close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev. Alinea.id/Oky Diaz
Dunia
Selasa, 13 Juli 2021 19:02

Astana dan ego besar sang diktator

Pemindahan ibu kota Kazakhstan dari Almaty ke Astana kental bernuansa kepentingan politik.
swipe

Sehari setelah didaulat sebagai Presiden Kazakhstan interim, Qasym-Zhomart Toqaev mengajukan sebuah proposal ke parlemen pada 20 Maret 2019. Dalam proposal itu, Toqaev mengusulkan agar nama ibu kota Kazakhstan diubah dari Astana menjadi Nursultan. 

Di parlemen, proposal itu disambut dengan baik. Dalam pemungutan suara, mayoritas anggota parlemen setuju dengan usulan tersebut. Tiga hari berselang, Toqaev merilis keputusan presiden mengesahkan pergantian nama tersebut. 

"Pergantian nama ini sebagai bentuk penghormatan terhadap presiden pertama Kazakhstan," kata Toqaev dalam sebuah pernyataan resmi sebagaimana dikutip dari BBC.

Nursultan adalah nama depan Nazarbayev. Lahir di Chemolgan, Almaty, pada 6 July 1940, Nazarbayev putra pasangan Ábish Nazarbayev dan Aljan Nazarbayeva. Pada 1930-an, ayahnya bekerja sebagai buruh pertanian miskin. Ketika Nazarbayev lahir, ayahnya memboyong keluarga mereka ke pegunungan dan hidup nomaden.

Pada usia 22 tahun, Nazarbayev bergabung dengan Liga Muda Komunis (Komsomol) di bawah Partai Komunis Uni Soviet. Berkat kelihaiannya berpolitik, karier Nazarbayev cemerlang. Dari tingkat lokal, Nazarbayev naik kelas jadi politikus nasional hingga pada 1984 didapuk jadi Perdana Menteri Kazakhstan. 

Lima tahun berselang, Nazarbayev ditunjuk jadi Ketua Partai Komunis Kazakhstan. Kariernya makin moncer setelah Moskow menunjuk dia sebagai Presiden Kazakhstan pertama pada 24 April 1990. Jabatan itu ia pegang hingga tiga dekade. 

Di tengah serangkaian gelombang unjuk rasa, Nazarbayev memutuskan mundur dari jabatannya pada 19 Maret 2019. Togaev ditunjuk sebagai penerus. Keesokan harinya, usul mengganti Astana menjadi Nursultan masuk ke parlemen. Aksi balas jasa Togaev itu berjalan tanpa kendala berarti. 

Minimnya oposisi terhadap usulan Toqaev di parlemen tak aneh. Mayoritas anggota parlemen berasal dari Partai Nur Otan. Itu partai yang didirikan Nazarbayev pada 1999. Toqaev pun tercatat sebagai salah satu kader di partai yang juga berarti "Light of the Fatherland" tersebut. 

Presiden Kazakhstan Nazarbayev (tiga baris dari kiri) hadir dalam World Economic Forum 1992 yang diketuai Henry Kissinger in Davos, Swiss. /Foto Wikimedia Commons

Tak semua warga Kazakhstan setuju ibu kota mereka kembali berganti nama. Di jagat maya, pergantian nama ibu kota itu jadi bahan olok-olok warganet. Saat pergantian nama itu diumumkan, sejumlah warga bahkan berkumpul di depan parlemen untuk menggelar unjuk rasa kecil. 

"Saya takut baca berita pagi ini. Apakah negara kita masih bernama Kazakhstan?" tulis sejarawan penulis buku A Brief Hostory of The Kazak People, Bakhytnur Otarbaeva, dalam salah satu unggahan di Facebook. 

Dalam sebuah esai, antropolog dari University of Warsaw, Polandia, Mateusz Laszczkowski mengatakan ganti nama ibu kota itu tak perlu disoal. Apalagi, Astana memang sudah berulang kali ganti nama. 

Sebelum bernama Astana pada 1998, kota itu dikenal dengan sebutan Akmola. Saat pertama kali dibangun sebagai salah satu simpul perdagangan di bawah kuasa Rusia pada abad ke-19, ia bernama Akmolinsk. Pada 1961, Uni Soviet mengganti nama kota itu jadi Tselinograd. 

"Pada titik tertentu, warga setempat kemungkinan hanya mempersepikan perubahan nama itu sebagai sebuah rutinitas bussines as usual," kata Laszczkowski yang pernah bertahun-tahun tinggal di Astana. 

Warga Kazakhstan sebenarnya tak "buta". Saat tinggal di negara itu, Laszczkowski bertemu dengan orang-orang yang mengetahui persekusi dan (sesekali) pembunuhan terhadap politikus oposisi. Namun, mayoritas warga tak berontak karena bisa hidup dengan relatif tenang dan sejahtera. 

"Buat apa orang-orang menentang pemerintahan? Atas nama prinsip-prinsip abstrak seperti apa? Nazarbayev pada utamanya dipersepsikan sebagai penjamin stabilitas dan itu adalah sebuah nilai fundamental," jelas Laszczkowski. 

Bagi Nazarbayev, Astana spesial. Kota itu, sebagaimana analisis sejumlah pakar, dibangun sebagai proyek pribadi sang diktator. Tak hanya merencanakan pemindahan ibu kota ke Astana, Nazarbayev juga bahkan ikut berperan mendesain gedung-gedung di megah kota itu. 

Menara Bayterek yang berlokasi di Nurjol Boulevard di pusat kota, misalnya, dilaporkan didesain sendiri oleh Nazarbayev. "Bentuk menara itu disebutkan digambar sendiri oleh sang presiden pada sebuah sapu tangan," kata Laszczkowski. 

Dibangun setinggi 105 meter, Menara Bayterek didesain melambangkan legenda urban mengenai mitos pohon kehidupan. Puncak menara direkayasa penuh dengan cabang. Di antara cabang-cabang itu, seekor burung magis yang diberi nama Samruk bikin sarang dan bertelur. 

Gedung-gedung pencakar langit di pusat kota Astana, Kazakhstan. /Foto Pixabay

Dari Almaty ke Astana

Sebelum Astana, ibu kota Kazakhstan berada di Almaty (Alma-Ata). Berlokasi di selatan dan berbatasan dengan China, Almaty dikenal sebagai kota pelabuhan dan pusat industri. Pada mulanya, kota itu dibangun Rusia sebagai pos militer. 

Nazarbayev mengumumkan rencana pemindahan ibu kota ke Akmola (nama lama Astana) pada 1994. Tiga tahun sebelumnya, Nazarbayev memenangi pemilu sebagai calon tunggal dengan raupan suara mencapai sekitar 97%. Ketika itu, Uni Soviet tengah bergejolak.

Secara resmi, pemerintah Kazakhstan mengumumkan alasan-alasan klasik yang mendasari pemindahan ibu kota. Pertama, Almaty rentan gempa. Kedua, Almaty tak bisa lagi tumbuh. Ketiga, polusi udara. Terakhir, Astana lebih ideal sebagai sebagai ibu kota karena berlokasi di pusat Kazakhstan. 

Meski begitu, alasan-alasan itu kerap dikesampingkan para pakar dan peneliti. Kebanyakan studi menunjukkan bahwa pemindahan ibu kota Kazakhstan lebih bermotif politik. 

Dalam "Russians Beyond Russia: The Politics of National Identity" yang terbit di The Royal Institute of International Affairs pada 1995, Neil Melvin berargumen pemindahan ibu kota merupakan upaya Nazarbayev mengerem "rusiafikasi" di utara Kazakhstan. 

Pada awal 1990-an, mayoritas warga Kazakhstan merupakan orang Rusia yang tinggal kota-kota di utara dan timur, termasuk di Akmola. Sensus penduduk yang dirilis pada 1989 menunjukkan bahwa hanya ada 49.798 (17,7%) warga etnis Kazakhs yang menghuni negeri itu. 

Dicatat pada sensus yang sama, jumlah warga berkebangsaan Rusia mencapai 152.147 orang atau hingga 54% dari total penduduk Kazakhstan. Sisanya merupakan warga keturunan Ukraina, Tatars, Jerman, Belarusia, Polandia, dan sejumlah negara lainnya. 

"Rencana pemindahan ibu kota ke sana menyimbolkan orang Kazakhs merebut kembali teritori mereka. Terlepas dari alasan-alasan resmi yang diumumkan pemerintah, tidak diragukan lagi, langkah itu adalah gestur politik," tulis Melvin. 

Teori serupa diutarakan Diana Kopbayeva dalam "Is Astana a Nationalistic Project? The Role of Kazakhstan's New Capital in Development of The National Identity yang terbit Europian Scientific Journal pada 2013. 

Menurut Kopbayeva, pemindahan ibu kota punya dua makna simbolis. Pertama, simbol rekonsiliasi kedaulatan Kazakhstan. Kedua, upaya memproduksi identitas baru bangsa Kazakhstan. 

"Segregasi geografis antara Rusia dan etnis Kazakhs merupakan persoalan serius bagi Kazakhstan. Kedekatan dengan Rusia membuka peluang Federasi Rusia mendukung etnis Rusia di utara dan membahayakan kedaulatan Kazhakstan," jelas Kopbayeva. 

Di antara teori-teori lainnya, teori yang juga populer ialah motif politis praktis. Dalam Modern Clan Politics: The Power of “Blood” in Kazakhstan and Beyond, Edward Schatz mengemukakan pemindahan ibu kota merupakan bagian strategi konsolidasi kekuasaan oleh Nazarbayev. 

"Pemindahan ibu kota dari Almaty ke Astana membuka peluang Nazarbayev untuk mengawasi aktor-aktor yang kantornya dipindahkan sekaligus menghentikan operasi-operasi politik dari kelompok-kelompok lain," kata Schatz. 

Proyek itu juga menunjukkan karakter Nazarbayev yang ambisius dan haus kekuasaan. Selain memberangus oposisi, Nazarbayev juga ingin dikenang sebagai pemimpin Kazakhstan modern dan bapak bangsa. 

"Pemindahan ibu kita bisa jalan karena itu adalah sesuatu yang dipandang perlu dilakukan Nazarbayev untuk mendemonstrasikan otoritasnya," tulis Schatz. 

Teori-teori motif politis itu laku lantaran kajian-kajian ilmiah menunjukkan bahwa Astana tak ideal didesain sebagai ibu kota. Dekat dengan gurun, Astana rutin jadi langganan badai pasir dan potensial mengalami krisis air. Sejumlah studi juga menunjukkan banyak calon ibu kota yang lebih ideal ketimbang Astana. 

Meski begitu, proyek tersebut jalan terus. Dalam sebuah kesempatan, Nazarbayev mengatakan rencana pemindahan ibu kota adalah persoalan harga diri. "Untuk merealisasikan ibu kota baru, saya akan melakukannya tak peduli apa pun kata orang," kata Nazarbayev. 

Pusat perbelanjaan Khan Shatyr Entertainment Center di Kota Astana, Khazakstan. /Foto Unsplash

Proyek pongah

Dijalankan selama tiga tahun, proyek pemindahan ibu kota itu rampung pada 1997. Pada 10 Juni 1998, Astana resmi dibuka sebagai ibu kota baru Kazakhstan. Akmola, nama lama peninggalan Uni Soviet, ditanggalkan. 

Nazarbayev sukses menyulap Astana menjadi kota modern. Dibangun di lahan seluas 1.200 kilometer, gedung-gedung futuristik kini telah berdiri tegak. Selain Menara Bayterek, sejumlah gedung jadi landmark ibu kota, semisal Central Concert Hall, Palace of Peace and Reconcilitation, dan Astana Arena. 

Untuk membangun Astana, Nazarbayev mengundang perusahaan-perusahaan kontraktor terkemuka di Eropa. Proyek-proyek terbesar diserahkan kepada arsitek berkebangsaan Inggris, Norman Robert Foster. Teranyar, Foster baru merampungkan Khan Shatyr, sebuah pusat perbelanjaan yang bentuknya serupa tenda raksasa.

Dalam proyek-proyek gigantik itu, Nazarbayev selalu "hadir". Itu setidaknya diakui Manfredi Nicoletti, pemilik Studio Nicoletti. Perusahaan arsitek asal Italia itu ditugasi mendesain Central Concert Hall yang resmi beroperasi pada 2009. 

"Dia (Nazarbayev) biasanya becanda gedung itu (Central Concert Hall) tepat di sebelah kediamannya (Presidential Palace) dan bahwa proyek konstruksi itu--termasuk kita tentunya--selalu berada di bawah kontrolnya," kata Nicoletti.

Dalam berbagai aspek, Astana layaknya proyek pongah dan narsis Nazarbayev. Di puncak Menara Bayterek, misalnya, para pengunjung bisa menyentuh cetakan tangan sang diktator. Sebuah lagu bikinan Nazarbayev mengiringi ritual itu.

Setiap tahun, hari jadi kota itu juga dirayakan berbarengan dengan hari ulang tahun Nazarbayev. 

Penulis "Nazarbayev and the Making of Kazakhstan: From Communism to Capitalism", Jonathan Aitken menyamakan Nazarbayev seperti para penguasa monarki yang mendominasi Eropa pada abad ke-18, khususnya Raja Prancis Louis XIV. 

"Sebagaimana Versailles dan sebagian dari isi Paris tercipta dari visi satu orang, begitu pula Astana," kata Aitken. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan