Thailand semakin tidak aman bagi aktivis asing yang melarikan diri dari penganiayaan. Dalam laporan barunya, Human Rights Watch memperingatkan.
Organisasi tersebut menemukan bahwa para pengungsi dan pembangkang yang mencari perlindungan di negara Asia Tenggara telah dilecehkan, diawasi, dan diserang dalam dekade terakhir. Insiden tersebut seringkali dengan kerja sama dan sepengetahuan para pejabat Thailand.
Laporan tersebut juga menemukan bahwa negara itu bersedia "menjual" aktivis dengan rezim penindas lainnya. Media lokal menggambarkannya sebagai pasar pertukaran atau “swap mart”.
Laporan HRW setelah seorang aktivis politik berusia 28 tahun bernama Netiporn “Bung” Sanesangkhom meninggal di penjara pada hari Selasa. Dia mogok makan selama berbulan-bulan. Dia menyerukan reformasi sistem peradilan negara dan perubahan undang-undang lese majeste, yang mencegah kritik terhadap monarki.
“Ada kekhawatiran serius mengenai kebebasan berekspresi di Thailand,” kata Elaine Pearson, direktur Asia di Human Rights Watch, kepada Telegraph. “Topik-topik tertentu yang sensitif secara politik tidak dapat didiskusikan tanpa ancaman atau risiko penangkapan atau pemenjaraan.”
Dia menambahkan bahwa penggunaan undang-undang lese majeste dan penahanan praperadilan di Thailand untuk menekan oposisi meningkat sejak protes pro-demokrasi pada tahun 2020.
Tuntutan pidana telah diajukan terhadap lebih dari 270 orang sejak tahun 2020, dengan beberapa di antaranya dijatuhi hukuman 50 tahun penjara. Ini adalah tren yang dimulai dengan kudeta militer pada tahun 2014.
“Saya tidak akan mengatakan praktik swap mart tidak terjadi sebelum kudeta – kadang-kadang ada pengaturan quid pro quo,” katanya. “Tetapi praktik penindasan transnasional dan pemaksaan kembalinya para pembangkang di pengasingan benar-benar meningkat sejak kudeta.”
Contohnya termasuk penculikan seorang blogger asal Vietnam hanya sehari setelah ia mengajukan permohonan status pengungsi di Bangkok; penangkapan seorang aktivis hak-hak LGBT asal Malaysia; dan penembakan “berdarah dingin” terhadap seorang pendukung demokrasi Laos di hutan utara.
Namun preseden itu tidak hanya terjadi di negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Pihak berwenang Thailand juga telah menahan para pembangkang dan pengungsi China, “tampaknya atas permintaan” Beijing. Mereka juga nyaris mengirim pemain sepak bola profesional dengan status pengungsi kembali ke Bahrain.
Saat yang sama, aktivis Thailand hilang atau dibunuh di Kamboja, Vietnam, dan Laos. Mungkin ini kasus yang paling menonjol pada tahun 2015, dua mayat aktivis yang hilang ditemukan mengambang di sungai Mekong dan terperangkap dalam jaring seorang nelayan setempat.
Namun Pearson mengatakan ada peluang untuk mengubah kebijakan di bawah pemerintahan koalisi yang mulai berkuasa Agustus lalu.
Dipimpin oleh politisi Pheu Thai, Srettha Thavisin, koalisi tersebut tidak menyertakan pemenang kejutan pemilu 2023, Move Forward, dan malah menyertakan partai-partai yang memiliki hubungan kuat dengan militer dan lembaga politik. Namun pemerintah juga mengincar kursi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Pemerintah Thailand telah dihubungi untuk memberikan komentar.
Freedom House, sebuah organisasi pendukung demokrasi berbasis di AS yang didirikan pada tahun 1941 yang memantau penindasan transnasional, memperingatkan bahwa praktik tersebut “menjadi fenomena ‘normal’ karena semakin banyak pemerintah di seluruh dunia yang menggunakannya untuk membungkam perbedaan pendapat.”
“Beberapa serangan bersifat unilateral, namun sebagian besar melibatkan kerja sama atau eksploitasi terhadap institusi negara tuan rumah,” demikian pernyataan mereka di situs webnya mengenai serangan tersebut," katanya dikutip AP News.(apnews,telegraph)';