Secara mengejutkan, Cambridge Analytica mengumumkan diri bahwa perusahaannya bangkrut. Meski menyatakan diri bangkrut, namun penyelidikan atas penyalahgunaan data jalan terus.
Juru bicara Cambridge Analytica Clarence Mitchell dalam sebuah pernyataan di situs web perusahaan menceritakan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, konsultan politik asal Inggris telah menjadi subyek banyak tuduhan tidak berdasar. Meskipun perusahaan berupaya untuk memperbaiki masalah tersebut, namun tetap bertanggung jawab atas persoalan tersebut.
"Kami terus difitnah untuk kegiatan yang sebenarnya legal dan sebenarnya diterima secara luas sebagai komponen standar dari iklan online di arena politik dan komersial," kata Mitchell seperti dikutip BBC.
Cambridge Analytica juga menyesalkan pengepungan terhadap liputan media yang membuat hampir semua pelanggan dan pemasok perusahaan pergi. Padahal, sejumlah karyawan dinilai telah bekerja keras dan bekerja sesuai etika dan hukum.
Akibatnya, perusahaan tidak lagi dapat melanjutkan operasi bisnis. Namun Juru Bicara Facebook seperti dikutip BBC memastikan meski Cambridge Analytica telah menghentikan operasinya, penyelidikan tidak akan berhenti.
Pengumuman Cambridge Analytica bahwa perusahaan bangkrut justru disanksikan oleh sejumlah pihak. Surat Kabar Financial Times menurunkan laporan utama bahwa sumbernya dari mantan karyawan perusahaan menyebut bahwa tutupnya perusahaan hanya kamuflase belaka.
Karyawan perusahaan tersebut mengatakan akan muncul perusahaan serupa yang berinkarnasi atau berkedok lain untuk menggantikan perusahaan. Menanggapi laporan tersebut, Ketua Komite Parlemen Inggris Damian Collins MP yang menyelidiki aktivitas Cambridge Analytica menegaskan investigasi bocornya data pelanggan Facebook tetap dilakukan dan tidak dapat dihalangi sekalipun perusahaan tutup.
"Saya pikir sangat penting bahwa penutupan perusahaan-perusahaan ini tidak digunakan sebagai alasan untuk mencoba dan membatasi atau membatasi kemampuan pihak berwenang untuk menyelidiki apa yang mereka lakukan," kata Collins seperti dikutip BBC.
Bulan lalu, Chief executive Cambridge Analytica, Alexander Nix dalam rekaman di Channel 4 membantah bahwa pihaknya menyalahgunakan data sebanyak 30 juta milik warga Amerika Serikat (AS) yang dituding digunakan dalam pemilihan Presiden AS. Perusahaan mengklaim telah menghapus informasi tersebut.