Pemilu Kamboja yang digelar pada Minggu (29/7) membawa negara itu dari satu babak ke babak lain pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen. Sesuai prediksi banyak pihak, Partai Rakyat Kamboja (CPP) mengklaim kemenangan dalam pemilu dan Hun Sen kembali berkuasa.
Kelompok pemantau hak asasi manusia (HAM) menegaskan pesta demokrasi di Kamboja tidak bebas dan tidak adil.
Sementara itu, Gedung Putih mengatakan akan mempertimbangkan sejumlah langkah, termasuk perluasan pembatasan visa yang menyasar anggota pemerintah Kamboja. Tindakan tersebut diambil sebagai respons atas "pemilu yang cacat", di mana tidak ada penantang bagi Hun Sen.
Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Sanders menuturkan dalam sebuah pernyataan bahwa pemungutan suara pada hari Minggu "gagal mewakili kehendak rakyat Kamboja."
"Pemilu yang cacat, yang mengecualikan partai oposisi utama negara itu, mewakili kemunduran yang paling signifikan terhadap sistem demokrasi yang diabadikan dalam konstitusi Kamboja," terang Sanders seraya menambahkan bahwa kampanye pemilu dirusak oleh ancaman yang datang dari pemimpin nasional dan lokal.
"Amerika Serikat (AS) akan mempertimbangkan langkah-langkah tambahan untuk merespons pemilu dan kemunduran terhadap demokrasi dan HAM di Kamboja, termasuk perluasan signifikan dari pembatasan visa yang diumumkan pada 6 Desember 2017," imbuhnya.
Juru bicara CPP Sok Eysan pada hari Minggu menyebutkan bahwa partainya memenangkan sekitar 100 dari 125 kursi parlemen yang diperebutkan. Tidak lama, DAP News, sebuah situs pro-pemerintah menyatakan bahwa CPP meraih 114 kursi. Adapun dua partai lainnya, yakni partai FUNCINPEC dan Partai Liga untuk Demokrasi (LDP), masing-masing memenangkan lima dan enam kursi. Demikian seperti dilansir Reuters, Senin (30/7).
Pengkritik mengatakan bahwa pemilu merupakan langkah mundur demokrasi di Kamboja setelah pembubaran oposisi utama, yakni Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) tahun lalu. Selain itu, pemimpin CNRP, Kem Sokha juga dipenjara atas tuduhan makar.
Mantan Presiden CNRP, Sam Rainsy, yang hidup di pengasingan mengatakan bahwa pemilu merupakan kemenangan "tak berarti" bagi Hun Sen, mantan komandan Khmer Merah yang telah memerintah Kamboja nyaris 33 tahun.
Sebelumnya, AS telah memberlakukan pembatasan visa bagi beberapa anggota pemerintah Kamboja sebagai respons atas tindakan keras terhadap para kritikus. Sanksi terakhir yang dijatuhkan pada Juni lalu menargetkan pejabat tinggi yang dekat dengan Hun Sen.
Kecaman atas pemerintahan Hun Sen juga datang dari Uni Eropa yang mengancam dengan sanksi ekonomi.
Pihak oposisi CNRP telah meminta rakyat untuk memboikot pemilu, namun pihak berwenang memperingatkan siapapun yang melaksanakan imbauan tersebut akan ditunjuk sebagai pengkhianat.