Bagi Indonesia, Belt and Road Initiative China tak melulu soal rugi
Pada 24 hingga 26 April 2019, Presiden Xi Jinping menjamu sekitar 5.000 delegasi dari seluruh dunia dalam KTT kedua Belt and Road Initiative (BRI) di Beijing, China.
Dilansir dari Bloomberg, berbeda dengan KTT pertama pada 2017, dalam forum BRI kali ini, China lebih fokus mengatasi kritik internasional atas inisiatif masifnya itu.
Pasalnya, inisiatif tersebut telah menjadi kontroversi karena sejumlah negara mitra mengeluhkan tingginya biaya yang diperlukan bagi proyek infrastruktur.
Al Jazeera melaporkan bahwa Beijing berulang kali menegaskan hanya memiliki niat baik dan tidak berusaha menjerumuskan pihak mana pun dalam jebakan utang. Oleh sebab itu, mereka menggunakan KTT tersebut untuk meninjau ulang kebijakan yang sudah ada dan mengatasi persoalan yang dihadapi.
Dalam KTT terakhir, Xi menegaskan China bersedia mengambil langkah-langkah untuk memastikan tidak ada korupsi yang menodai proyek BRI.
"Segala sesuatu harus dilakukan secara transparan dan kita seharusnya tidak memiliki toleransi terhadap korupsi," tutur Xi dalam pidato pembukanya.
Xi meyakini bahwa BRI akan menguntungkan semua pihak yang terlibat, bukan hanya Tiongkok. Proyek tersebut, lanjutnya, tidak hanya melayani kepentingan China, tetapi juga meningkatkan kerja sama multilateralisme.
"BRI bukanlah klub eksklusif," kata dia seperti dikutip dari laporan South China Morning Post. "Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan kerja sama praktis dari negara-negara yang berpartisipasi ... Dan memberikan hasil win-win serta mewujudkan pembangunan bersama."
Selain itu, dalam pernyataan bersama (joint communique) di forum BRI, Xi berulang kali menyerukan penerapan standar berkualitas tinggi bagi proyek yang digarap di bawah inisiatif tersebut. Dokumen itu juga mendorong negara-negara maju untuk turut berinvestasi dalam proyek konektivitas bersama negara-negara berkembang.
Xi menuturkan bahwa China akan menegakkan prinsip-prinsip konsultasi, kontribusi dan manfaat bersama, menjaga komunikasi dan koordinasi yang erat, inklusif, serta transparansi dalam penerapan BRI.
Menurut laporan Asia Times, dalam pidato penutupan pada 26 April, Xi mengklaim bahwa lebih dari US$64 miliar nilai kesepakatan telah ditandangani selama KTT tersebut.
Dilansir dari situs resmi BRI, yidaiyilu.gov, per Maret 2019, China telah menandatangani 171 dokumen kerja sama BRI dengan 123 negara dan 29 organisasi internasional.
Situs itu menuturkan bahwa selama enam tahun terakhir, total volume perdagangan antara China dan negara-negara yang terlibat inisiatif BRI telah melebihi US$6 triliun.
Sebagai salah satu negara yang tergabung dalam skema kerja sama BRI, Indonesia yang diwakili oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi turut hadir dalam KTT tersebut.
Apa itu BRI?
Awalnya saat pertama kali diluncurkan pada 2013, Presiden Xi menamai insiatif ini One Belt One Road (OBOR). Namun, seiring berjalannya waktu, namanya diubah menjadi BRI.
BRI merupakan proyek kebijakan luar negeri yang diusung oleh Presiden Xi yang melibatkan pembangunan infrastruktur dan konektivitas melalui skema investasi global.
Tujuannya adalah untuk membangun kembali konektivitas berbasis daratan yang disebut sebagai belt dalam inisiatif tersebut. Konektivitas daratan tersebut akan membentang dari China ke wilayah lain di Asia, Eropa, dan seterusnya.
Selain itu, seperti dilansir dari media Jerman Deutsche Welle, melalui BRI, China juga berupaya menguatkan konektivitas jalur maritim atau road, disebut sebagai 21st Century Maritime Silk Road, yang meliputi Laut Cina Selatan, Pasifik Selatan, dan Samudera Hindia.
The Guardian menyebut, dari Asia Tenggara ke Eropa Timur hingga Afrika, BRI mencakup 71 negara yang menyumbang separuh populasi dunia dan seperempat dari PDB global.
Sejak inisiatif ini diluncurkan enam tahun lalu, China diperkirakan telah menginvestasikan sekitar US$90 miliar bagi proyek-proyek terkait BRI.
BRI memperkenalkan enam koridor kerja sama ekonomi dan konektivitas yang berperan penting dalam membangun dan memperkuat kemitraan antar negara.
Koridor pertama merupakan New Eurasian Land Bridge yang bertujuan untuk mendorong keterbukaan dan menaikkan pertukaran ekonomi dan perdagangan antara Asia dan Eropa.
Yang kedua merupakan koridor China-Mongolia-Rusia. Situs resmi BRI menyatakan bahwa ketiga negara tersebut telah melakukan upaya untuk membangun jaringan konektivitas infrastruktur lintas perbatasan yang terdiri dari kereta api, jalan raya, dan pelabuhan.
Koridor ketiga adalah China-Asia Tengah-Asia Barat. Dalam koridor ini, China berfokus untuk meningkatkan kerja sama dalam bidang energi, konektivitas infrastruktur, ekonomi, dan perdagangan. Beberapa negara yang termasuk dalam kerangka BRI koridor ketiga merupakan Kazakhstan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Rusia.
Selanjutnya adalah koridor keempat yakni koridor China-Semenanjung Indochina. Skema koridor tersebut melingkupi negara-negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara.
Koridor kelima merupakan koridor China-Pakistan yang berfokus pada konektivitas energi, infrastruktur transportasi, dan kerja sama kawasan industri. Kedua negara bahkan telah membentuk Komite Kerja Sama Gabungan Koridor Ekonomi China-Pakistan untuk mengadakan pertemuan reguler.
Koridor keenam adalah koridor Bangladesh-China-India-Myanmar. Selama sekitar lima tahun terakhir, keempat negara dilaporkan bersama-sama mempromosikan pembangunan koridor di bawah kerangka kelompok kerja gabungan.
Keempat negara tersebut pun telah meneliti, mengembangkan, dan merencanakan sejumlah proyek utama dalam hal mekanisme dan pembangunan sistem, konektivitas infrastruktur, serta kerja sama perdagangan dan kawasan industri.
Bagi Indonesia, BRI untung atau buntung?
Direktur Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri RI Santo Darmosumarto menyatakan bahwa tingginya partisipasi pada KTT kedua BRI menunjukkan peningkatan ketertarikan dari sejumlah negara yang ingin bergabung dalam kerja sama tersebut.
Hal ini, menurutnya, terjadi karena konteks kerja sama BRI telah merambat ke sejumlah sektor, tidak hanya mencakup kerja sama infrastruktur saja.
"Kerja samanya sekarang sudah meluas, tidak hanya terkait infrastruktur saja, tetapi sudah lebih komprehensif. Tentunya Indonesia tertarik," ujar Santo kepada Alinea.id pada Rabu (15/5).
Dia menuturkan, Indonesia menilai bahwa BRI bukan hanya melambangkan kerja sama China-Indonesia, tetapi cakupannya meliputi kolaborasi Indonesia dengan seluruh negara yang tergabung dalam inisiatif tersebut.
Dalam KTT kedua tersebut, 23 nota kesepahaman (MoU) ditandatangani antara perusahaan asal Indonesia dengan China dalam forum bisnis yang digelar di sela-sela acara puncak.
Dilansir dari Antara, Wapres Kalla menuturkan bahwa MoU itu merupakan kerja sama berbasis business to business (B2B).
Dari 23 naskah MoU, terdapat kerja sama bidang pendidikan dan penelitian. Selebihnya merupakan kerja sama bisnis dan proyek industri di empat koridor utama yakni Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan Bali.
Santo menyatakan penandatanganan tersebut merupakan tindak lanjut dari MoU yang ditandatangani pada 2018 terkait sinergi kebijakan poros maritim dunia dengan BRI.
Dia mengaku bahwa sejauh ini 23 MoU tersebut belum memiliki target atau tenggat waktu pelaksanaan.
"Semuanya adalah proses yang masih berjalan," jelasnya.
Diplomat itu menuturkan, diskusi dan dialog antara Indonesia dan China terus berkembang. Kedua negara mengupayakan agar terus ada progres setiap ada kesempatan untuk bertemu.
Santo meyakini bahwa BRI tidak hanya berdampak baik bagi pembangunan nasional, tetapi juga dapat menjadi mekanisme yang mendongkrak investasi asing di Indonesia.
"Dengan diperluasnya kerja sama BRI ke berbagai sektor, tentu investasi itu bisa dilakukan tidak hanya di sektor infrastruktur saja, tetapi ke sektor lainnya," ungkap Santo.
Contohnya, lanjut dia, salah satu dari 23 MoU yang ditandatangani merupakan proyek terkait pengembangan Bali sebagai pusat pariwisata.
"Pariwisata itu kan tidak ada hubungannya dengan infrastruktur, jadi ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk menyadari bahwa kerja sama itu tidak hanya mencakup pembangunan pelabuhan, jembatan, atau rel kereta api saja," jelasnya. "Pembangunan itu juga bisa kita sesuaikan dengan keperluan dan kepentingan nasional."
Kontrol kuat China
Santo menyampaikan bahwa Indonesia memegang sejumlah prinsip dalam menjalani kerja sama BRI. Salah satunya terkait bagaimana mengembangkan kerja sama BRI dalam konteks B2B.
"Ini merupakan salah satu hal yang kita lakukan untuk menghindari adanya utang negara. Kita dorong pelaku bisnis, sektor swasta, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menjalin kerja sama," kata dia.
Skema kerja sama B2B itu, menurut Santo, menjadi upaya pemerintah untuk menghindari debt trap atau jebakan utang yang menjadi kritik utama sejumlah negara atas BRI.
Namun, Peneliti Politik Internasional dari Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elizabeth berpendapat bahwa hal itu mungkin tidak akan efektif. Pasalnya, lanjut dia, BUMN di China pun tetap milik Partai Komunis yang berkuasa.
"Jadi kalau buat Indonesia mungkin B2B, tapi buat China tidak sepenuhnya B2B. Ada unsur keterlibatan pemerintah di situ," lanjutnya.
Meski begitu, Santo berpendapat peran pemerintah China hanya akan terlihat dalam memberi arahan tetapi eksekusi tetap lebih banyak melibatkan sisi perusahaan swasta atau BUMN.
Selain itu, Santo menyebut, Indonesia juga menekankan prinsip terkait bagaimana memperbanyak dan memaksimalkan tenaga kerja dalam negeri untuk proyek-proyek BRI.
Menurut Adriana, persoalan tenaga kerja sudah seharusnya dibahas saat proses negosiasi.
"Negosiasi itu harus tegas, transparan, dan mencapai kesepakatan di kedua pihak," tuturnya. "Misalnya sejak awal Indonesia perlu menegaskan butuh lapangan kerja, jadi China tidak bisa membawa tenaga kerjanya ke dalam proyek BRI yang dilakukan dengan Indonesia."
Senada dengan Adriana, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, juga mendesak agar pemerintah memastikan persoalan tenaga kerja dalam konteks kerja sama BRI.
"Jangan hanya China yang siap dengan rancangan dan skema mereka, Indonesia juga perlu memastikan detail terkait tenaga kerja. Misalnya, tenaga kerja yang didatangkan dari China berapa? Apakah tenaga ahli akan berasal dari China atau Indonesia? Hal-hal kecil namun penting ini belum jelas hingga sekarang," jelasnya saat dihubungi Alinea.id.
Masih terkait tenaga kerja, pengamat yang akrab dipanggil Reza itu berpendapat bahwa seharusnya dari sekarang pemerintah Indonesia menggelar training for trainers untuk meningkatkan kualitas pekerja dalam negeri yang nantinya akan terlibat dalam proyek BRI.
"Indonesia harus menunjukkan bahwa kita dapat menangani proses implementasi proyek itu. Perencanaan harus dilakukan dengan sangat matang," ujarnya.
Selain persoalan jebakan utang dan tenaga kerja, Adriana menyoroti isu komposisi investasi dalam kerja sama BRI. Menurutnya, investasi dalam proyek harus seimbang, tidak bisa didominasi oleh China saja.
"Dari negara tuan rumah di mana proyek itu dilakukan, tentu investasi harus lebih besar dibandingkan dengan investasi China. Jangan sampai China melebihi 50% investasi, misalnya, demi menghindari adanya intervensi berlebihan," jelas dia.
Isu ini pun menjadi salah satu prinsip yang didorong Indonesia. Santo menyebut, dalam konteks kerja sama BRI, pemerintah selalu menekankan agar kepemilikan Indonesia harus cukup besar dan kalau bisa mencakup mayoritas proyek.
Lebih lanjut lagi, Adriana mengharapkan kerja sama BRI antara Indonesia dan China nanti juga mengedepankan transparansi kepada masyarakat.
"Pemerintah Indonesia harus menyampaikan proses kerja sama yang sedang berjalan itu seperti apa. Ada laporan kepada publik sejauh mana progres yang dibuat supaya jelas dan masyarakat menaruh kepercayaan atas inisiatif global tersebut," ungkapnya.
BRI dan posisi Indonesia yang strategis
Adriana menilai, Indonesia memiliki peran yang sangat signifikan dalam berlangsungnya BRI. Sebab menurutnya, tanpa dukungan negara-negara yang dibutuhkan, inisiatif China tersebut tidak akan berjalan dengan lancar.
"Tujuan BRI ini kan sebenarnya untuk China sendiri. Proyek-proyek itu nantinya digunakan untuk 'membawa' kebutuhan China melalui jalur-jalur yang sudah mereka bantu bangun," tuturnya.
Oleh karena itu, Adriana mengatakan, Indonesia perlu sadar akan posisi negosiasi yang kuat yang dimilikinya dan menggunakannya demi keuntungan nasional.
Sementara menurut Reza, China menanggap Indonesia sebagai pemain penting dalam BRI karena posisi Indonesia yang strategis.
"Perairan di sekitar Indonesia bisa dimanfaatkan menjadi koridor konektivitas antara Asia-Eropa, Asia-Afrika, hingga Asia-Timur Tengah. Menurut saya bukan hanya China, semua negara yang tergabung dalam BRI pasti menganggap peran Indonesia penting," jelasnya.
Ke depannya, Reza berharap Indonesia dapat mendesain skema kerja sama nasional yang berguna untuk melancarkan proyek BRI.
Sejauh ini, menurutnya, pemerintah pusat belum optimal melakukan konsultasi dengan pemerintah daerah terkait kerja sama BRI.
Sependapat dengan Reza, Adriana mendesak pemerintah untuk melakukan perhitungan risiko yang jelas.
"Apa sebenarnya kerugian dan keuntungan yang dapat kita peroleh. Kalau kerugian sudah diketahui dan bisa dihindari, tidak masalah kita melanjutkan kerja sama konteks BRI ini," kata Ardiana.