara OKI seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tak memiliki daya tawar sebesar Indonesia.
swipe

Aksi nyata Indonesia dalam menyelesaikan perang Israel dan Palestina sedang ditunggu dunia. Hal ini dikarenakan negara-negara Islam, yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) tidak memiliki daya tawar sebesar Indonesia. 

"Negara-negara OKI seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab itu tak memiliki daya tawar sebesar Indonesia, dalam menyuarakan kepentingan umat Islam," ujar Mantan Dubes RI untuk Ukraina Yuddy Chrisnandi dalam Webinar Moya Institute bertajuk "Konflik Palestina-Israel: Peluang Penyelesaian" pada Jumat (17/11). 

Politikus Partai Golkar itu melanjutkan, bila seluruh umat Islam di negara-negara Arab dikumpulkan menjadi satu, tetap belum bisa menyamai jumlah umat Islam di Indonesia.  Portofolio itulah yang membuat peran Indonesia dinantikan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, dibandingkan negara-negara Arab yang tidak jelas sikapnya. 

Perang yang kini memasuki minggu keenam, dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan, yang menewaskan lebih dari 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan menculik sekitar 240 pria, wanita, dan anak-anak.

Melansir data dari AP News yang dipublikasi pada 18 November, perang tersebut telah mengakibatkan lebih dari 11.400 warga Palestina tewas. Di mana, dua pertiga dari mereka adalah perempuan dan anak di bawah umur, menurut otoritas kesehatan Palestina. 2.700 lainnya dilaporkan hilang, diyakini terkubur di bawah reruntuhan. Penghitungan tersebut tidak membedakan antara warga sipil dan militan, dan Israel mengatakan telah membunuh ribuan militan.

Banyaknya jumlah korban tewas pastinya membuat siapapun prihatin. Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto, mengutarakan keprihatinan dan kemarahan mendalam melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza.

Apalagi, lebih dari 50% korban serangan Israel adalah bayi dan anak-anak. Dan ini merupakan jumlah korban terbesar sejak Intifadah tahun 2000.

"Karena itu, Moya Institute berinisiatif menganalisis perkembangan yang terjadi, membaca kemungkinan potensi penyelesaian, termasuk mengkaji kemungkinan langkah-langkah yang bisa diambil Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam upaya menciptakan perdamaian antara Palestina-Israel," ujarnya.

Dengan jumlah korban yang begitu besar, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yan Hikmahanto Juwana pun menegaskan kalau Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah memenuhi syarat sebagai penjahat perang atas tindakannya menyerang Gaza, Palestina. 

Tetapi yang menjadi persoalan adalah Israel bukan negara anggota terhadap Statuta Roma (1998), yang memungkinkan dia diadili oleh International Criminal Court (ICC). Walaupun sebenarnya bisa juga melalui mekanisme lain, yakni resolusi Dewan Keamanan (DK-PBB). Di mana, DK-PBB sebenarnya bisa mengeluarkan resolusi yang memandatkan ICC untuk mengadili para pemimpin Israel.

"Tetapi, nantinya pasti AS akan memveto hal itu di DK-PBB, jadi badan dunia itu sudah seperti 'macan ompong' sebetulnya," tegasnya.

Namun begitu, semua pihak harus tetap memandang jernih konflik yang terjadi tersebut. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti memandang, konflik Israel-Palestina harus dilihat dari beberapa dimensi. 

Dimensi pertama adalah dimensi teologi. Abdul Mu'ti menyatakan, konflik ini disebabkan oleh klaim teologis kaum zionis yang memandang tanah Palestina itu sebagai tanah nenek moyangnya. 

Dimensi kedua yakni, politik yang juga kental dalam perang Israel-Palestina. Karena itu, Muhammadiyah menilai solusi politik lebih cocok untuk menyelesaikan perang tersebut.

"Dan two-state solution atau solusi dua negara adalah solusi yang paling logis bagi penyelesaian konflik kedua bangsa, karena memang menurut bangsa Israel juga punya hak tinggal di wilayah itu. Hanya saja selama ini mereka melakukan okupasi terhadap tanah Palestina, yang dinilai sebagai penjajahan," ungkap Mu'ti.

Imron Cotan sebagai pemerhati isu-isu strategis dan global pun sependapat kalau ada perbedaan mendasar antara orang Yahudi dengan gerakan zionisme. Di mana, orang Yahudi itu secara umum baik, karena ada persamaan kaidah keagamaan dengan Islam.

Sedangkan zionisme, adalah gerakan politik yang menginginkan terbentuknya negara Yahudi di tanah Palestina, menolak berdirinya negara Palestina. Dan sekarang kaum zionis ini berkuasa di pemerintahan Israel melalui kelompok ekstrem kanan pimpinan Benjamin Netanyahu. 

"Karena itu tak heran bila beberapa waktu lalu salah satu Menteri Israel Amihay Eliyahu menyatakan bahwa sebaiknya bom nuklir dijatuhkan di Gaza. Padahal korban di pihak Palestina sudah mencapai 12.000, separuh di antaranya bayi dan anak-anak," ucap dia.

Pernyataan Eliyahu tersebut sangat disesalkan berbagai kalangan, karena paska bom Hiroshima dan Nagasaki, dunia berpedoman pada tabu nuklir (nuclear taboo), yang berpandangan bahwa walau negara-negara tertentu diperbolehkan memiliki senjata nuklir, tetapi secara moral tak diperkenankan menggunakannya," ujar Imron.

Dalam konteks perlawanan, kekuatan Palestina berhak mengambil langkah-langkah untuk membebaskan diri dari penjajahan Israel. Namun, yang digaungkan negara-negara besar, khususnya AS, hanyalah hak Israel untuk membela diri, paska serangan Hamas, 7 Oktober yang lalu. Melupakan kenyataan bahwa bangsa Palestina sudah tertindas selama 75 tahun (Nakba, 1948).

Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, memimpin panggilan untuk solidaritas dan tindakan segera dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam menanggapi krisis di Gaza, Palestina (11/11). Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa OKI di Riyadh, Presiden Jokowi menekankan perlunya persatuan OKI mengambil peran di garis depan dalam menyelesaikan konflik yang terus berkecamuk.

"OKI harus bersatu, harus berada di garis depan menggunakan semua cara damai, semua pengaruh, dan semua upaya diplomasi untuk bela keadilan dan kemanusiaan bagi Palestina," ujar Presiden Jokowi seperti dilansir dari laman resmi Kemlu.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi memberikan dukungan penuh terhadap penyelenggaraan KTT OKI, menyatakan bahwa langkah-langkah konkret harus dihasilkan untuk menghentikan kekejaman Israel di Gaza. Dia menyampaikan keprihatinannya terhadap ketidakmampuan dunia untuk menghentikan tragedi kemanusiaan ini, meskipun lebih dari 190 pemimpin negara berkumpul.

​Presiden Jokowi juga menyampaikan empat saran konkret kepada para pemimpin OKI. Pertama, mendesak agar gencatan senjata segera dilakukan untuk menghentikan pembunuhan rakyat sipil oleh Israel. Kedua, mendorong percepatan dan perluasan bantuan kemanusiaan di Gaza.​​ Ketiga, menuntut pertanggungjawaban Israel atas kekejaman kemanusiaan, termasuk mendesak diberikannya akses pada Independent International Commission of Inquiry on the Occupied Palestinian Territory yang dibentuk Dewan HAM PBB untuk melaksanakan mandatnya. Keempat, mendesak agar perundingan damai dimulai kembali dan solusi dua negara dapat terwujud, serta menolak pemikiran solusi satu negara.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan