Bagaimana Afghanistan menjadi kuburan negara adidaya?
Alexander Agung sebenarnya tak punya niat menginvasi Bactria. Usai memenangi Perang Gaugamela di Mesopotamia pada tahun 331 sebelum Masehi (SM), wilayah Kekaisaran Persia yang dipimpin Darius III praktis jatuh ke tangannya. Gelar adiraja semestinya jadi milik penguasa Macedonia itu.
Tetapi, ada persoalan kecil. Sebelum Alexander bisa menangkap Darius III, Besuss, salah satu jenderal Persia, memberontak. Setelah membunuh Darius III, ia mengangkat dirinya sebagai penguasa Persia dengan gelar Artaxerxes V.
Bersama sisa-sisa pasukan Persia, Bessus lantas mundur ke pegunungan Bactria. Kesal, Alexander bertekad memburu Bessus. Bersama ribuan pasukan phalanx, kavaleri, dan catapult, Alexander bergerak menginvasi Bactria.
Pasukan Alexander langsung menghadapi tantangan pertama: pegunungan Hindu Kush. Membawa pasukan besar melintasi pegunungan yang membentang dari Pakistan hingga Afghanistan modern itu merupakan pekerjaan yang superberat pada abad keempat SM.
Sejarawan Romawi Quintus Curtius Rufus merekam perjalanan pasukan Alexander menembus pegunungan mengerikan itu. Menurut dia, banyak prajurit Alexander tewas kedinginan dan kelaparan di puncak-puncak pegunungan.
Usai halangan itu terlewati, pasukan Macedonia menemukan neraka lainnya: gurun pasir di Afghanistan utara yang seolah tak berujung.
"Selama 75 kilometer, tidak ada jejak air ditemukan. Matahari musim panas membakar pasir dan ketika udara semakin panas, segala sesuatu yang menempel pada tubuh para prajurit seolah dipanggang oleh api abadi," tulis Rufus.
Tak hanya kondisi alam saja yang jadi musuh pasukan Alexander. Sepanjang perjalanan, pasukan dari suku-suku di Afghanistan tak henti-henti menyergap sebelum kemudian menghilang. Pasukan Alexander seolah menghadapi perang gerilya tanpa akhir.
Sejarawan klasik Plutarch mengibaratkan taktik perang suku-suku di pegunungan Afghanistan bak Hydra, monster berkepala banyak dalam sejarah mitologi Yunani. "Satu kepala dipotong Alexander, tiga kepala lain menggantikannya," tulis Plutarch.
Alexander menghabiskan dua tahun di Bactria. Niat Alexander tercapai. Bessus dieksekusi dan Bactria diakuisisi. Akan tetapi, "biaya" penaklukan Bactria jauh lebih besar ketimbang apa yang ia peroleh. Perbekalan menipis dan banyak prajuritnya tewas.
Di bawah kuasa Macedonia, Bactria juga terus bergejolak. Dalam upaya menenangkan Bactria, Alexander harus membantai 120 ribu warga pribumi dan menikahi putri seorang penguasa militer lokal. Ia juga menempatkan setengah dari pasukan infanteri dan sebagian besar kavaleri berkudanya di wilayah tersebut.
Tak lama setelah Alexander mati, bara pemberontakan kembali berkobar di Bactria. Tentang perang yang melelahkan itu, Alexander konon pernah berkata, "Semoga Tuhan menjaga kita dari bisa ular kobra, taring harimau, dan balas dendam orang Afghanistan."
Pada abad ke-7 hingga abad ke-9, Bactria kembali pindah tangan. Kali itu, Bactria diinvasi pasukan Kekhalifahan Rasyidin yang dipimpin Khalifah Umar. Pada masa itu, sebagian besar populasi Afghanistan beralih memeluk Islam.
Penguasa selanjutnya adalah bangsa Mongol. Dipimpin Genghis Khan, pasukan Mongol melintasi Afghanistan dalam kampanye militer menaklukkan Khwarezmia (1219–1221), kekaisaran Turki-Persia yang membentang dari Iran, Afghanistan, dan sejumlah wilayah di Asia Tengah.
Dari Mongol, Afghanistan pindah ke tangan Kekaisaran Timurid pada periode 1383 hingga 1385. Pada awal abad ke-15, Afghanistan jatuh ke tangan Babur, keturunan Kaisar Timur yang kemudian mendirikan Kekaisaran Mughal yang membentang hingga sejumlah kawasan di India modern.
Pada abad ke-16 dan awal abad ke-17, Afghanistan kemudian pecah. Kawasan utara dikuasai Kerajaan Bukhara yang berbasis di Uzbekistan modern, barat dikuasai Kekaisaran Safavids di Iran, dan kawasan timur oleh Kekaisaran Mughal yang berpusat di India.
Di antara negara adidaya
Usai kolonisasi tanpa akhir itu, Afghanistan pertama kali dipersatukan dan dipimpin seorang pribumi pertengahan 1700-an. Pada Juli 1747, Ahmad Shah Abdali, seorang perwira militer, diangkat sebagai Raja Afghanistan dalam sebuah persamuhan tradisional perwakilan suku-suku (loya jirga) di Kandahar.
Setelah naik takhta, Abdali mengganti namanya menjadi Durrani. Selama beberapa tahun, pasukan Duranni kemudian menaklukkan sisa-sisa wilayah yang masih dikuasai kerajaan-kerajaan India, Iran, dan Turkestan. Dari Duranni, takhta Afghanistan bergantian dikuasai keturunan dan kerabat sang raja. Dinasti Duranni bertahan hingga abad ke-19.
Pada awal 1800-an, Afghanistan diperebutkan Kerajaan Inggris dan Kekaisaran Rusia dalam "The Great Game", sebutan untuk kompetisi panas antara kedua negara adidaya itu dalam kolonisasi di Asia Tengah dan Asia Selatan.
Inggris pertama kali menginvasi Afghanistan pada 1839. Ketika itu, Inggris butuh Afghanistan untuk menghalau dominasi Kekaisaran Russia di Asia Tengah. Kehadiran Russia dianggap membahayakan keamanan India, salah satu koloni Inggris di Asia.
Saat invasi, Afghanistan dipimpin Dost Mohammad Khan, seorang keturunan Barakazy. Inggris melengserkan Khan dan menggantinya dengan Shah Shoja, bekas raja Afghanistan sebelumnya. Perang berkecamuk selama tiga tahun. Inggris takluk dan hengkang meninggalkan Afghanistan. Khan kembali berkuasa.
"Pemberontakan memaksa Inggris mundur pada 1842. Mereka mendarat di Kabul dengan 20.000 pasukan yang perlahan-lahan dihabisi prajurit dari suku-suku di Afghanistan sepanjang jalan. Hanya satu prajurit Inggris selamat pulang ke tanah air mereka," tulis Benjamin Parkin dalam "Afghanistan: A history of failed foreign occupations" yang terbit di Financial Times.
Pada 1879, Inggris kembali mencoba peruntungannya di Afghanistan. Pasukan Inggris hanya mampu bertahan setahun di negara itu sebelum dipaksa pulang. Kampanye militer serupa yang digelar pada 1919 juga kembali gagal.
Pada awal abad ke-20, giliran Uni Soviet yang rutin menyambangi Afghanistan. Pasukan Merah tercatat pernah menginvasi Afghanistan pada 1929, 1930, dan 1979. Pada invasi terakhir, pasukan Soviet sempat bertahan selama satu dekade sebelum akhirnya diusir oleh pejuang Afghanistan yang disponsori Amerika Serikat (AS).
Sekira satu dekade berselang, giliran pasukan AS yang menginvasi Afghanistan. Berbeda dengan Inggris dan Rusia, AS menyerbu Afghanistan untuk memburu pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden, otak serangan teroris ke Menara Kembar di World Trade Center, New York, pada 11 September 2001.
Saat invasi AS, Afghanistan berada di bawah kekuasaan kelompok Taliban. Berarti "murid" dalam bahasa Pashtun, Taliban lahir di utara Pakistan pada awal 1990-an menyusul hengkangnya pasukan Soviet. Kelompok ini berkonsolidasi di pesantren-pesantren berhaluan Sunni garis keras yang didanai Arab Saudi.
Taliban pertama kali menguasai Herat, provinsi yang berbatasan dengan Iran pada September 1995. Setahun berselang, giliran Kabul, ibu kota Afghanistan, jatuh ke tangan Taliban. Pada 1998, kelompok milisi sipil itu diperkirakan menguasai sekitar 90% wilayah Afghanistan. Taliban hancur usai invasi AS.
Kini, setelah 20 tahun mangkal di Afghanistan, pasukan AS pun bersiap untuk hengkang. Awal Juli lalu, Presiden AS Joe Biden berjanji akan menarik semua pasukan paling lambat pada September 2021. Seolah sejalan dengan rencana itu, Taliban bangkit dan mulai kembali menguasai kota-kota di Afghanistan.
Kenapa Afghanistan sulit takluk?
Dalam monografi "Understanding War in Afghanistan" yang terbit pada 2011, Joseph J Collins menyebut ada sejumlah faktor yang bikin Afghanistan sulit untuk benar-benar ditaklukkan. Pertama, geografi dan bentuk topografinya.
Dari sisi geografi, Afghanistan terkunci di tengah-tengah Asia tanpa laut sehingga menyulitkan pergerakan logistik untuk peperangan. Selain itu, kontur tanahnya bergelombang, dipenuhi pegunungan dan perbukitan yang menyulitkan manuver pasukan yang terlatih sekalipun.
"Hampir mustahil menggelar operasi militer dalam kondisi seperti itu. Minimnya jalan yang mulus dikombinasikan dengan lokasinya yang ada di dataran tinggi bikin rumit perdagangan, logistik, dan operasi militer," tulis Collins.
Kedua, kultur orang Afghanistan. Orang-orang Pasthun yang mendominasi populasi di Afghanistan punya budaya "balas dendam" yang mengakar dalam keseharian mereka. Mayoritas penduduk pribumi juga punya kebencian ekstrem terhadap orang-orang asing karena sejarah panjang kolonisasi di negeri itu.
"Peringatan orang Pashtun kepada pemerintah dan orang asing menggambarkan hal itu: Jangan sentuh perempuan, harta, dan tanah kami. Orang Afghanistan, di luar suku Pashtun, juga berpikir serupa...Orang-orang Afghanistan dari berbagai jenis punya harga diri dan kebanggaan nasional yang tinggi," jelas Collins.
Persoalan lainnya yang bikin Afghanistan sulit untuk ditaklukkan dan didamaikan ialah kemiskinan akut yang melanda mayoritas wilayah, intervensi berbasis kepentingan politis dari negara-negara luar, dan instabilitas politik internal karena besarnya jumlah faksi-faksi yang berebut kuasa di Afghanistan.
Terkait instabilitas politik internal, Collins mencontohkan bagaimana kebanyakan pemimpin Afghanistan yang berkuasa pada abad ke-20 dilengserkan, dikudeta, dibunuh saat masih memegang kekuasaan atau tak lama setelah mereka mundur dari jabatannya.
Pada 1901, misalnya, Abdur Rahman mati ketika masih berkuasa. Habibullah, putra sekaligus penerusnya dibunuh saat sedang berburu pada 1919. Amanullah, putra Habibullah, dilengserkan karena gagasan modernisasi Afghanistan yang dianggap radikal.
Setelah Amanullah, tampuk kekuasaan jatuh ke tangan Habibullah Kalakani dari suku Tajik. Dia hanya berkuasa sembilan bulan sebelum dieksekusi. Nadir Shah, sepupu jauh Amanullah, naik takhta mengisi kekosongan. Pada 1933, Nadir juga jadi korban pembunuhan politis.
Zahir Shah, penerus Nadir, berkuasa selama 40 tahun, sebelum dikudeta oleh sepupunya sendiri, Pangeran Daoud. Dalam kudeta kelompok komunis pada 1978, giliran Daoud dan keluarganya yang dieksekusi. "Hanya Babrak Karmal yang selamat setelah dilengserkan pada 1986 sebelum kemudian diasingkan," tulis Collins.
Dalam "Why Is Afghanistan the ‘Graveyard of Empires?" yang terbit di The Diplomat, analis hubungan internasional Akhilesh Pillalamarri berpendapat serupa. Menurut dia, Afghanistan sulit ditundukkan karena pertautan tiga faktor.
Pertama, Afghanistan berada jalur utama yang menghubungkan Iran, Asia Tengah, dan India. Diinvasi berulangkali, negara itu kini dihuni beragam suku dan etnis yang seringkali saling bermusuhan. Setidaknya ada 14 suku besar dan puluhan suku-suku kecil lainnya di Afghanistan.
"Kedua, karena frekuensi invasi yang intens dan kuatnya tribalisme di negara itu, ketiadaan hukum berujung pada situasi di mana hampir semua desa atau rumah dibangun layaknya sebuah benteng atau qalat," jelas Pillalamarri.
Ketiga, kondisi geografis. Selain Hindu Kush yang membentang di selatan dan tengah, Afghanistan juga punya pegunungan Pamir di timur. Di Badakhshan yang berlokasi di timur laut Afghanistan, ada pula simpul Pamir yang menghubungkan pegunungan Tian Shan, Kunlun, dan Himalaya.
Menurut Pillalamarri, situasi itu membuat Afghanistan jadi lawan tangguh bagi setiap pasukan invasi. Ketimbang opsi invasi lagi, ia menyarankan dunia internasional membiarkan Taliban kembali berkuasa di Afghanistan. "Alternatif lainnya ialah perang yang panjang dan berdarah-darah," kata dia.