Penasihat keamanan nasional Amerika Serikat pada Minggu (20/6) mengatakan bahwa bahkan dengan terpilihnya presiden baru dengan ideologi "ultra-kanan" di Iran, keputusan untuk kembali berkomitmen pada kesepakatan nuklir 2015 tetap terletak pada pemimpin tertinggi negara itu.
"Apakah presidennya adalah A atau B kurang relevan daripada apakah sistem mereka siap untuk membuat komitmen untuk menahan laju program nuklir mereka," kata Jake Sullivan.
Komentarnya menyusul terpilihnya ulama ultrakonservatif Iran, Ebrahim Raisi, sebagai presiden pada Jumat (18/6), menggantikan Hassan Rouhani yang moderat.
Di sisi lain, negara-negara yang terlibat dalam kesepakatan nuklir 2015, juga disebut JCPOA, tengah mengadakan pembicaraan di Wina demi menyelamatkan kesepakatan tersebut agar tidak runtuh.
"Keputusan akhir apakah akan kembali ke kesepakatan atau tidak," kata Sullivan, "terletak pada pemimpin tertinggi Iran."
Ayatollah Ali Khamenei yang berusia 81 tahun telah lama berdiri sebagai penengah terakhir dari postur strategis Iran. Raisi dianggap sebagai loyalis dekat Khamenei.
Di bawah pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump, Negeri Paman Sam keluar dari JCPOA pada 2018 dan memberlakukan sanksi baru terhadap Teheran.
Pengganti Trump, Joe Biden, mengatakan bahwa dia ingin kembali ke kesepakatan itu sebagai cara penting untuk mengekang program nuklir Iran.
Pembicaraan multinegara di Wina, yang berlangsung sejak April, bertujuan untuk membawa AS kembali ke JCPOA dan untuk membujuk Teheran untuk kembali mematuhi pembatasan program nuklirnya sambil memberikan keringanan sanksi kepada Iran.
Israel, sekutu dekat AS dan musuh bebuyutan Iran, sangat kritis terhadap kesepakatan nuklir tersebut.
Perdana menteri baru Israel, Naftali Bennett, pada Minggu menggambarkan kemenangan Raisi sebagai kesempatan terakhir bagi kekuatan dunia untuk sadar diri dan tidak kembali ke JCPOA.
Meski begitu, Enrique Mora, diplomat tinggi Uni Eropa pada pembicaraan di Wina, pada Minggu menuturkan bahwa para perunding condong mendorong untuk menyelamatkan JCPOA, bukan menghancurkannya.
Sullivan juga mengungkapkan bahwa AS optimistis, tetapi juga berhati-hati.
"Masih ada jarak yang cukup jauh untuk membahas isu-isu utama, termasuk sanksi dan komitmen yang harus dibuat Iran," katanya. "Panah telah diarahkan ke arah yang benar ... kita akan melihat apakah para pemimpin Iran siap untuk membuat pilihan sulit."