Calon presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengklaim bakal mampu menghentikan perang Rusia vs Ukraina jika ia memenangkan Pilpres AS 2024. Trump bahkan sudah punya proposal terperinci untuk solusi damai konflik tersebut. Ia sesumbar bisa mendamaikan kedua negara bahkan sebelum disumpah jadi presiden.
Dalam proposal damainya, Trump berencana menekan Ukraina untuk menyerahkan sejumlah kawasan kepada Rusia, termasuk di antaranya Semenanjung Krimea dan Donbas. Tak seperti presiden AS saat ini Joe Biden, Trump tak punya niat mengeluarkan duit dan menggelontorkan senjata untuk membantu Ukraina menghalau invasi Rusia.
"Rusia dan Ukraina mau menyelamatkan muka, mereka sebenarnya mau jalan keluar," kata salah satu orang dekat Trump kepada Washington Post. Ia menirukan ucapan Trump dalam salah satu pembicaraan rahasia antara Trump dan sejumlah politikus Partai Republik.
Trump telah lama dikenal dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Rusia bahkan disebut-sebut turut membantu mengorkestrasi kampanye Trump di Pilpres AS 2016. Sejumlah media AS menyebut Trump mengagumi gaya kepemimpinan Putin yang otoriter. Sebaliknya, Trump punya riwayat hubungan yang buruk dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Dalam sebuah wawancara, pertengahan Maret lalu, Trump mengakui ia sudah mengantongi rencana untuk mendamaikan Putin dan Zelenskyy jika terpilih sebagai presiden AS. Namun, ia tak mau mengungkap isi rencana tersebut di depan publik.
"Saya akan mengatakan hal-hal khusus kepada masing-masing (Putin dan Zelenskyy) yang tidak akan saya katakan kepada seluruh dunia. Itulah kenapa saya tak bisa bicara lebih banyak dari itu," ujar Trump.
Perdana Menteri Hunggaria Viktor Orban membenarkan Trump bakal mengakhiri perang antara Ukraina dan Rusia. Ia menyebut Trump tak akan mau mengeluarkan duit sepeser pun untuk Ukraina. "Dia akan memaksa perang berakhir," kata Orban.
Orban dikenal akrab dengan Putin. Maret lalu, Trump "menjamu" Orban di Mar-a-Lago Club di Florida. Kepada Washington Post, salah satu orang dekat Trump mengatakan sepanjang pertemuan itu Orban bercerita tentang sejarah Soviet, hasrat Rusia untuk menguasai teritori Ukraina, dan tantangan militer yang dihadapi Ukraina.
Selain tukar guling teritori dengan imbalan gencatan senjata permanen, Trump juga punya sejumlah rencana geopolitik pascakonflik. Di antara lainnya, Trump berencana membatasi ekspansi keanggotaan North Atlantic Treaty Organization (NATO), dan merayu Putin untuk mengurangi ketergantungan Rusia terhadap China.
Sejumlah suporter Trump meminta Trump mempertimbangkan kembali rencana damai tersebut. Salah satunya ialah senator Lindsey Graham. Ia berpendapat membolehkan Rusia mengontrol sebagian wilayah Ukraina sama artinya dengan melegitimasi kediktatoran Putin di Eropa.
"Saya menghabiskan waktu berbicara dengan Trump mengenai Ukraina. Dia (Putin) harus membayar atas perbuatannya. Dia tidak mungkin menang di akhir konflik ini," kata Graham.
Sulit terealisasi
Fiona Hill, peneliti senior di Brookings Institution, menilai solusi damai konflik Rusia vs Ukraina ala Trump sulit direalisasikan. Menurut dia, Trump dan timnya terlampau menyederhanakan konflik berbasis teroritori terbesar setelah Perang Dunia II itu.
"Tim Trump berpikir seragam, bahwa ini adalah persoalan Ukraina dan Rusia. Mereka pikir ini hanya sekadar perebutan teritori, bukan konflik yang bisa menentukan masa depan keamanan Eropa dan tatanan dunia," kata Hill.
Ia berpendapat pemerintah Ukraina tak mungkin mau merelakan teritorinya jatuh ke tangan Rusia. Apalagi, pada September 2022, Rusia mengumumkan berencana menganeksasi empat provinsi di selatan dan timur Ukraina selain Donbas.
"Ukraina dan sekutu mereka di Eropa kemungkinan akan menolak keras upaya Trump menjalin kesepakatan dengan Rusia. AS tak punya pengaruh kuat untuk membangun kesepakatan unilateral karena kerja sama Eropa dibutuhkan untuk mengangkat sanksi kepada Rusia," jelas Hill.
Michael Kofman, analis geopolitik dari Carnegie Endowment for International Peace, sepakat rencana Trump sulit direalisasikan. Zelenskyy, menurut dia, tak mungkin menjalankan bunuh diri politik di tingkat domestik dengan menyerahkan sebagian wilayah Ukraina kepada Rusia.
"AS tak punya posisi tawar untuk memaksa Ukraina menyerahkan teritori mereka atau bahkan terlibat dalam konsensi semacam itu. Ini situasi di mana ketika Anda memberikan tangan Anda, pihak lain akan segera ingin mengambil seluruh lengan Anda," kata Kofman.