close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi/shutterstock
icon caption
Ilustrasi/shutterstock
Dunia
Sabtu, 31 Maret 2018 16:01

Akun sosmed jadi pertimbangan dalam pengajuan visa ke AS

Pemerintahan Presiden Donald Trump ingin menjadikan riwayat media sosial, sebagai pertimbangan dalam pengajuan visa ke AS.
swipe

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) akan mengajukan usulan yang berampak pada 14,7 juta orang di seluruh dunia. Khususnya yang mengajukan visa untuk berkunjung ke Negeri Paman Sam.

Pemerintahan Presiden Donald Trump ingin menjadikan riwayat media sosial, sebagai pertimbangan dalam pengajuan visa ke AS. Proposal yang diusulkan Departemen Luar Negeri AS itu akan mewajibkan para pengaju visa memberikan akun Facebook dan Twitter secara detail.

Mereka diminta membeberkan identitas di media sosial dalam waktu lima tahun terakhir. Informasi tersebut akan digunakan untuk mengidentifikasi orang yang mengajukan visa baik migran atau pun non-migran.

Selain itu, orang yang ingin mengajukan visa juga diminta memberikan nomor telepon, alamat email dan riwayat perjalanan. Itu digunakan untuk menjelaskan apakah mereka pernah dideportasi dari suatu negara atau keluarga yang terlibat aktivitas terorisme.

Namun, proposal itu tidak berdampak bagi penduduk yang bebas visa AS untuk Inggris, Kanada, Prancis, dan Jerman. Tapi, warga dari negara yang tidak mendapatkan pengecualian, seperti India, China, dan Meksiko akan mendapatkan perlakuan pengecekan media sosial ketika ingin bekerja atau berlibur di AS.

Sesuai dengan ketentuan itu, para pejabat AS akan mencari informasi melalui media sosial jika mereka merasa kurang mendapatkan informasi untuk mengonfirmasi suatu identitas para pencari visa. Itu dilakukan demi keamanan nasional AS.

“Pemeriksaan pencari visa merupakan praktek yang terus dinamis dan beradaptasi dengan ancaman yang terus berkembang,” demikian keterangan Departemen Luar Negeri AS dilansir New York Times.

“Kita telah meminta informasi kontak terbatas, riwayat perjalanan, informasi anggota keluarga, dan alamat sebelum dari semua pengaju visa. Pengumpulan informasi itu bertujuan untuk mengonfirmasi identitas mereka,” terang mereka.

Kelompok kebebasan sipil AS mengutuk kebijakan tersebut. Itu dianggap sebagai invasi terhadap privasi seseorang yang bisa merusak kebebasan berbicara.

“Orang akan kaget tentang apa yang mereka katakan di dunia online bisa disalahmengerti oleh pejabat pemerintah,” ungkap Hina Shamsi dari American Civil Liberties Union dilansir BBC. Dia mengungkapkan pihaknya prihatin dengan sikap pemerintahan Trump mendefinsikan aktivitas teroris dalam skala luas dan diskriminasi terhadap imigran.

img
Dika Hendra
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan