close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kemunculan varian baru Sars-Cov-2. Alinea.id/Aisya Kurnia
icon caption
Ilustrasi kemunculan varian baru Sars-Cov-2. Alinea.id/Aisya Kurnia
Dunia
Selasa, 14 Desember 2021 15:06

Dari Alpha ke Omicron: Kenapa varian baru Sars-Cov-2 terus muncul?

Sejak pandemi Covid-19 merebak, sudah ada puluhan varian Sars-Cov-2 yang dilaporkan muncul di berbagai belahan dunia.
swipe

Kejanggalan-kejanggalan itu pertama kali ditemukan para teknisi di Lancet Laboratories di Pretoria, Provinsi Gauteng, Afrika Selatan, pada awal November 2021. Saat meneliti sejumlah sampel, mereka menemukan satu gen yang lazimnya ada pada profil beragam varian virus Sars-Cov-2 hilang. Dalam sejumlah percobaan, mesin PCR juga gagal mendeteksi "target" virus pada sampel. 

Hanya beberapa hari berselang, fenomena serupa dilaporkan peneliti di Lancet's Molecular Pathology Department di Johannesburg, Gauteng. Di laboratorium yang letaknya sekitar 80 kilometer dari Pretoria itu,  para peneliti menemukan sampel virus yang mereka garap punya mutasi dalam jumlah besar. 

"Saya cukup kaget melihat apa yang saya saksikan. Saya bertanya-tanya apa ada yang salah dalam proses pengetesan... Bagi saya, itu (virus dalam sampel) sepertinya galur baru," kata Raquel Viana, salah satu peneliti yang pertama kali menemukan keanehan tersebut, seperti dikutip dari Reuters

Di tengah kebingungan, Viana menghubungi koleganya, Daniel Amoako, seorang ahli pengurut gen di National Institute for Communicable Diseases (NICD) di Johannesburg. Viana juga mengirimkan sampel-sampel virus tersebut kepada Amoako.

Selama beberapa pekan, Amoako dan rekan-rekannya meneliti virus yang dikirimkan Viana. Selain dari Viana, NICD juga mendapatkan virus serupa dari sejumlah laboratorium lainnya. Seiring dengan itu, jumlah kasus positif Covid-19 di Gauteng berangsur-angsur naik. 

Para peneliti menemukan sedikitnya 50 mutasi pada varian Omicron. Sebanyak 32 di antaranya terjadi pada tanduk protein. Itu artinya varian ini potensial lebih mudah menular.  "Itu jelas sekali (varian baru). Ini benar-benar mengerikan," kata Amoako. 

Pada 24 November, NICD melaporkan temuan mereka ke World Health Organization (WHO). Dua hari berselang, WHO menyematkan nama ilmiah B.1.1.529 untuk varian tersebut dan mengumumkannya sebagai salah satu variant of concern (VoC). Kini, varian itu punya nama populer Omicron. 

Meski dilaporkan oleh peneliti Afrika Selatan, pengidap Covid-19 varian Omicron pertama terdeteksi di Botswana. Awal Desember lalu, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengungkapkan sudah ada lebih dari 50 negara yang melaporkan kasus positif Covid-19 varian Omicron. 

"Kita meyakini angka (penyebaran) itu bakal naik. Akan tetapi, ini tidak mengagetkan. Ini (mutasi) yang dilakukan virus dan akan terus dilakukan selama kita membiarkannya untuk tetap menyebar," kata Tedros seperti dikutip dari CNBC. 

Kasus penyebaran Sars-Cov-2 varian Omicron tercatat paling banyak terjadi Afrika Selatan dan Inggris. Di Afrika Selatan, tercatat ada 62,021 kasus positif Covid-19 baru sepanjang 29 November hingga 5 Desember. Jika dibandingkan dengan pekan sebelumnya, terjadi lonjakan kasus hingga sekitar 111%. 

Di Asia, sudah ada enam negara yang melaporkan pasien Covid-19 terinfeksi varian Omicron, yakni India, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, China (Hong Kong), dan Jepang. Hingga kini, varian Omicron belum dikabarkan terdeteksi di Indonesia. 

Dalam laporan terbarunya pada 9 Desember, WHO menyimpulkan varian Omicron lebih cepat menular dari varian Delta yang telah menewaskan 50 ribu orang. Bukti-bukti awal yang dikumpulkan WHO juga mengindikasikan Omicron mampu menggerus efektivitas vaksin. 

"Berbasis data yang tersedia saat ini, kemungkinan besar varian Omicron akan mampu mengalahkan varian Delta saat transmisi virus di tingkat komunitas terjadi," tulis WHO. 

Pekerja medis dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) memantau proses vaksinasi di Leshoto, Afrika, Agustus 2021. Foto Instagram @who_afrika

Varian kian ganas

Dengan tambahan varian Omicron, total sudah ada lima galur variant of concern virus Sars-Cov-2 yang diumumkan WHO. Sebelum Omicron, ada varian Delta (pertama kali terdeteksi di India), Gamma (Brasil), Beta (Afrika Selatan), dan Alpha (Inggris). 

Selain VoC, WHO juga mencatat ada puluhan variant of interest (VoI) yang dilaporkan terdeteksi di berbagai negara. Meskipun punya mutasi yang berbeda dengan varian awal dan varian yang saat ini dominan, VoI umumnya tidak lebih berbahaya dan bisa punah dengan sendirinya seiring waktu.

Lantas kenapa varian-varian baru itu terus lahir? Pakar imunologi di The Doherty Institute, Jennifer Juno mengatakan varian baru muncul karena virus SARS-COV-2 terus berevolusi lewat mutasi. Sejak pandemi merebak, sudah ada ribuan mutasi terdeteksi pada virus mematikan tersebut. 

"Mutasi ini bisa ditransmisikan terus dari satu inang ke inang lainnya dan pada akhirnya mereka menyebar hingga kita mendeteksi mutasi itu dan itu bisa jadi sebuah varian yang berbahaya," kata Juno seperti dikutip dari ABC

Secara teknis, virus merupakan mikroorganisme yang tidak bisa hidup sendiri. Mereka mengandalkan sel-sel dari organisme lain untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Saat menggandakan diri, virus membajak sistem pada tubuh organisme lain dan membuat tiruan diri menggunakan materi genetik yang mereka punya. 

Dalam proses replikasi itu, kata Juno, terkadang "kesalahan" muncul yang menyebabkan mutasi dan mengubah susunan gen virus. "Dan, terkadang mutasi itu berdampak, menyebakan virus lebih mudah ditransmisi, menggandakan diri, atau mengelak dari sistem imun," jelas Juno. 

Kecepatan mutasi berkorelasi dengan kemampuan virus menyebar (R0). Saat pandemi Covid-19 pecah, R0 Sars-Cov-2 galur awal diperkirakan sekitar 2,4-2,6. Itu berarti seorang yang mengidap Covid-19 bisa menularkan SARS-Cov-2 kepada dua hingga tiga orang yang punya imun lemah atau tanpa pelindung. 

Jika dibiarkan terus bermutasi, virolog dari Imperial College London, Wendy Barclay mengatakan SARS-Cov-2 bisa menyamai atau bahkan melampaui R0 virus penyebab cacar (measles). "Masih ada ruang untuk terus naik. Campak itu (R0-nya) antara 14 hingga 30," kata Barclay. 

Pada varian Alpha, R0 virus naik di kisaran 4-5, sedangkan pada varian Delta R0-nya berada di kisaran 5-8. Meskipun belum melalui proses pengkajian oleh sejawat (peer review), studi terbaru yang digarap peneliti Kyoto University, Jepang, menunjukkan varian Omicron empat kali lipat lebih cepat menular ketimbang varian Delta. 

Pakar penyakit menular dari Pennsylvania State University, Suresh V. Kuchipudi mengatakan mutasi acak dipastikan bakal terjadi pada setiap jenis virus. Namun, pada Sars-Cov-2 yang berkategori virus RNA, proses mutasinya jauh lebih cepat. 

"Saat serangkaian mutasi menghasilkan kemampuan bertahan hidup yang lebih baik pada sebuah varian dibanding pendahulunya, maka varian itu akan memenangi persaingan dengan varian virus lainnya yang lebih dahulu muncul," tulis Kuchipudi dalam sebuah analisis di The Conversation. 

Menurut Kuchipudi, setidaknya ada dua teori yang bisa menjelaskan bagaimana varian Omicron muncul. Pertama, virus Sars-Cov-2 "nongkrong" di tubuh pasien dengan sistem imun yang terganggu dalam jangka waktu yang cukup lama. Situasi tersebut--diyakini dialami varian-varian awal Sars-Cov-2--bisa memicu evolusi pesat pada virus. 

Kedua, varian Omicron lahir di inang hewan sebelum loncat ke tubuh manusia. Teori ini berkembang lantaran Omicron punya mutasi yang jauh berbeda dengan varian lainnya. "Virus penyebab Covid-19 bisa menginfeksi sejumlah binatang, termasuk di antaranya musang, singa, kucing, dan anjing," jelas Kuchipudi. 

Ilustrasi tes PCR Covid-19 di Afrika. /Foto dok WHO

Ketimpangan distribusi vaksin

Fatima Hasan, Direktur Health Justice Initiative, sebuah organisasi hak asasi manusia yang berbasis di Cape Town, Afrika Selatan, menilai negara-negara besar turut menyebabkan kelahiran Omicron karena mengepul vaksin dalam jumlah besar meskipun mayoritas warga mereka sudah diimunisasi.

Menurut catatan WHO, misalnya, hanya sekitar 7% warga di Benua Afrika yang telah mendapatkan dua dosis suntikan vaksin. Selain itu, WHO juga menemukan hanya satu dari empat pekerja medis di Benua Hitam itu yang terlindungi dari ancaman virus karena telah diimunisasi. 

"Ini (ketimpangan distribusi vaksin) tak hanya secara moral menjijikkan, tapi juga berbahaya. Ini menciptakan lahan yang subur untuk varian-varian baru berkembang," ujar Fatima seperti dikutip dari Al Jazeera. 

Sejak 2020, Afrika Selatan dan India telah meminta agar World Trade Organization mendorong akses vaksin yang lebih luas bagi negara-negara kecil. Itu bisa dilakukan dengan mengabaikan sejumlah ketentuan terkait hak paten yang tertera dalam perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). 

Dengan pengabaian (waiver) tersebut, negara-negara kecil diharapkan mampu memproduksi vaksinnya sendiri tanpa harus bergantung pada suplai vaksin global yang cenderung dikendalikan oleh perusahaan farmasi dan negara besar. Inggris dan sejumlah negara maju di Eropa berulang kali menolak usulan tersebut. 

"Kebanyakan negara memahami pentingnya untuk menggenjot produksi vaksin pada level yang dibutuhkan untuk mengakhiri pandemi. Akan tetapi, bagi sejumlah pemimpin dunia seperti Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, menopang monopoli perusahaan farmasi dirasa lebih penting," kata Fatima. 

Infografik Alinea.id/MT Fadillah

Hingga kini, tidak diketahui siapa orang pertama (patient zero) yang menularkan Sars-Cov-2 varian Omicron. Namun, peneliti kesehatan global dari University of Southampton, Inggris, Michael Head menduga varian itu tidak lahir di Afrika Selatan yang tingkat vaksinasinya tergolong tinggi. 

"Ini (Omicron) mungkin muncul karena adanya outbreak. Varian ini kemungkinan muncul di sejumlah negara di kawasan sahara Afrika yang hampir tidak ada pengawasan genomik serta tingkat vaksinasinya rendah," kata Head.

Head sepakat kemunculan varian-varian baru Sars-Cov-2 merupakan penanda pandemi Covid-19 tak akan berakhir selama distribusi vaksin global tidak merata. Dunia, kata dia, terutama perlu bekerja sama menghapus ketimpangan distribusi vaksin.

"Ini konsekuensi alamiah karena upaya memvaksinasi populasi dunia lamban. Kita masih punya banyak negara yang mayoritas populasinya belum divaksinasi, seperti di kawasan sahara Afrika, yang rentan terhadap wabah," jelas Head. 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan