Pemerintah Australia berhasil mengumpulkan lebih dari 57.000 senjata api tahun lalu selama amnesti senjata yang digelar tahun lalu. Amnesti selama tiga bulan itu merupakan pertama kalinya sejak respon pertama terhadap penembakan massal pada 1996 silam.
Hal itu bertujuan untuk mengurangi jumlah senjata tak terdaftar untuk diserahkan ke pemerintah tanpa adanya tuntutan hukum. Pemerintah Australia menyatakan kesepakatan amnesti tersebut bertujuan untuk membuat negara lebih aman.
"Dengan mengambil senjata dari jalanan, makannya tidak akan jatuh ke tangan kriminal yang bisa membahayakan warga Australia," ujar Menteri Penegakan Hukum Angus Taylor dilansir BBC pada Kamis (1/3).
Amnesti kali ini dilaksanakan sebagai respon atas masuknya senjata ilegal dan ancaman terorisme. Kepemilikan senjata tanpa daftar di Australia dilarang keras. Pemilik menghadapi denda senilai 280.000 dolar Australia dan penjara selama 14 tahun.
Di antara senjata yang diserahkan adalah 2.500 senapan otomatis dan 2.900 pistol serta sebuah peluncur roket yang ditemukan di tong sampah. Sepertiga senjata tersebut dihancurkan, sisanya didaftar untuk dijual.
Polisi memperkirakan terdapat 260.000 senjara ilegal yang dibeli di pasar gelap. Beberapa senjata kerap digumakan untuk kejahatan dan aksi teror. Misalnya aksi teror yang dilaksanakan Man Haron Monis di kafe Sydney pada 2014 menggunakan senjata tak terdaftar.
Australia melaksanakan amnesti senjata pada 1996 dan 1997. Langkah itu setelah penembakan terhadap 35 orang di Port Arthur, kota pelabuhan di Tasmania. Itu menjadu penembakan massal terburuk di Australia.
Saat itu, hampir 650.000 senjata diserahkan. Insiden penembakan tersebut juga memicu reformasi undang-undang senjata dengan pelarangan senapan otomatis dan semi otomatis.
