Aksi walk out Retno dan akhir perang Israel-Hamas
Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dan diplomat Indonesia menggelar aksi walk out saat debat terbuka membahas perang Israel-Hamas dibahas di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) di New York, Amerika Serikat, Selasa (23/1). Retno meninggalkan ruangan ketika Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan berbicara dalam debat tersebut.
Itu kali ketiga Indonesia hadir dalam debat terbuka di DK PBB usai perang antara Israel versus Hamas pecah, Oktober lalu. Hingga kini, tercatat sudah lebih dari 25 ribu warga Gaza dan Tepi Barat tewas akibat perang tersebut. Ratusan ribu lainnya mengungsi karena konflik bersenjata yang tak kunjung usai itu.
Dalam siaran pers yang diunggah di situs resmi Kemlu, Retno menegaskan perang dan genosida di Gaza tak boleh dibiarkan. Ia mengingatkan DK PBB sudah mengeluarkan banyak resolusi untuk Palestina. Namun, resolusi-resolusi itu tak pernah diadopsi dan selalu dilanggar Israel.
"Apakah lebih dari 25 ribu nyawa yang telah melayang, ditambah dengan semakin banyaknya yang sekarat karena kelaparan dan kedinginan, termasuk bayi dan anak-anak, masih terlalu sedikit untuk kita segera bertindak?" kata Retno.
Retno juga menyinggung pernyataan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu pada 18 Januari 2024. Ketika itu, Netanyahu menegaskan Israel tak akan mengizinkan negara Palestina berdiri.
"Pernyataan ini sangat berbahaya dan tidak dapat diterima karena mengonfirmasikan tujuan Israel sesungguhnya, yaitu menghilangkan Palestina dari peta dunia," kata Retno.
Perang bermula dari serangan mendadak Hamas ke permukiman warga Israel di utara Gaza pada 7 Oktober 2023. Setidaknya 1.200 warga Israel tewas karena serangan tersebut. Sebanyak 240 warga Israel diculik. Sekitar 100 tawanan Israel dilepas saat gencatan senjata disepakati pada pengujung November 2023.
Alih-alih mereda, konflik antara Israel dan Palestina malah meluas usai gencatan senjata diangkat. Desember lalu, Netanyahu bersumpah akan berperang hingga titik darah penghabisan. "Ini akan berlanjut hingga Hamas hancur, sampai kemenangan," kata dia.
Di antara lainnya, Israel juga menuntut pembebasan warga sipil yang diculik Hamas, penghentian aksi-aksi terorisme oleh kelompok militan Palestina, deradikalisasi, dan menolak kehadiran otoritas Palestina di Gaza.
Pernyataan Netanyahu itu banjir kritik, termasuk dari pemimpin dunia lainnya. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut target perang Israel tak masuk akal.
"Kehancuran total Hamas? Apakah ada orang yang berpikir itu masuk akal? Jika tujuannya seperti itu, perang akan berlangsung hingga 10 tahun," kata Macron seperti dikutip dari New York Times.
Sejak didirikan pada 1987, Hamas mampu bertahan meskipun para pemimpinnya terbunuh. Struktur organisasi Hamas didesain mampu bergerak meskipun tanpa kepala. Di lain sisi, perang di Gaza justru potensial meradikalisasi warga Palestina.
Akhir perang
Dalam "Six Steps Israel Must Take to Win the War" yang tayang di Foreign Policy pada 24 Januari 2024, Daniel Byman dan Seth G Jones menulis Israel harus merevisi tujuan perang mereka. Menurut Byman dan Jones, Israel tak mungkin bisa mengeliminasi semua gerilyawan Hamas.
Keduanya menjabarkan setidaknya enam langkah yang bisa diambil Israel untuk memenangi perang dan memperkuat posisi tawar mereka di dunia internasional. Pertama, mengurangi operasi militer skala besar. Kedua, menggelar kampanye militer terbatas.
"Bahkan ketika operasi besar berkurang, Israel harus terus membidik para pemimpin Hamas, baik di dalam maupun di luar Gaza. Fokus serangan pada sayap militer Hamas untuk mencegah serangan serupa 7 Oktober kembali terjadi," kata mereka.
Ketiga, memperkuat pertahanan di perbatasan Gaza dan Israel. Keempat, memperbolehkan lebih banyak bantuan humanitarian masuk ke zona perang. Kelima, melibatkan otoritas Palestina untuk mengelola Gaza pascaperang. Pelibatan otoritas Palestina sejalan dengan keinginan Amerika Serikat (AS).
"Kehadiran otoritas Palestina akan mengurangi ketakutan akan aneksasi Gaza dan membuka kemungkinan bagi AS dan negara-negara Arab untuk mengklaim bahwa ada jalan untuk menciptakan pemerintahan Palestina yang mandiri," kata Byman dan Jones.
Terakhir, menghindari meluasnya perang. Saat ini, perang Israel-Hamas telah memicu konflik di berbagai front, termasuk antara Israel dengan Irak, Lebanon, dan Yaman. Israel terutama bakal kewalahan jika Hisbullah, kelompok militan yang berbasis di Lebanon, terjun "sepenuh hati" membantu Hamas.
"Hisbullah punya ribuan pejuang yang terlatih dan gudang persenjataan yang jauh lebih besar ketimbang Hamas... Untungnya, Hisbullah saat ini juga sedang berupaya untuk mencegah konflik meluas," terang Byman dan Jones.
Ian S. Lustick, sejarawan dan analis politik dari University of Pennsylvania, mengatakan perang Israel-Hamas hanya bakal berakhir jika AS turun tangan. Ia berkaca pada sejarah konflik antara Israel dengan Palestina dan negara-negara Arab di masa lalu.
Pada 1956, misalnya, bersama Inggris dan Prancis, Israel menginvasi Mesir dan mengokupasi Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza. Aksi militer Israel dan sekutunya merupkan respons terhadap langkah Presiden Mesir
Gamal Abdel Nasser untuk menasionalisasi terusan Suez dan menjalin kesepakatan jual-beli senjata dengan Uni Soviet.
"Israel baru mau meninggalkan daerah yang mereka kuasai setelah Presiden AS Dwight Eisenhower mengancam retribusi langsung yang menyakitkan bagi Israel jika tak menjalankan keinginan AS," tulis Lustick seperti dikutip dari Time.
Pola serupa juga terjadi dalam Perang Israel-Arab pada 1967. Melawan Mesir, Suriah, dan Yordania, Israel unggul di berbagai front. Israel menolak gencatan senjata meskipun DK PBB mengeluarkan resolusi untuk itu. Israel baru tuntuk setelah AS menekan Perdana Menteri Israel Levi Eshkol dan Menhan Israel Moshe Dayan.
"Ini menjelaskan kenapa Israel tidak pernah mengakhiri perang jika tanpa instruksi dari AS. Pola ini bertahan hingga abad ke-21, termasuk pada 2006, ketika perang Israel-Lebanon pecah. Perang berakhir hanya ketika AS dan Prancis mengintervensi, membuka jalan bagi resolusi PBB," jelas Lustick.