Mengantisipasi proses Brexit yang masih berlangsung, Indonesia membuat perjanjian Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) dengan Inggris.
Perjanjian serupa sebelumnya sudah Indonesia miliki dengan Uni Eropa sejak 2016. Namun, sekiranya Inggris hengkang dari blok itu, Indonesia sudah menyiapkan langkah agar proses penyaluran kayu tidak terhambat.
"Dalam FLEGT, manakala Inggris sudah tidak mengikuti skema Uni Eropa, maka perjanjian ini akan menjadi landasan hukum sehingga kontinuitas perdagangan kayu itu terjaga," jelas Direktur Eropa I Kementerian Luar Negeri RI Dino R. Kusnadi dalam konferensi pers di Kemlu RI, Jakarta, Kamis (28/3).
Pada Rabu (27/3), melalui Twitter, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menuturkan telah bertemu dengan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik untuk membahas berbagai kolaborasi untuk merayakan 70 tahun hubungan diplomatik RI-Inggris. Salah satu poin pertemuan Menlu RI dan Dubes Moazzam merupakan pembahasan FLEGT dengan Inggris.
"Besok, Indonesia dan Inggris akan menandatangani FLEGT Voluntary Partneship Agreement (VPA). Perjanjian ini akan memungkinkan kayu Indonesia untuk masuk ke pasar Inggris pasca-Brexit," jelas Menlu RI.
Penandatanganan FLEGT dilakukan pada Jumat (29/3) oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya Bakar dan Dubes Moazzam di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Selain sebagai mekanisme yang menjaga hubungan perdagangan kayu, Dino mengatakan bahwa FLEGT merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam menunjukkan kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup dengan menyediakan kayu legal untuk Uni Eropa dan Inggris.
Sejauh ini, lanjutnya, baru Uni Eropa yang mengakui mekanisme atau sertifikasi dari perjanjian FLEGT milik Indonesia.
Indonesia berharap ke depannya mekanisme ini dapat menjadi patokan bagi perdagangan kayu dunia dan dapat diikuti oleh negara-negara lain di luar Uni Eropa dan Inggris.
"Saya ingin ada snowball effect sehingga sejumlah negara lain juga melakukan langkah yang sama," tambahnya.
Dino menjelaskan, salah satu alasan utama mengapa pemerintah segera menciptakan landasan hukum berupa FLEGT karena berdasarkan data Kemlu RI, jumlah ekspor kayu legal yang masuk ke Inggris mencakup seperempat dari total ekspor ke Uni Eropa atau bernilai sekitar US$250 juta.
"Menurut kami, dari segi ekonomi, nilai itu sangat signifikan dan penting bagi kami untuk meneruskan perdagangan dengan Inggris," kata dia.
Mekanisme FLEGT milik Indonesia sangat ketat untuk benar-benar memastikan bahwa kayu dalam negeri yang dipasarkan ke Eropa sudah terdata dan diketahui asalnya, tidak merusak hutan, serta berlabel ramah lingkungan.
"Mekanisme proses selama ini sudah berjalan dan para pengusaha kayu pun sudah terbiasa, kita mempertimbangkan agar proses itu tidak terganggu," jelasnya. "Jika nanti Inggris sudah keluar dari Uni Eropa dan kita belum menyepakati perjanjian ini dengan mereka, maka proses ekspor itu akan terhenti sementara dan mengganggu kelangsungan perdagangan."
Meskipun sudah memiliki perjanjian FLEGT, Dino mengungkapkan masih adanya hambatan berupa peredaran kayu-kayu ilegal tanpa sertifikasi.
"Kita juga berharap dengan adanya semakin banyak pengakuan terhadpa FLEGT, dunia dapat menggunakan kayu-kayu yang legal dan menghindari penggunaan kayu-kayu ilegal," lanjutnya.
Dino menyatakan bahwa Indonesia terus memantau perkembangan proses Brexit. Pemerintah Indonesia, tegasnya, menghargai proses demokrasi masyarakat Inggris tetapi tetap berusaha memerhatikan agar jangan sampai proses tersebut menghambat hubungan kerja sama antara Indonesia dengan Uni Eropa maupun dengan Inggris.
"Di luar FLEGT, saya belum melihat adanya efek samping Brexit yang berpotensi mengganggu perjanjian lainnya," ujarnya.
Dino mengatakan pihak Inggris sudah meyakinkan Indonesia dengan mengatakan bahwa meskipun akan keluar dari Uni Eropa, mereka tidak akan meninggalkan tanggung jawab internasionalnya.
"Kita punya sejumlah perjanjian bersama Uni Eropa yang masih mencakup Inggris juga. Belum tahu ke depannya akan seperti apa karena sampai sekarang pun belum terjawab apakah Inggris akan keluar secara teratur atau dengan skenario tanpa kesepakatan?," kata dia.